Isu Terkini

Kasus-Kasus WikiLeaks dan Keputusan Politis untuk Ekstradisi Julian Assange

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Julian Assange, pendiri organisasi WikiLeaks, akhirnya ditangkap oleh Kepolisian Inggris. Assange ditangkap pada hari Kamis (11/4) waktu setempat. Penangkapan ini akhirnya  dilakukan oleh kepolisian Inggris setelah berusaha menahan Assange selama tujuh tahun terakhir.

Pada tahun 2012, Assange mengirimkan permohonan menjadi pengungsi kepada Pemerintah Ekuador. Permohonan menjadi pengungsi ini ia kirimkan agar dapat tinggal di Kedutaan Besar Ekuador yang ada di London. Jika ia tidak melakukan hal tersebut, Assange terancam diekstradisi ke Swedia. Di sana, ia ditunggu pihak berwajib atas tuduhan kekerasan seksual.

Setelah ditangkap oleh kepolisian Inggris, ia pun langsung digiring ke Westminter Magistrate’s Court (Pengadilan Hakim Westminter). Ia dinyatakan bersalah atas tuduhan gagal menyerahkan diri ke pengadilan. Selain pengadilan Inggris, ia juga ditunggu oleh pihak kejaksaan Amerika Serikat atas tuduhan pembocoran data rahasia bersama Chelsea Manning.

Lima Kasus Pembocoran Besar Selama Julian Assange Memimpin WikiLeaks

Nama Julian Assange memang sudah dikenal sejak satu dekade yang lalu sebagai pembocor ulung data-data rahasia, khususnya di Amerika Serikat. Setidaknya ada lima kasus pembocoran besar yang dilakukan oleh Assange selama memimpin WikiLeaks.

Pembocoran yang pertama dilakukan Assange di Bulan November 2007. Sekitar dua belas tahun yang lalu, ia membocorkan sebuah prosedur standar operasi untuk para tentara di penjara Camp Delta, Guantanamo. Prosedur ini sepanjang 238 halaman dan diterbitkan tahun 2003.

Seperti dilansir dari USA Today, terdapat dua arahan yang cukup kontroversial. Dua arahan tersebut adalah adanya arahan untuk membiarkan beberapa narapidana tidak diinspeksi Palang Merah, dan mengarahkan tentara untuk membiarkan narapidana-narapidana baru terisolasi selama dua minggu pertamanya di penjara.

Pembocoran besar kedua yang dilakukan oleh WikiLeaks di bawah kepemimpinan Assange adalah membocorkan sekitar 570 ribu pesan yang dikirimkan dalam kurun waktu 24 jam di hari terjadinya tragedi terorisme 9/11. Pembocoran ini menjadi besar karena pesan-pesan yang dikirimkan di hari itu mencakup pertukaran pesan di antara oleh orang-orang yang bekerja di Pentagon, FBI, dan Departemen Kepolisian New York. Pembocoran ini dilakukan pada bulan November 2009.

Pembocoran besar ketiga WikiLeaks di bawah kepemimpinan Assange dilakukan pada bulan April 2010. Dalam pembocoran kali ini, WikiLeaks berhasil membocorkan sebuah video penyerangan helikopter Amerika Serikat tahun 2007 ke kota Baghdad, Irak. Pembocoran ketiga ini membuat Chelsea Manning, seorang perempuan transgender yang membantu Asssange, ditangkap oleh pihak kepolisian Amerika Serikat dengan dakwaan pembocoran data rahasia.

Di tahun yang sama, tepatnya pada bulan Juli dan Oktober 2010, pembocoran besar keempat WikiLeaks dilakukan. Dalam dua kesempatan ini, WikiLeaks membocorkan dua dokumen perang Amerika Serikat di Irak dan Afghanistan. Total dokumen yang dibocorkan sekitar 490 ribu dokumen, dengan 400 ribu di antaranya tentang perang Amerika Serikat di Irak, dan 90 ribu sisanya tentang perang Amerika Serikat di Afghanistan. Secara garis besar, dokumen ini berisikan informasi-informasi tentang kematian warga sipil dalam perang, perburuan Osama bin Laden oleh Amerika Serikat, dan bantuan Iran terhadap militan Irak.

Pembocoran besar kelima WikiLeaks terjadi di Bulan November 2010 hingga September 2011. Kali ini, hal yang dibocorkan adalah 250 ribu pesan rahasia diplomasi milik Amerika Serikat dari tahun 1996 hingga 2010. Beberapa data-data diplomasi yang dibocorkan oleh WikiLeaks ini termasuk dokumen verifikasi Amerika Serikat dalam melakukan penyerangan drone di Yaman, rincian usaha-usaha diplomat Amerika Serikat untuk mendapatkan informasi dari perwakilan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dan dokumen yang mengungkapkan bahwa adanya dorongan dari keluarga kerajaan Arab Saudi kepada Amerika Serikat untuk menyerang Iran.

Menjadi Pengungkap Rahasia, Menciptakan Dilema

Sebagai seorang yang mengungkapkan begitu banyak rahasia kontroversial, khususnya yang berkaitan dengan Amerika Serikat, menjadi hal yang wajar kalau Assange begitu ditunggu oleh pihak kepolisian Amerika Serikat. Namun, untuk mengirim Assange ke Amerika Serikat, negara yang berada di sebelah barat Atlantik itu harus menggunakan mekanisme ekstradisi dengan Pemerintah Inggris Raya. Kebijakan untuk mengekstradisi Assange ini pun memicu perdebatan di kalangan elite politik Inggris Raya. Perdebatan ini terjadi karena di satu sisi, Assange dianggap telah menjadi pengungkap rahasia kontroversial suatu negara. Namun di sisi lain, Assange dilihat sebagai pencuri data rahasia yang melawan hukum.

Jeremy Corbyn, pemimpin oposisi di parlemen Inggris Raya, berargumen bahwa Pemerintah Inggris Raya tidak seharusnya mengekstradisi Assange. Menurut Corbyn, justru Assange telah berhasil mengekspos bukti-bukti kekejaman Amerika Serikat di Irak dan Afghanistan. Corbyn mengungkapkan hal ini dalam salah satu cuitannya.

The extradition of Julian Assange to the US for exposing evidence of atrocities in Iraq and Afghanistan should be opposed by the British government.pic.twitter.com/CxTUrOfkHt— Jeremy Corbyn (@jeremycorbyn) April 11, 2019

Ucapan Corbyn ini pun didukung oleh Diane Abbott, Menteri Dalam Negeri bayangan milik kubu oposisi. Abbott mempertanyakan apakah sebenarnya Amerika Serikat mengejar Assange karena merasa ia telah melakukan kesalahan, atau justru karena ia berhasil mengekspos kesalahan yang dilakukan Amerika Serikat.

“Julian Assange tidak dicari (oleh Amerika Serikat) dengan tujuan menjaga Keamanan Nasional Amerika Serikat. Ia dicari karena ia berhasil mengekspos kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat,” ujar Abbott di Parlemen, Kamis (11/4).

Sedangkan Menteri Dalam Negeri Inggris Raya, Sajid Javid, dalam cuitannya menuturkan bahwa tidak ada siapapun yang berada di atas hukum. Ucapan ini memiliki arti bahwa Assange akan diperiksa sesuai dengan peraturan yang berlaku. Javid tidak menutup kemungkinan apa pun untuk Assange, termasuk ekstradisi. Berikut cuitan Javid.

Nearly 7yrs after entering the Ecuadorean Embassy, I can confirm Julian Assange is now in police custody and rightly facing justice in the UK. I would like to thank Ecuador for its cooperation & @metpoliceuk for its professionalism. No one is above the law— Sajid Javid (@sajidjavid) April 11, 2019

Di parlemen, Javid pun kembali mengomentari apa yang diucapkan Abbott. Menurut Javid, Assange harus berhadapan dengan hukum, termasuk ekstradisi. Javid menuturkan bahwa apa yang diucapkan Abbott seolah-olah mengimplikasikan bahwa Assange tidak perlu diatur sesuai dengan hukum Inggris Raya.

“Dia (Abbott) mengucapkan secara jelas bahwa Assange tidak seharusnya ditindak sesuai dengan peraturan Inggris Raya, dan hal ini menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan untuk masyarakat Inggris Raya, terutama jika ia benar-benar menjadi Menteri Dalam Negeri,” ujar Javid pada Abbott di parlemen, Kamis (11/4).

Trump: Saya Tidak Tahu Apa-Apa Tentang WikiLeaks

Di Amerika Serikat, Donald Trump justru memilih untuk tidak berkomentar apapun tentang penangkapan Assange ini. Ia mengucapkan bahwa dirinya tidak tahu apa-apa tentang WikiLeaks.

“Saya tidak mengetahui apapun tentang WikiLeaks,” ujarnya kepada wartawan, dalam acara pertemuan dengan Moon Jae-In.

Hal yang membuat ucapan Trump ini janggal adalah karena pada tahun 2016 lalu, ketika surat elektronik milik Hillary Clinton dibocorkan oleh WikiLeaks, Trump mengaku dirinya ‘mencintai’ organisasi pembocor rahasia tersebut. Saat ini, ia justru mengaku tidak mengetahui apa pun.

“WikiLeaks, saya cinta WikiLeaks,” ujar Trump, dalam sebuah kampanye di tahun 2016.

Share: Kasus-Kasus WikiLeaks dan Keputusan Politis untuk Ekstradisi Julian Assange