Isu Terkini

Kampanye Capres yang Menarik

Kiki Esa Perdana — Asumsi.co

featured image

Tanggal 23 September 2018 hingga 13 April 2019 merupakan waktu kampanye calon angota DPR, DPD, dan DPRD serta pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pada waktu kampanye presiden dan wakil presiden tahun 2014, Jokowi memulai strategi berkampanyenya dari Indonesia bagian timur, dan memulai hari pertamanya dengan selamatan bersama mesin partai yang memiliki pengaruh cukup besar dalam kegiatan kampanye pemilihan presiden. Sedangkan Prabowo saat itu memulai kampanye di kota Bandung, saat itu Jawa Barat dipilih menjadi provinsi pertama untuk Prabowo karena dinilai sebagai basis suara pendukungnya.

Saat tahun 2014, kampanye di sosial media dinilai cukup lancar. Gaya berkampanye aktif di sosial media , ditemani para buzzer politik, membuat perpolitikan terasa lebih hidup. Semua berusaha semaksimal mungkin untuk menarik para pengguna sosial media. Bergerak di sosial media pada saat itu memang banyak dilakukan politisi di berbagai belahan dunia, saat itu sosial media memang dianggap sebagai media baru yang dinilai menarik yang mampu mengakomodir suara dan juga dinilai mampu untuk menggaet suara anak muda. Indonesia yang disebut oleh kebanyakan orang sebagai ibukota media sosial di dunia, bukan tanpa alasan, ini dikarenakan pengguna akun media sosial di Indonesia yang dinilai sangat aktif, terhitung dengan jumlah 69 juta orang memiliki akun Facebook dan lebih dari 30 juta akun Twitter, jelas menjadi “ladang” yang menarik untuk politik saat itu.

Jika melihat perbandingan dengan beberapa negara lain, ciri khas pemilihan di Indonesia adalah, Indonesia memiliki ciri khas dengan pengerahan massa pada setiap kotanya saat kampanye. Sebagai contoh di negara Australia, pemilihan umum disana tidak mengenal pengerahan massa, pemilihan di Australia pun pernah menggunakan sosial media secara aktif untuk mencapai popularitas dan mencapai para pemilih pada tahun 2016, dimana saat itu Australian Labor Party terhitung menjadi partai yang populer di twitter Australia dengan followers sebanyak 106.000, kemudian ada Liberal Party dengan 104.000 pengikut. Australian Greens menjatuhkan Nationals party dengan perbandingan 74.000 dengan 24.000 pengikut, dan akhirnya ada Palmer United Party dengan 16.000 pengikut.

Begitu juga di Jepang, terkenal kampanye yang adem ayem. Walaupun sering kampanye di jalanan, mereka tidak pernah juga melibatkan massa yang banyak. Para politikus cenderung melakukan bentuk kampanye yang simpel, irit, dan tidak mengganggu kepentingan umum. Karena dikenal dengan kebersihannya yang super, kita tidak akan dengan mudah menemukan poster kandidat ditemukan dengan sembarangan di berbagai tempat. Sedangkan di Eropa, misal Jerman, jarang kita melihat politisi yang terpampang wajahnya, biasanya hanya tertulis visi misi dan program si calon dan Jika partai ingin memasang poster bergambar wajah politisi, ada peraturan tak tertulis yang harus dipatuhi yaitu tidak boleh melakukan manipulasi gambar untuk memperbaiki penampilan.

Jadi, bagaimana kampanye tahun ini akan berlangsung? Apakah akan tetap akan juga seperti 2014 yang banyak bermain di sosial media, atau hanya bergerak di lingkup nyata dan beradu visi, misi, dan program? Jika melihat dalam terminologi komunikasi politik, perkembangan kampanye akan terus berubah dari waktu ke waktu, mulai jaman dahulu, kampanye hanya sebatas ucapan pidato yang membicarakan visi dan misi, hingga akhirnya jaman modern, dimana bahkan ke pakaian yang digunakan pun bisa menjadi “nilai jual” bagi politikus. Hal ini berhubungan dengan image atau citra yang ditampilkan di media, good imaging atau pencitraan yang baik, akan dengan lebih mudah dikonsumsi oleh para pemilih di Indonesia yang jumlahnya jutaan. Semua politisi melakukan pencitraan menjelang pemilihan, jadi kata “pencitraan” tidaklah identik dengan satu atau dua calon saja.

Membuat bahan kampanye yang menarik para pemilih, memang bukan hal mudah, peraduan ide akan terjadi, adu solusi akan terjadi. Sedang untuk efek kelanjutannya para pendukung calon tertentu pun akan bertemu “lawan” lainnya di kantor, sekolah, warung kopi, ataupun bahkan tempat nongkrong. Jadi akhirnya, yang “diadu” bukan hanya tim sukses satu dengan tim sukses lainnya, namun juga para pendukung. Jadi bentuk kampanye yang sehat, tidak diiringi kebencian atau tidak mewakili politik identiitas, akan membuat demokrasi menjadi suatu hal yang sehat. Karena perilaku negatif dalam kampanye tidak hanya akan mencederai demokrasi, tapi juga memecah belah masyarakat yang sedang berdemokrasi, dimana mereka sesungguhnya adalah tokoh utama dalam berdemokrasi.

Kiki Esa Perdana adalah dosen Ilmu Komunikasi. Ia sangat antusias dengan isu komunikasi politik dan budaya.

Share: Kampanye Capres yang Menarik