Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di Jakarta pertama kali dibangun pada 1969. Saat itu Ibu Kota sedang dipimpin oleh Gubernur DKI ke-7 Ali Sadikin. Pemerintah Provinsi membangun JPO di depan Sarinah, di daerah pertokoan pertama di Jakarta, di Jalan MH Thamrin. Kala itu JPO pertama di Jakarta dinamai dengan JPO Kartini. Sebab, hari peresmian JPO tersebut bertepatan dengan perayaan Hari Kartini.
Pembangunan JPO pertama di Jakarta yang dibiayai oleh swasta itu menelan biaya sebesar Rp 2,3 juta atau setara dengan Rp 300 jutaan di era saat ini. Pembiayaan itu memiliki konsekuensi, yakni perusahaan swasta boleh memasang reklame di badan jembatan penyeberangan selama lima tahun.
“Dengan dibukanya jembatan seberangan ini, semoga warga kota akan menjadi warga yang baik dengan mematuhi peraturan-peraturan serta mengunakan jembatan itu dengan baik pula,” kata Ali Sadikin seperti ditulis koran Kompas, 22 April 1968.
Di zaman Gubernur Anies Baswedan kali ini, JPO kerap menjadi sorotan. Kok bisa?
Pembongkoran JPO yang Dibangun di Era Ahok
Demi mewujudkan nilai estetika yang ada di kawasan patung Selamat Datang seperti tahun 1962, Anies Baswedan merobohkan JPO yang ada di sana. Padahal, pembangunan JPO yang dikerjakan pada masa Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama itu telah habiskan anggaran sekira Rp5 miliar.
JPO itu sendiri mulai didirikan oleh PT. MRT Jakarta pada tahun 2014 ketika Pemprov DKI memutuskan untuk mengerjakan proyek MRT di Ibu Kota. Ahok, demikian panggilan akrab Basuki, mengklaim kalau JPO Bundaran HI berbeda dengan JPO lainnya yang ada di Ibu Kota, mulai dari kekokohan, hingga keamanan.
Namun, pada Senin, 30 Juli 2018 Pemprov DKI yang dipimpin oleh Anies Baswedan mulai merobohkan JPO tersebut. Untuk menunjang masyarakat yang kerap menyebrang di sana, Anies menggantinya dengan pelican cross. Pelican crossing adalah singkatan dari pedestrian light controlled crossing, zebra cross yang dilengkapi dengan alat kontrol lampu pengatur lalu lintas di tempat penyeberangan jalan.
Rencana Anies Merevalitasi 12 JPO di Jakarta
Saat Sandiaga Salahuddin Uno masih masih menjabat sebagai wakil gubernur (wagub) DKI, Anies mengungkapkan rencananya untuk merevitilasi sebanyak 12 JPO. Dalam waktu dekat ini, sudah ada 3 JPO yang terlihat mulai memiliki penampilan baru, yakni JPO Ratu Plaza, Gelora Bung Karno, dan Polda Metro Jaya.
Tapi untuk 3 JPO itu sungguh mencengangkan biaya yang dikeluarkan. Ditaksir dana yang akan dihabiskan mencapai Rp. 56,3 miliar. Dengan rincian JPO Polda Metro Jaya Rp 19,36 miliar, JPO Gelora Bung Karno Rp 18,47 miliar, JPO Ratu Plaza Rp 17,39 miliar, dan Rp 1 miliar untuk biaya konsultasi ahli. Dimana kalau mencapai 12 JPO berarti Anies akan mengeluarkan dana lebih dari Rp. 200 miliar.
Pembangunan JPO di kawasan Bundaran Senayan sendiri sudah hampir rampung. Jembatan tersebut menggunakan rangka sandwich pannel berbahan baja dan alumunium serta diklaim ramah difabel. Pada JPO tersebut tersedia ramp, double railing holder, dan lantai bermotif kapsul timbul untuk difabel netra di sepanjang lantainya. JPO ini juga dilengkapi lift untuk mempermudah para lanjut usia, ibu hamil, anak-anak, dan penyandang disabilitas untuk naik dan turun.
“Sekitar akhir Mei nanti, lift akan siap dipakai,” ujar Pris Febrian Adlis, pemberi tugas dari PT Pesona Kathulistiwa Nusantara dikutip
Perbedaan dan Persamaan JPO Versi Ahok dan Anies
Standard JPO versi Ahok lebih murah. Jika Anies menghabiskan belasan juta untuk satu JPO saja, Ahok justru cukup menghabiskan dana Rp 5 miliar saja. Namun mantan anggota DPR itu sudah bisa menjamin keamanannya, karena ada tenaga sekuriti yang menjaga sampai 24 jam. Kemudian kebersihannya yang dilakukan 3 minggu sekali. Ada tong sampah di kedua ujungnya dan dilengkapi dengan bunga di kanan kiri JPO .
Meskipun Anies merobohkan JPO yang telah dibangun Ahok, namun untuk merevitalisasi mereka sama-sama menggunakan pendanaan dari pihak swasta atas pelampauan Koefisien Luas Bangunan (KLB). Sehingga, Anies mengikuti cara Ahok yang tidak menggunakan dana APBD DKI untuk pembangunan JPO.
“Iya betul, tidak menggunakan APBD tetapi dibiayai oleh PT PKN dari pelampauan nilai KLB,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Heru Suwondo, Sabtu, 3 November 2018.
Ia mengatakan, revitalisasi dibiayai oleh PT Permadani Khatulistiwa Nusantara. Perusahan tersebut mengajukan kenaikan Koofisiensi Lantai Bangunan (KLB) untuk salah satu gedungnya. Sebagai kompensasi maka diminta untuk melakukan revitaliasasi JPO.
Pembangunan infrastruktur menggunakan dana pelampauan KLB ini sudah diterapkan sejak era kepemimpinan Ahok di Jakarta. Penggunaan dana pelampauan KLB ini awalnya sempat menjadi polemik di kalangan DPRD DKI Jakarta, karena dinilai tidak ada payung hukum yang kuat. Namun kini, salah satu fasilitas publik fenomenal yang dibangun oleh Ahok menggunakan dana yakni Simpang Susun Semanggi.