General

Jiwa Korsa Kebablasan Berujung Konflik Antar Sesama Pengaman Negara

Tesalonica — Asumsi.co

featured image
ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

Konflik antar sesama aparat keamanan di Indonesia belakangan marak terjadi. Terhitung pada akhir November lalu saja, setidaknya ada tiga bentrokan yang melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri).

Seperti dirangkum Asumsi.co sebelumnya, adu jotos antar sesama aparat justru biasanya terjadi lantaran masalah sepele. Misalnya kasus anggota TNI yang adu jotos dengan dua anggota Polresta Ambon, insiden terjadi lantaran pemeriksaan surat kendaraaan.

Lalu bentrok antar oknum TNI AD dari Satgas Nanggala dengan oknum Polri dari Satgas Amole Brimobda Aceh di Papua pada Sabtu (27/11/2021) pukul 17.53 WIT. Hal ini terjadi karena masalah harga rokok yang dianggap terlalu mahal.

Konflik bentrok antar aparat hukum negara tersebut bukan kejadian pertama di lingkup TNI dan Polri. Menurut catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (KontraS), di era kepemimpinan mantan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto terdapat 19 konflik antar TNI dan  Polri.

Biasanya dimulai karena hal kecil, kasus-kasus ini berkembang hingga terjadi penganiayaan, intimidasi, bentrokan, penembakan, hingga perusakan fasilitas. Ujung-ujungnya aksi main hakim sendiri mengatas namakan kesetiakawan antar sesama korps pun tak terbendung.

KontraS mengungkap deretan konflik yang terjadi telah berimbas menimbulkan 26 korban dari 6 anggota TNI dan 20 anggota Polri yang mengalami luka-luka maupun meninggal dunia. Sungguh ironis, padahal TNI dan Polri diangkat menjadi satu kesatuan untuk mengamankan negara. Namun, kedua aparat hukum negara tersebut malah saling bentrok.

Justru Membahayakan

Pengamat Militer ISESS Khairul Fahmi menilai benturan kesatuan antara TNI dan Polri memang berpotensi sering terjadi. Apalagi di daerah rawan konflik, dimana tugas atau misi mereka kerap beriringan atau bersinggungan.

“Selain tingkat jabatan keamanan mereka lebih tinggi, kita juga harus mengakui kalau TNI dan Polri dicetak untuk bermental juara. Sehingga, mereka menganggap kesalahan dan kekalahan adalah hal yang memalukan,” kata Khairul kepada Asumsi.co, Selasa (30/11/2021).

Menurutnya, meski pimpinan TNI dan Polri perlu menunjukan sinergitas dengan baik lewat berbagai event atau momen, para personel di bawahnya justru mudah terpancing emosi dan memicu perkelahian, bahkan kontak senjata hanya karena perkara-perkara kecil.

“Hal tersebut tidak hanya membahayakan keamanan para prajurit sendiri, namun mengancam keselamatan warga juga. Sayangnya, kasus bentrok ini berulang dan jarang diobati,” ungkap Khairul.

Menurutnya, kasus bentrok kerap terjadi karena ego internal masing-masing. Khairul menyarankan tindakan kekerasan itu harus menjadi fokus utama bagi pihak TNI dan Polri untuk saling membenahi.

Memudarkan Tingkat Kepercayaan Publik

Khairul juga melihat adanya penghayatan jiwa korsa yang berlebih bahkan cenderung kebablasan. Menurutnya, sikap seperti itu malah menghilangkan rasa penghormatan sesama aparat hukum negara.

“Memang sikap seperti itu dibutuhkan ketika perang, namun tidak tepat apabila diterapkan dalam lingkungan sosial. Sehingga, sikap egosentris, super prioritas, dan jiwa korsa yang berlebihan menjadi penyakit utama,” katanya.

Konflik antar sesama aparat justru berpotensi memudarkan tingkat kepercayaan publik, karena sikap TNI dan Polri yang tidak saling intropeksi diri. Khairul juga menyoroti tindakan berlebihan yang kadang dilakukan TNI untuk terlibat kegiatan-kegiatan publik.

Menurutnya, TNI dan Polri jangan terlalu menunjukkan super prioritasnya terhadap masyarakat. Sebaliknya, TNI dan Polri dapat meningkatkan kembali kepercayaan publik dengan meminimalisir praktek buruk dalam pelayanan publik dan sistem penegakkan hukum yang dilakukan.

“Perlu ada norma-norma yang mengatur terkait penugasan mereka, upaya meningkatkan kekompakkan atau kerjasama yang baik,” jelasnya.

Faktor Usia dan Pendidikan

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Imparsial Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menilai pertengkaran antar anggota TNI dan Polri bukan menggambarkan gesekan institusi, melainkan orang per orang, atau sekelompok orang. Secara institusi, TNI dan POLRI sangat solid.

Senada dengan Khairul, Poengky mempermasalahkan jiwa korsa yang terlalu berlebihan. TNI dan Polri bakal merasa lebih “unggul” dan bersikap arogan serta sewenang-wenangnya pada yang lain.

Namun, Poengky menyoroti adanya persaingan yang sifatnya pribadi salah satunya kesalahpahaman. Sehingga, mereka perlu melihat kasus per kasus jangan digeneralisir.

“Bentrok yang terjadi antar TNI dan Polri rata-rata pelakunya berasal dari kalangan muda atau yang berpangkat rendah. Sehingga, faktor usia muda dan pendidikan menjadi salah satu faktor yang dominan terjadi,” ucap Poengky.

Poengky menyarankan perlu adanya pembinaan, pengawasan, dan teladan dari atasan langsung dan pimpinan satuan terkecil. Selain itu, perlunya bentuk penghargaan bagi yang berprestasi dan dorongan secara tegas bagi yang melakukan pelanggaran agar ada efek jera.

“Kompolnas sudah sering membahas konflik bentrok yang terjadi antar TNI dan Polri. Kompolnas mendukung solidaritas TNI dan Polri sebagaimana yang ditunjukkan oleh Panglima TNI dan Kapolri,” kata Poengky.

Dengan demikian, apabila ada yang melanggar atau menyimpang dari norma aturan yang telah dibuat maka langsung ditindak tegas. (zal)

Baca Juga:

Share: Jiwa Korsa Kebablasan Berujung Konflik Antar Sesama Pengaman Negara