Sepekan lalu (12/12), alat berat dan aparat meratakan Tamansari. Penggusuran paksa terhadap pemukiman di RW 11 Tamansari, Bandung, berujung pada kericuhan. Ribuan aparat gabungan Satpol PP, Polrestabes, dan Kodim bersitegang dengan warga yang kukuh mempertahankan tempat tinggalnya. Gas air mata ditembakkan, dan warga serta simpatisan Tamansari terpaksa menyelamatkan diri ke masjid dan pusat perbelanjaan di dekat titik bentrok. Kabar tentang tindak kekerasan aparat terhadap warga Tamansari, bahkan laporan intimidasi terhadap jurnalis yang meliput, mengudara pada hari-hari berikutnya.
Sejak hari itu, 33 KK terpaksa mengungsi ke posko darurat di Masjid Al-Islam, Tamansari. Puluhan, bahkan ratusan orang berdesak-desakan di masjid mungil tersebut. Dapur darurat yang didirikan warga dengan simpatisan kerap bocor kala hujan. Dalam video dari lapangan yang diterima Asumsi.co, tampak barang milik warga ditumpuk dengan sembarang di salah satu sudut masjid.
Kebanyakan harta benda warga RW 11 diboyong aparat saat penggusuran. Pihak Satpol PP mengklaim bahwa barang-barang tersebut hendak dibawa ke Rusun Rancacili, yang ditetapkan sebagai tempat tinggal sementara warga gusuran. Namun, bagi warga RW 11 yang menyintas di posko darurat, nasib harta benda mereka tak jelas. Penelusuran oleh Forum Juang Tamansari menaksir kerugian harta benda senilai ratusan juta rupiah, bahkan salah satu keluarga tercatat mengalami kerugian sebesar Rp70 juta.
Fatia Maulidiyanti dan staff KontraS lainnya tiba di posko darurat Tamansari pada Senin (16/12) silam untuk mengantar sumbangan dari Jakarta. Menurutnya, kondisi di posko tersebut amat tidak layak. “Tempat tidur mereka hanya di karpet masjid, sebagian dengan karpet tipis, tapi lebih banyak tanpa alas sama sekali,” tutur Fatia. “Kamar mandi pun tidak mencukupi dan masjid tidak muat menampung mereka semua.” Anak-anak pun ditempatkan di lantai dua, yang hanya dapat diakses dengan tangga curam.
Kondisi fisik maupun psikis warga menurun drastis. Vando, bukan nama sebenarnya, adalah salah satu relawan dan simpatisan yang turut mendampingi proses gugatan warga RW 11 Tamansari. Sejak hari penggusuran, ia bergantian menyambangi posko darurat dengan relawan lain. “Warga masih merasa kelelahan dan mengalami guncangan psikis yang sulit disembunyikan,” ucapnya. “Baik anak kecil maupun orang dewasa, bisa dibilang, masih jauh dari kata bugar.”
Setelah pemeriksaan medis, kata Vando, beberapa warga mengalami persoalan kesehatan serius. “Ada anak usia satu tahun yang di-rontgen, lalu ditemukan zat yang berasal dari gas air mata,” tuturnya. Seorang warga lain, kisahnya, mengalami sakit berkepanjangan di alat vital akibat dihajar dengan tabung oksigen oleh aparat pada hari eksekusi.
Penggusuran tersebut dibingkai oleh Pemkot Bandung maupun Pemprov Jawa Barat sebagai upaya genting untuk merevitalisasi daerah kumuh. Dalam pemaparan yang dirilisnya kepada publik, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menuturkan bahwa sejak 2007 telah ada rencana untuk membangun rumah deret di daerah Tamansari. Mangkrak agak lama, pada 2017 Ridwan Kamil mengundang warga Tamansari untuk buka puasa bersama di Pendopo Kota Bandung.
Di sanalah, rencana ambisius untuk merombak dan merumahkan kembali warga Tamansari diumumkan kepada warga setempat. Kepada warga Tamansari, Pemkot menawarkan untuk memprioritaskan mereka sebagai penghuni rumah deret, menggratiskan biaya sewa selama lima tahun pertama, dan memberi keringanan sewa pada tahun keenam.
Namun, negosiasi dengan sebagian warga Tamansari berujung buntu. Pemkot menilai bahwa tanah Tamansari adalah aset negara, tetapi klaim ini disanggah oleh sebagian warga yang menuntut ganti rugi berupa sertifikasi, tanah, dan rumah. Menurut Rifki Zulfikar, pengacara LBH Bandung, SK pemberian kompensasi ujug-ujug diterbitkan saat proses keberatan warga belum selesai. Kesalahan prosedural ini digugat warga pada Oktober 2017, tetapi belum beres urusan di pengadilan, alat berat mulai membongkar sebagian rumah warga dan Satpol PP melayangkan surat peringatan.
Dua kali warga Tamansari menggugat Pemkot ke PTUN, dan dua kali pula mereka kalah. Oleh karena itu Walikota Bandung, Oded Muhammad Danial, menyatakan bahwa pihaknya “tidak sembarangan” saat mengeksekusi final Tamansari sepekan lalu. Kekalahan warga Tamansari dalam gugatan terkait SK kompensasi tersebut dianggap sebagai salah satu bukti bahwa klaim Pemkot Bandung terhadap kepemilikan tanah tersebut sah belaka. “Lahan ini statusnya punya Pemkot Bandung,” tutur Oded kepada Kompas.com. “Mereka sewa.”
Klaim ini diragukan oleh warga Tamansari maupun pendamping hukum mereka. “Pemkot Bandung hanya memiliki surat keterangan aset dan surat zegel (jual-beli) tahun 1930, yang mana menurut UU no 5 tahun 1960 kekuatan hukumnya tidak sebanding dengan sertifikat tanah,” ucap Rifki.
Persoalannya, bahkan tanpa sertifikat sekalipun, izin lingkungan untuk pembangunan rumah deret Tamansari terbit pada akhir 2018. “Pelibatan masyarakat dalam membicarakan dampak lingkungan tidak dilakukan,” kritik Rifki. “Padahal, itu harus dilakukan sebagaimana ditetapkan dalam UU no 32 tahun 2009 serta PP no 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.”
Proses penggugatan izin lingkungan tersebut masih berlangsung hingga kini. Menambah dahsyat persoalan, pada November 2018 Badan Pertanahan Nasional (BPN) menolak klaim Pemkot Bandung bahwa Tamansari adalah aset daerah. Mereka menetapkan bahwa tanah RW 11 Tamansari adalah tanah status quo–yang berarti baik pihak Pemkot maupun warga tidak bisa mendaftarkan tanah sebagai hak milik sebelum sengketa diselesaikan. Langkah Pemkot yang ngotot menggusur RW 11 ketika gugatan belum kelar pun dipertanyakan.
Eksekusi penggusuran yang penuh kekerasan juga menuai kritik. Di media sosial, dokumentasi yang menunjukkan dugaan kekerasan aparat TNI, polisi, dan Satpol PP berseliweran. Laporan warga digelandang Babinsa dan dikeroyok polisi berhamburan.
Kepala Satpol PP Bandung Rasdian Setiadi menyatakan bahwa pembongkaran bangunan mulanya “berjalan aman sampai selesai zuhur.” Namun jelang siang, “ada massa dan menggunakan atribut” yang melakukan pelemparan dan tindak kekerasan pada petugas. Hal ini diamini oleh pihak Walikota Bandung. Oded menuding bahwa terdapat keterlibatan dari warga luar Tamansari yang memancing kericuhan.
Bagi Vando, tudingan Satpol PP dan Walikota adalah “narasi usang.” Sejak 2017, warga bekerjasama dengan pelbagai elemen masyarakat untuk menghidupkan kembali daerah RW 11 Tamansari. Puing rumah warga disulap menjadi tempat konser, diskusi, pameran, hingga acara publik lain yang menghasilkan pemasukan rutin bagi warga.
“Tamansari telah menjadi titik temu pelbagai individu maupun kolektif di Bandung,” kata Vando. “Mau tidak mau, terjadi simpul pertemanan yang kuat dengan warga itu sendiri. Tamansari sudah jadi rumah bagi banyak orang.”
Salah satu musisi yang telah merasakan “manggung” di Tamansari adalah Oscar Lolang. “Bermain di sana rasanya campur aduk,” tutur Oscar. “Di satu sisi, tempatnya tinggal reruntuhan dan menurut kabar dari teman-teman yang aktif di sana, mereka tidak tahu kapan eksekusi penggusuran akan datang.”
Namun, di sisi lain, keguyuban antara warga Tamansari dengan aktivis, seniman, dan mahasiswa yang menyesaki tempat tersebut menginspirasinya. “Aktivasi yang dilakukan warga bersama kawan-kawan seniman, akademisi, dan aktivis bikin tempat itu tetap indah dipandang,” ungkap Oscar. “Beberapa titik dilukis, dipasang instalasi. Bahkan sempat ada wacana ingin bikin ‘sekolah alam’ di sana.”
“Pantas saja jika ketika proses eksekusi kemarin, banyak kawan solidaritas yang menghadang,” ucap Vando. “Siapa yang tidak mau melawan ketika rumah mereka sendiri akan dihancurkan?”
Bagi Fatia Maulidiyanti dan KontraS, kasus penggusuran paksa Tamansari layak ditelisik lebih jauh. “Sudah pasti ada pelanggaran HAM,” tuturnya. “Mulai dari pembiaran, dan fakta bahwa sampai sekarang (18/12) masih ada Satpol PP yang berjaga-jaga di sekitar Tamansari untuk melihat aktivitas warga. Padahal, mereka sudah tidak berbuat apa-apa lagi.”
“Penggusuran itu ada standar yang harus dipenuhi pemerintah agar tidak termasuk pelanggaran HAM,” jelas Fatia. “Harus ada negosiasi, kompensasinya harus terpenuhi, dan setelah tergusur warga harus mendapat perumahan yang layak.” Fakta bahwa eksekusi Tamansari berlangsung saat sebagian warga belum bersepakat mengenai kompensasi dan masih melakukan gugatan membuat kasus ini penuh kejanggalan.
Kabar baiknya, hingga kini bala bantuan berdatangan silih berganti bagi Tamansari. “Banyak sekali warga sekitar dari mahasiswa, masyarakat biasa, bahkan anak SMA yang datang untuk memberikan solidaritas dengan memberikan sumbangan dan trauma healing untuk anak-anak dengan bernyanyi serta mendongeng,” ungkap Fatia.
“Kami tidak menduga solidaritas bagi warga RW 11 Tamansari akan seluas hari ini,” ucap Vando. “Dari mulai mengambil peran di dapur umum, berperan menyortir bantuan fisik yang masuk, hingga menjadi tim medis yang stand by di posko.” Kran bantuan berupa donasi uang serta donasi sembako, pakaian, serta kebutuhan makanan pun tetap dibuka di Masjid Al-Islam.
Karena puing Tamansari kerap digunakan untuk konser, tak sedikit bantuan datang dari musisi-musisi lokal. Grimloc Records membuka posko donasi, sementara band independen Bandung seperti Heals, Gaung, dan Wreck melelang merchandise langka mereka dengan keuntungan seratus persen bagi Tamansari.
Pada Selasa (17/12) lalu, Sun Eater dan Mula Creativa pun mengorganisir konser amal dan garage sale Tamansari Berarti di Jakarta. Selain Oscar Lolang, musisi muda seperti Putra Timur, Reality Club, dan Ify Alyssa turut manggung di acara tersebut. Musisi Baskara Putra pun menginisiasi @jualantementemen, akun yang melelang karya musisi-musisi lokal untuk disumbangkan keuntungannya kepada Tamansari.
Setelah luka penggusuran paksa ini agak sembuh, langkah legal harus lanjut ditempuh. “Ke depannya, kami akan meminta lembaga negara seperti Ombudsman RI dan Komnas HAM untuk mengusut secara serius pelanggaran Pemkot Bandung dalam penggusuran Tamansari,” tutur Rifki Zulfikar. “Setelah semuanya terdokumentasikan, langkah hukum untuk pemulihan dapat mulai dipetakan.”