General

Adu Ide Lewat Kaos dan Tagar Boleh, Asal …

Kiki Esa Perdana — Asumsi.co

featured image

Beberapa hari belakangan terlihat ramai diperbincangkan mengenai kasus “kaos politik”, baik kaos bertuliskan #2019gantipresiden atau pun #2019tetapjokowi. Puncaknya, terjadi gesekan di Car Free Day di Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada Minggu, 29 April, lalu.

Dalam komunikasi politik, penyampaian pesan melalui kaos sebenarnya adalah hal yang wajar. Kegiatan penyampaian pesan politik bisa dilakukan melalui berbagai macam media, termasuk salah satunya kaos.

Kaos dianggap sebagai media informasi yang fleksibel, yang dinilai dapat dengan efektif menyampaikan pesan politik dengan harga yang sangat terjangkau. Strategi melalui kaos politik ini, dalam kajian komunikasi politik, mempunyai peranan yang penting. Kaos dinilai bisa menjadi sebuah bagian dari publisitas politik terhadap khalayak luas, dengan tujuan utamanya adalah dengan menyampaikan pesan politik tertentu pada khalayak.

Bagaimana Awalnya?

Sebelum kampanye pada Pemilu dan Pilpres 2014, terutama pada kampanye Pemilu 1999, 2004, hingga 2009, kaos partai politik atau bergambar wajah politikus tertentu dinilai sebagai salah satu media penting dalam berkampanye. Saat itu media untuk berpolitik masih sangat terbatas, hanya terikat pada iklan di surat kabar, baliho, spanduk, dan kaos. Kampanye politik melalui media sosial belum hadir atau belum seramai saat ini.

Saat itu, kaos-kaos bergambar lambang partai hingga wajah para calon elit politik mudah dilihat di mana-mana dan dipakai banyak orang. Harga yang dinilai terjangkau untuk pemesanan dalam jumlah banyak atau grosiran menjadi salah satu alasan mengapa kaos ini marak digunakan sebagai media politik.

Saat ini jika dilihat di website belanja online, untuk pemesanan kaos politik ini bisa seharga Rp10.000 hingga Rp.20.000 per satuannya.

Melihat cerita awalnya, kaos dan tagar #2019GantiPresiden sebetulnya belum jelas siapa yang memulainya, beberapa sumber di media menyebutkan hal tersebut dimulai dari gerakan di media sosial Twitter atau gerakan dari partai politik tertentu yang merupakan oposisi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebagian lagi menyebutkan diawali dari gerakan grup WhatsApp.

Begitupun juga kaos dan tagar #2019TetapJokowi dan #DiaSibukKerja juga belum terlihat jelas siapa yang sebenarnya memulainya duluan.

Kekuatan Media

Kekuatan media dalam ilmu komunikasi politik sebagai saluran untuk mempengaruhi masyarakat luas akan berujung pada pembentukan opini publik yang masif. Opini publik pada zaman dahulu digunakan sebagai sarana dalam proses kebebasan berpendapat masyarakat.

Namun seiring berjalannya waktu, muncul beberapa pihak yang kemudian memanfaatkan opini publik tersebut untuk memperkuat suatu pemikiran politik tertentu atau digunakan untuk menaikkan satu ideologi politik tertentu yang dinilai mampu mempengaruhi khalayak.

Semakin maraknya kaos #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi seakan menunjukan bagaimana kekuatan massa berbicara dan berkembangnya demokrasi di masyarakat. Begitu kekuatan massa tercipta dan opini publik terbentuk, akan timbul suatu kekuatan politik tertentu yang kuat menjelang Pilpres 2019.

Kekuatan politik tersebutlah yang akan dilirik oleh calon pemilih, dengan hipotesis sederhana, jika ada yang menguasai media dan opini publik, maka akan besar kemungkinan mereka memenangi pemilu.

Kaos ini seakan menjadi tools yang mampu untuk melipatgandakan pesan-pesan politik di media massa untuk mempunyai dampak terhadap berubahnya perilaku pemilih.

Akhirnya

Kaos dan tagar #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi mau tidak mau adalah bagian dari publikasi politik, suatu bentuk usaha untuk menyebarkan informasi dan mengharapkan untuk pencapaian dukungan.

Mau tidak mau juga keduanya adalah hal yang wajar dan diperbolehkan untuk dilakukan dalam berdemokrasi, karena keduanya adalah bentuk suara rakyat Indonesia.

Pada akhirnya, “perang” opini politik lewat kaos memang wajar dan bukan masalah, masyarakat Indonesia memang bebas beropini mengenai pilihan politik mereka, selama beropini itu masih di dalam batasan etika dan bukan mengintimidasi.

Kiki Esa Perdana adalah dosen ilmu komunikasi. Ia sangat antusias dengan isu komunikasi politik dan budaya.

Share: Adu Ide Lewat Kaos dan Tagar Boleh, Asal …