General

Kaderisasi Partai Pro Anak Muda

Ikhsan Yosarie — Asumsi.co

featured image

Suasana menuju pemilu 2019 dipenuhi anak-anak muda yang vokal dalam pilihan-pilihan politiknya. Nama-nama seperti Faldo Maldini, Tsamara Amani, Ryan Ernest, dan masih banyak lagi menjadi bukti bahwa ruang publik politik mulai beralih kepada anak muda. Apalagi frekuensi mereka muncul di media, baik cetak maupun elektronik, bisa dibilang cukup sering dalam menyampaikan pendapat atau mewakili kelompok masing-masing. Pun demikian dengan partai politik yang didominasi anak muda, semisal Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Partai-partai politik lain pun juga mulai memberi ruang kepada anak mudanya untuk muncul ke permukaan. Partai Amanat Nasional misalnya, dengan Faldo Maldini tadi. Hal ini juga menggambarkan bahwa anak muda berhasil menggeser dominasi generasi tua di dalam partai politik. Sejalan dengan itu, fenomena ini juga mencerminkan partai politik telah membuka ruang selebar-lebarnya guna memberi kesempatan kepada anak muda untuk tampil di depan publik.

Akan tetapi, fenomena ini patut kita beri catatan dan tinta merah sebagai bagian dari kontrol sosial dan bentuk partisipasi masyarakat dalam mengamati dinamika politik, khususnya menuju Pemilu 2019. Beberapa pertanyaan patut kita munculkan. Pertama, apakah fenomena pemberian ruang seluas-luasnya untuk anak muda oleh partai politik ini hanya mengikuti tren?

Kedua, apakah fenomena ini sebatas kepentingan elektoral partai politik saja? Ketiga, apakah pemberian ruang tersebut diiringi pendiktean pola fikir atau materi penyampaian disesuaikan dengan keinginan generasi tua di partai politik (under control)? Terakhir, apakah fenomena tersebut diiringi dengan peran anak muda yang membawa perubahan di partai politik, sekaligus ideologi partai juga tertanam pada anak muda tersebut? Meskipun dalam konteks yang berbeda, pijakan dasar dan poin penting dari keempat pertanyaan tersebut adalah persoalan kaderisasi partai politik.

Persoalan pertama, patut kita pertanyakan mengingat dinamika menuju pemilu 2019 dihiasi oleh anak-anak muda cerdas dalam pergulatan tiap calon. Mau tidak mau, tiap-tiap partai politik juga harus menampilkan anak muda di internal masing-masing. Tujuannya, agar kesan partai golongan tua dan partai yang tidak pro-anak muda tidak menempel pada mereka. Kemudian, tidak lupa pula bahwa realitas zaman, berikut perkembangannya, menempatkan anak muda sebagai primadona dan lokomotif perubahan. Maka, dengan dijadikannya perkembangan zaman tersebut sebagai komoditas politik, anak muda kemudian juga terseret sebagai primadona dalam politik praktis.

Kedua, segmen anak muda menjadi salah satu isu prioritas tiap-tiap partai politik dan kubu yang bersaing dalam Pemilu 2019 mengingat sekitar 40% lebih suara kalangan anak muda yang akan diperebutkan. Tiap-tiap partai politik kini berlomba merekrut, mengorbitkan, dan menampilkan anak muda dari partainya  ke ruang publik. Hal ini seakan mencitrakan partainya sebagai partai anak muda, partai berjiwa muda, ataupun partai pro anak muda.

Besarnya suara anak muda yang diperebutkan untuk pemilu 2019 nanti menjadi salah satu poin yang harus dicermati. Dalam bahasa lain, fenomena ini tentu masih mencerminkan anak muda sebagai komoditas politik. Dengan anak muda yang diberi ruang oleh partai politik, keberadaan mereka hanya sekedar dimanfaatkan partai untuk menarik suara anak muda. Sehingga, keberadaan dan kesempatan yang diberikan partai politik kepada anak muda tidak murni lagi sebagai bentuk dukungan terhadap anak muda. Malahan demi kepentingan elektoral, yaitu citra dan magnet untuk suara kelompok milenial. Alhasil, “muda” menjadi slogan politik dan “anak muda” menjadi komoditas politik.

Persoalan ketiga penting dibahas, agar jangan sampai kesempatan dan keleluasaan yang diberikan kepada anak muda itu hanya simbolik, karena dinamika dan realitas menjelang pemilu 2019 memang menempatkan anak muda berada di garda terdepan dalam beradu gagasan, sehingga menempatkan generasi tua hanyalah sebuah blunder. Artinya, apa yang disampaikan anak-anak muda yang tampil didepan publik itu hanya representasi pemikiran generasi tua yang memang tidak bisa tampil didepan publik. Anak muda tersebut tidak bisa bebas berpikir dan bergagasan di depan publik, apa yang mereka sampaikan berada di bawah kontrol partai dan generasi tua di dalamnya.

Dan persoalan keempat, anak muda di dalam partai politik itu ada, kembali kepada konteks pertama, hanya untuk mengikuti tren yang ada. Mereka di sana tidak membawa perubahan, dan semakin parah, ideologi partai tidak tertanam kepada mereka. Sebabnya dua, ideologi partai tidak terinternalisasi kepada mereka, dalam artian partai gagal, atau anak-anak muda yang direkrut memang yang tidak paham ideologi, namun hanya menjual good looking saja dan partai memanfaatkan itu.

Tantangan Kaderisasi

Keempat persoalan tadi berakar dari sistem kaderisasi partai politik. Implikasinya, apakah anak muda untuk pemilu 2019 ini hanya momentum? Kaderisasi lah yang nanti akan menjawabnya, dan kontinuitas lah jawabannya.

Begitu juga dengan PSI, kita akan lihat daya tahan partai ini untuk terus bertarung melawan dominasi dan hegemoni generasi tua dalam politik, baik kelompok ataupun partai politik. Jangan sampai PSI vokal saat ini karena momentum menuju pemilu 2019 memang menempatkan anak muda sebagai garda terdepan. Kemudian, jangan sampai juga setelah pemilu 2019, kevokalan anak muda di PSI surut, lantaran yang muncul hanya orang-orang itu saja, misalkan hanya Tsamara dan Ryan Ernest. PSI memiliki tanggungjawab, karena mengklaim diri sebagai partai anak muda, untuk terus memproduksi anak-anak muda hebat dalam kontestasi politik Indonesia, mereka gudang peluru. Dengan itu, kita akan melihat juga bagaimana bekal yang diberikan PSI secara partai kepada kader-kader mudanya, yang tentunya harus ideologis.

Partai yang mengutamakan anak muda, salah satunya PSI, jangan sampai bermental praktis dalam mengorbitkan anak muda, salah satunya mengkomoditaskan good looking anak muda untuk memperoleh suara konstituen, tanpa ingin bersusah payah menanamkan ideologi partai kepada anak-anak muda tersebut.

Ikhsan Yosarie adalah seorang peneliti di SETARA, Institut untuk Demokrasi dan Perdamaian.

Share: Kaderisasi Partai Pro Anak Muda