Foto: Freepik
Orde Baru sudah tumbang sekira dua dekade lalu, tapi pengaruhnya dalam memupuk kekuasaan politik berdasarkan jejaring “orang dekat”—alih-alih kompetensi dan proses seleksi yang ketat—masih tumbuh subur dan terus direproduksi dari masa ke masa.
Klaten, suatu kabupaten di Jawa Tengah, adalah contoh sahihnya.
Kekuasaan politik tertinggi di Klaten membikin kita sadar bahwa ajang pemilihan daerah tak ubahnya cuma bagi-bagi jatah antarpasangan suami-istri. Tak percaya? Begini ceritanya.
Dua tahun usai Reformasi, jabatan Bupati Klaten dipegang oleh Haryanto Wibowo, yang berpasangan dengan Wisnu Hardono. Lima tahun berlalu, pada 2005, Haryanto lengser dan posisinya kemudian digantikan Sunarna. Kader PDIP ini menjabat selama dua periode, 2005-2015, dengan wakil, salah satunya, Sri Hartini.
Siapa Sri Hartini? Tak lain dan tak bukan adalah istri Haryanto.
Ketika periode jabatan Sunarna habis, Sri Hartini naik ke tampuk kepemimpinan. Pada 2016, dia dilantik bersama Sri Mulyani, yang notabene istri dari Sunarna. Pasangan ini lantas menyabet gelar sebagai pasangan perempuan pertama yang memimpin daerah di Indonesia.
Namun, masa edar Sri Hartini tak berlangsung lama. Akhir 2016, Sri Hartini dicokok KPK, lewat operasi tangkap tangan (OTT), dalam kasus korupsi jual beli jabatan. Sri Mulyani pun naik peringkat. Sampai 2020, dia mengelola Klaten secara mandiri, tanpa diiringi keberadaan wakil bupati.
Ruwetnya pola kekuasaan di Klaten turut berbanding lurus dengan praktik korup yang dilakukan mereka.
Haryanto, misalnya, pernah menjadi tersangka korupsi pengadaan buku paket tahun ajaran 2003/2004 senilai Rp4,7 miliar. Pengadaan yang dilakukan Haryanto dinilai menyalahi aturan sebab tanpa proses tender.
Selain itu, dia juga terlilit kasus penggunaan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk perjalanan ke luar negeri. Seolah tak cukup, Haryanto juga sempat ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Klaten akibat kasus penjualan aset daerah yang dibanderol di bawah harga pasar.
Kasus-kasus di atas tak pernah menemui jalan keadilan. Entah dihentikan karena terlalu lama mengendap maupun dianggap bukan “praktik korupsi.” Semua menguap begitu saja sampai akhirnya Haryanto meninggal dunia.
Sama seperti sang suami, perilaku culas turut ditempuh istrinya, Sri Hartini. KPK meringkus Sri Hartini lantaran terlibat aktif dalam suap beli jabatan di Satuan Organisasi Tata Kerja (SOTK) dan potongan biaya atas dana bantuan keuangan desa di Klaten. Dari dua tindakan itu, Sri Hartini, total, menerima kurang lebih dana sebesar Rp12 miliar.
Oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, dia divonis 11 tahun penjara—lebih rendah dari tuntutan, 12 tahun—dan denda sebesar Rp900 juta subsider 10 bulan kurungan.
Praktik Sri Hartini membuka borok tata kelola pemerintahan di Kabupaten Klaten. Seorang saksi, bernama Nina Puspitasari, mantan ajudan Sri Hartini, menyebut bahwa suap promosi jabatan di Kabupaten Klaten dikenal dengan istilah “uang syukuran” dan sudah menjadi kebiasaan serta tradisi.
Para ASN yang ingin naik jabatan atau golongan biasanya akan menemui Nina. Tak lupa, mereka turut membawa sejumlah “uang syukuran” yang besarnya tak ditentukan—tergantung posisinya. Jabatan yang strategis, seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Bagian Perekonomian, otomatis bakal menyedot lebih banyak “uang syukuran” ketimbang pos lainnya, demikian pengakuan Nina.
Sri Mulyani sendiri, rupanya, tak luput dari kritik tajam selama menjabat Bupati Klaten. Dia, ambil contoh, pernah membagikan motor Yamaha NMAX kepada 401 kepala desa dan lurah di seluruh Klaten.
Kemudian, waktu pandemi, dia terciduk melakukan kampanye terselubung dengan memanfaatkan bantuan sosial untuk warga sekitar. Modusnya: foto wajahnya tertempel di perkakas hand sanitizer, disertai tulisan: “Hand sanitizer. Bantuan Bupati Klaten Ibu Hj. Sri Mulyani. Antiseptik.”
Yang jadi soal tatkala foto itu dilepas, muncul gambar lain yang memperlihatkan bahwa bantuan berasal dari Kementerian Sosial.
Dinasti politik yang ada di Klaten, tidak bisa dimungkiri, merupakan efek dari demokratisasi. Eksistensinya tak dapat ditepikan sebab sistem elektoral Indonesia pasca-Orde Baru membuka pintu kesempatan bagi semua orang—selama memenuhi syarat—untuk berpartisipasi dalam ajang politik praktis.
Persoalannya, keberadaan dinasi politik turut melemahkan proses check and balance dalam pemerintahan. Lemahnya pengawasan, karena penguasaan sumber daya berada di tangan mereka, lantas menuntun pada praktik-praktik culas: manipulasi, suap, hingga korupsi.
Upaya menutup pintu dinasti politik sebetulnya pernah diambil. Sayang, pada 2015 silam, Mahkamah Konstitusi membatalkan aturan terkait kerabat petahana dalam UU Pilkada (Pasal 7 huruf R).
Jalan lain yang dapat dilakukan ialah memperketat proses seleksi kader, meningkatkan pendidikan politik, hingga mempermudah aturan calon independen tak terikat partai. Akan tetapi, agaknya untuk merealisasikannya tak semudah membalik telapak tangan, mengingat ceruk politik kita dipenuhi orang-orang yang berebut kepentingan.
Di Pilkada 2020 ini, Sri Mulyani ikut ambil bagian. Dia maju bersama Yoga Herdaya, Ketua DPD Golkar Klaten. Lawannya: One Krisnanta-Muhammad Fajri dan Arif Budiyono-Harjanto. Peluang Sri Mulyani untuk menang terbuka lebar lantaran Klaten merupakan basis suara tradisional dari PDIP.
Dalam ajang pemilihan legislatif (pileg) kemarin, misalnya, PDIP berhasil merebut 19 kursi di DPRD, disusul 7 buah oleh Golkar. Jika perolehan suara dari kedua partai ini diakumulasikan, pendukung Sri Hartini-Yoga Herdaya mencapai lebih dari 350 ribu.
Kalau sudah begitu, praktis, yang bisa dilakukan setelahnya adalah memperkuat pengawasan. Bila tidak, kemungkinan lahirnya dinasti dari tangan Sri Mulyani akan terbuka lebar, dan akhirnya kepemimpinan Klaten akan berkutat dalam satu rumah belaka.