Budaya Pop

“Kalau Bokek? Nikah”, Yakin Itu Solusinya?

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Twitter, platform media sosial yang selalu memiliki diskusinya tersendiri, beberapa hari belakangan ini sedang diramaikan dengan topik pembicaraan terkait pernikahan. Dalam meme yang beredar di Twitter, disebutkan bahwa menikah adalah solusi dari ke-bokek-an alisa tidak memiliki uang. Ketika saya membaca meme itu, segala segi rasionalitas yang ada di otak saya langsung bekerja. Saya ingin memahami, tanpa memberikan tuduhan-tuduhan aneh-aneh, alur logika di dalam tulisan tersebut. Tapi saya gagal. Saya tidak dapat melihat satu pun alasan rasional dari argumentasi bahwa kalau seseorang sedang tidak ada uang, ia harus menikah agar ada yang memberi nafkah. Karena memang sejatinya institusi pernikahan ada bukan untuk menjawab hal tersebut. Argumentasi saya mengenai hal tersebut akhirnya saya coba tuangkan melalui tulisan ini.

Kalo bokek mah solusinya bukan nikah tapi kerja.
Kalo lelah bekerja mah solusinya bukan nikah tapi istirahat ambil liburan.

Ga semua persoalan bisa diselesaikan dengan nikah. Gitu aja masa ga ngerti sihhh Jamileeeeh pic.twitter.com/L1Vqibw4hc— Naj (@Hujandisenja) September 18, 2018

Menelisik Asal Muasal Gagagan “Bokek? Nikah, Biar Ada yang Nafkahin”

Untuk memahami alasan di balik gagasan, “Bokek? Nikah, biar ada yang nafkahin”, tentu saya harus menelisik beberapa akar pikiran yang mendukung pernikahan itu sendiri terlebih dahulu. Akar pikiran pertama adalah agama. Institusi pernikahan, seperti ritual-ritual lain yang ada di dalam agama manapun, merupakan salah satu institusi sakral yang tidak boleh dilakukan dengan main-main. Dalam institusi tersebut, pernikahan merupakan sesuatu yang harus dilakukan dengan serius dan suci. Ada dosa-dosa tertentu jika institusi pernikahan, sebagai bagian dari agama, dilakukan dengan main-main. Agama mendorong kita untuk menikah sebagai salah satu cara untuk beribadah kepada Tuhan.

Selain agama, institusi pernikahan juga memiliki akar pikiran dari sosial-budaya yang berkembang di masyarakat. Dari sisi ini, institusi pernikahan dilihat sebagai cara untuk mengikatkan diri pada status sosial tertentu, melakukan ritual sosial-budaya yang berkembang, dan meneruskan keturunan. Dari sisi ini, jika institusi pernikahan dilakukan dengan sekadar main-main tanpa alasan yang jelas, akan ada konsekuensi-konsekuensi sosial yang mengikuti di belakangnya. Masyarakat mendorong seseorang untuk menikah untuk memenuhi peran-peran sosial tersebut di masyarakat sekaligus menjalani fungsi sebagai bagian dari masyarakat.

Lalu, apa signifikansinya memahami dua akar pikiran yang mendorong pernikahan ini? Dari dua akar pikiran ini, satu hal yang dapat disimpulkan adalah pernikahan bukanlah sesuatu yang dilakukan dengan alasan-alasan yang tidak logis. Segi agama maupun segi sosial-budaya sama-sama menempatkan pernikahan sebagai sesuatu yang sakral dan tidak main-main. Jika dilakukan dengan main-main, konsekuensinya juga besar.

Lalu, apakah bokek masuk ke dalam dua akar pikiran tersebut sebagai alasan yang mendorong seseorang untuk menikah? Tentu tidak. Bokek, atau tidak punya uang, bukanlah permasalahan yang diselesaikan dengan pernikahan. Bokek tidak ada dalam kedua akar pikiran yang mendorong seseorang untuk menikah.

Lalu, dari mana datangnya gagasan ini? Salah satu asumsi saya adalah gagasan ini datang dari sekelompok orang yang malas dan justru menjustifikasi hal tersebut dengan salah satu dari kedua akar pikiran yang mendorong pernikahan. Kenapa saya bilang malas? Karena dalam tatanan kapitalisme seperti saat ini (kecuali anda hidup di Korea Utara, Kuba, dan Venezuela), cara yang paling benar untuk mendapatkan uang adalah dengan meningkatkan kemampuan diri sendiri dan bekerja. Jika memang anda tidak punya uang dan merasa tidak memiliki kemampuan untuk bekerja, ada Lembaga Pelatihan Kerja yang disediakan oleh Kementerian Tenaga Kerja Indonesia. Banyak cara-cara arus utama yang dapat digunakan untuk mendapatkan uang dan tidak bokek selain pernikahan.

Menikah Karena Bokek Adalah Tindakan Sembrono

Selain itu, pernikahan sendiri merupakan institusi yang harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Akan menjadi sangat rentan untuk pernikahan jika dilakukan hanya karena ada jaminan keuangan. Karena sesungguhnya permasalahan dalam pernikahan bukan hanya uang. Masalah sosial dan personal, yang berpotensi datang dari pernikahan yang dilakukan secara sembrono, tidak bisa diselesaikan dengan uang, berapapun jumlahnya. Menikah tidak menambah pundi-pundi uang seseorang.

Lalu, kesembronoan dari menikah karena bokek juga tidak hanya berakibat pada permasalahan sosial dan personal yang berpotensi muncul. Akibat lain dari kesembronoan ini adalah adanya seseorang yang tidak independen pada dirinya sendiri. Pernikahan tidak menyatukan dua orang menjadi satu tubuh. Tetap akan dua akal pikiran dan dua tubuh yang berjalan beriringan dalam pernikahan. Jika dilakukan dengan ideal, tentu pernikahan harus tetap dapat mengakomodasi kepentingan dari kedua pihak yang menikah. Dengan berlandaskan tidak punya uang, gagasan ini telah mendorong seseorang untuk tidak independen pada dirinya sendiri. Dampak dari dependensi ini akan lebih parah jika ternyata pernikahan tidak sukses dan harus berujung perceraian. Hal tersebut dapat menciptakan permasalahan-permasalahan lain bagi salah satu atau bahkan kedua belah pihak yang menikah.

Hegemoni Budaya yang Terlanggengkan

Lalu, mengapa masih ada kelompok-kelompok yang setuju dengan gagasan tersebut? Salah satunya adalah karena gagasan ini merupakan pengejewantahan dari hegemoni budaya yang terlanggengkan. Seperti apa yang telah dijelaskan oleh Pangeran Siahaan dalam videonya, hegemoni budaya merupakan suatu dominasi kelompok tertentu pada kelompok yang termarjinalkan, tanpa yang termarjinalkan mengetahui bahwa ia sedang didominasi. Ia merasa bahwa gagasan yang ia percaya dapat memberikan keuntungan pada dirinya sendiri, tanpa tahu bahwa ada sekelompok pihak yang mengambil keuntungan dari langgengnya gagasan tersebut.

Lalu, siapa yang mendapatkan keuntungan dari langgengnya gagasan ini? Pertama, tentu sekelompok orang yang tidak melihat kesetaraan gender sebagai sebuah hal yang signifikan. Dengan melanggengkan gagasan ini, berarti telah menciptakan sekelompok orang yang dependen pada pasangannya (terutama dalam konteks ekonomi), alih-alih bekerja agar dapat menafkahi dirinya sendiri. Gagasan ini juga mengobjektifikasi satu gender untuk tidak menikah dan harus patuh pada pasangannya.

Kedua, sekelompok orang yang cemas bahwa pasangannya memiliki nafkah lebih banyak dari dirinya. Orang-orang ini merupakan sekelompok orang yang tidak percaya dengan dirinya sendiri dan berpikiran kuno. Berangkat dari gagasan ini, tentu tujuan akhirnya adalah adanya seseorang yang tidak dapat menafkahi dirinya sendiri. Gagasan agar semua gender secara setara memiliki kesempatan bekerja yang sama dan menjadi independen tidak diindahkan oleh kelompok-kelompok ini.

Hafizh Mulia adalah mahasiswa tingkat akhir program sarjana di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Tertarik dengan isu-isu ekonomi, politik, dan transnasionalisme. Dapat dihubungi melalui Instagram dan Twitter dengan username @kolejlaif.

Share: “Kalau Bokek? Nikah”, Yakin Itu Solusinya?