General

Kebijakan Populer Gus Dur dan Keinginan Prabowo-Sandi Melanjutkannya Jika Terpilih

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno bakal menerapkan kebijakan yang pernah dijalankan oleh Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Prabowo akan meliburkan seluruh kegiatan belajar mengajar di sekolah dan perguruan tinggi selama bulan Ramadhan. Sudah puluhan tahun ini kebijakan itu dihapus.

Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak mengiyakan rencana tersebut. Lewat akun Twitter pribadinya, Jumat, 15 Maret 2019, Dahnil mengungkapkan kebijakan populer di era Gus Dur itu bakal kembali dijalankan jika Prabowo terpilih sebagai Presiden RI di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Dahnil mengungkapkan rencana Prabowo mengembalikan kebijakan Gus Dur itu tidak terlepas dari tujuannya untuk memberikan kesempatan bagi anak-anak sekolah lebih fokus untuk belajar agama Islam. Selain itu, lanjutnya, nantinya anak-anak sekolah bisa lebih fokus untuk mengembangkan nilai-nilai toleransi selama bulan Ramadhan.

“Pak @prabowo akan melanjutkan kebijakan agar anak2 sekolah dan kampus libur pada bulan Ramadhan, untuk memberikan kesempatan kepada seluruh anak2 sekolah fokus belajar agama Islam pada bulan ramadhan, serta mengembangkan nilai-nilai Toleransi pada bulan ramadhan,” kata Dahnil di akun Twitternya.

Pak @prabowo akan melanjutkan kebijakan agar anak2 sekolah dan kampus libur pada bulan Ramadhan, untuk memberikan kesempatan kepada seluruh anak2 sekolah fokus belajar agama Islam pada bulan ramadhan, serta mengembangkan nilai-nilai Toleransi pada bulan ramadhan.— Dahnil A Simanjuntak (@Dahnilanzar) March 15, 2019

Rencana melanjutkan kembali kebijakan yang pernah diterapkan Gus Dur itu pun diamini Sandiaga Uno. Menurut mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu, rencana meliburkan sekolah di bulan puasa bakal menjadi terobosan kembali.

“Ya, tentunya ini adalah salah satu terobosan yang akan kita bawa bahwa, saya waktu masih muda pernah merasakan libur, dulu, saat Ramadhan dan waktu anak-anak saya masih kecil, sekolah di Al Azhar, waktu itu juga libur sebulan penuh,” kata Sandi usai menghadiri konsolidasi juru kampanye nasional BPN Prabowo-Sandi di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Jumat, 15 Maret 2019.

Menurut Sandi, libur selama puasa tersebut nantinya bisa dimanfaatkan siswa untuk kegiatan pesantren kilat. Tak hanya itu saja, ia melihat jika libur puasa itu kembali diterapkan, maka para siswa bisa lebih dekat dengan keluarga untuk mengimbangi pengaruh teknologi informasi.

“Tentunya ini merupakan satu terobosan agar 1 bulan ini bisa digunakan para siswa untuk mungkin mengikuti pesantren kilat, menggunakan kesempatan ini juga, menghabiskan waktu bersama keluarga, membangun kedekatan keluarga dalam era informasi teknologi yang begitu intensitasnya tinggi,” ucapnya.

“Mereka banyak waktunya habis di gadget, juga kesempatan Ramadhan ini untuk mendekatkan mereka ke tentunya membangun karakter yang kuat, karakter yang berakhlakul karimah, itu harapan kita,” ujarnya.

Gus Dur dan Kebijakan Libur Selama Bulan Ramadhan

Seperti diketahui, libur sekolah selama bulan Ramadhan ternyata memang sudah lama menjadi tradisi di Indonesia. Sayangnya, sejak tahun 1978, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Presiden Soeharto, Daoed Joesoef mengubah aturan tersebut. Ia mengubah libur Ramadhan hanya beberapa hari di awal bulan puasa, kemudian di akhir Ramadhan menjelang lebaran.

Meski keputusan itu ditentang Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada masanya, namun Pemerintah Orde Baru tetap saja menjalankannya. Alhasil, tak ada lagi libur sekolah di sepanjang bulan Ramadhan di bawah kepemimpinan Soeharto.

Akhirnya, pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur pasca era Orde Baru atau setelah reformasi, kebijakan tersebut diubah. Kegiatan pendidikan kembali diliburkan penuh selama bulan Ramadhan. Sekolah-sekolah diimbau membuat kegiatan pesantren kilat pada tahun 1999 silam.

Namun, perubahan kembali terjadi di era Presiden Megawati pada tahun 2001, di mana libur selama bulan Ramadhan kembali berubah seperti Orde Baru. Tak ada lagi libur sekolah selama puasa dan kebijakan ini dijalankan sampai sekarang. Namun beberapa daerah dan sekolah swasta kadang menetapkan kebijakan libur yang lebih panjang di bulan Ramadhan.

Sejarah Penghapusan Libur Puasa

Pada Mei 1978, MUI mengkritik Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Daoed Joesoef yang baru dua bulan menjabat, karena hendak mengubah libur sekolah selama bulan Ramadhan, dari sebulan lebih menjadi beberapa hari saja pada awal dan akhir puasa. Ketua MUI kala itu Hamka, keberatan dengan niat Daoed tersebut.

Seperti dikutip dari Historia, 26 Mei 2018, Hamka menegaskan bahwa perubahan libur selama bulan Ramadhan harusnya diputuskan lewat kajian mendalam dari berbagai pihak. Kebijakan menghapus libur sekolah selama bulan puasa itu tak bisa diputuskan secara mendadak dan langsung diterapkan.

Ternyata Daoed punya alasan kuat mengapa libur sekolah selama bulan Ramadhan itu harus diubah. Dalam pertemuan dengan delegasi MUI pada 16 Mei 1978, Daoed menegaskan bahwa libur puasa anak sekolah itu kebijakan pembodohan dari pemerintah kolonial kepada bangsa Hindia Belanda yang beragama Islam.

“Artinya, kebijakan Belanda itu semata-mata untuk meninabobokan kita. Kalau karena libur sekolah selama sebulan penuh anak-anak Muslim kita menjadi tertinggal keintelektualannya, yang rugi bukan Belanda tetapi kita sendiri,” kata Daoed dalam memoarnya, Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran.

Maka dari itu, Daoed bermaksud agar anak-anak Indonesia belajar lebih keras untuk mencapai mutu intelektual yang lebih tinggi dari masa sebelumnya. Termasuk tetap fokus belajar meski selama berpuasa di sepanjang bulan Ramadhan. Bahkan, ia memperkuat argumennya itu dengan wahyu pertama Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad: Iqra alias bacalah, yang diartikannya sebagai keharusan belajar pada tiap saat, sepanjang hayat.

Sayangnya, MUI tetap saja berbeda pandangan dengan Daoed. Lebih jauh, MUI yakin libur bulan puasa sebenarnya bukan berasal dari Belanda, melainkan telah berakar jauh sebelum kedatangan Belanda.

“Orang-orang tua kita sudah mempunyai kebiasaan menghentikan atau mengurangi pekerjaan rutin sehari-hari pada bulan puasa. Waktunya dipergunakan untuk mencurahkan diri pada kegiatan ibadah menuju takwa,” kata Yunan Nasution, seorang politikus, Da’i dan jurnalis Indonesia dalam “Libur Sekolah Bulan Ramadhan” termuat di Serial Media Da’wah, No. 60, Juni 1979.

Namun, Daoed akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Menteri P dan K No 0211/U/1978 tentang Sistem Ajaran Sekolah pada 5 Juli 1978. Salah satu poin pentingnya yakni membahas tentang libur puasa. Bahwa tak ada lagi libur sebulan penuh bagi anak sekolah sepanjang bulan Ramadhan

Meski banyak kritik yang datang dari berbagai pihak, bahkan MUI menganggap Daoed tak menghargai usulan mereka, Daoed tetap teguh dengan keputusannya. “Belajar merupakan kegiatan utama pengisi waktu karena yang demikian ini tidak mengotori alam, tidak mematikan rohani, bersifat kemanusiaan dan menguntungkan dari segi sosial,” kata Daoed dalam pidato peresmian KPPN pada 25 Agustus 1978, termuat di Laporan Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional.

Keputusan Daoed kala itu berlaku untuk semua sekolah, baik negeri maupun swasta. Daoed mengancam akan mencabut bantuan subsidi jika ada sekolah swasta yang melanggar SK yang ia keluarkan tersebut.

Share: Kebijakan Populer Gus Dur dan Keinginan Prabowo-Sandi Melanjutkannya Jika Terpilih