Isu Terkini

Jika Revisi UU ITE Tak Masuk Prolegnas, Adakah Jalan Lain?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Desakan agar Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) direvisi muncul dalam beberapa waktu terakhir terutama setelah banyaknya korban yang terjerat seperti Baiq Nuril. Namun, revisi UU ITE tampaknya belum bisa direalisasikan dalam waktu dekat.

Hal itu disampaikan anggota Komisi I DPR Charles Honoris yang menyebut DPR belum mengagendakan revisi UU ITE sampai saat ini. Meski belakangan banyak desakan untuk merevisi dan bahkan menarik UU ITE karena dituding mengkriminalisasi sejumlah pihak.

“[UU] ITE sekarang belum ada pembahasan ya, pada posisi ini tidak ada agenda merevisi Undang-undang ITE. Memang kita tahu beberapa minggu terakhir cukup heboh soal kasus Baiq Nuril,” kata Charles, di Jakarta, Sabtu (20/07/19) seperti dilansir Antara.

Meski begitu, Charles mengungkapkan bahwa bisa saja revisi tersebut dibahas oleh DPR periode 2019-2024. “Jadi [revisi UU ITE] belum masuk pada prolegnas (program legislasi nasional), tapi bisa saja pada masa jabatan [DPR periode] yang baru, kalau memang ada aspirasi publik,” ujarnya.

Menurut Charles, wacana revisi itu berkembang karena ada aturan-aturan dari UU ITE yang dinilai merupakan pasal karet. Ia menyebut contoh Pasal 27 UU ITE yang melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Selama ini, pasal ini digunakan untuk menjerat berbagai pihak.

Baca Juga: Bagaimana Cara Baiq Nuril Bisa Dapatkan Amnesti dari Presiden Jokowi

“Sebetulnya saya salah satu yang dulu menolak penerapan pasal pidana untuk penyebaran informasi dan pencemaran nama baik, karena bagi saya sebetulnya hal tersebut diselesaikan secara perdata,” kata politikus PDI Perjuangan itu.

Lantaran UU ITE sudah disahkan sebagai undang-undang, mau tidak mau seluruh pihak mengikuti aturan yang berlaku. Namun, Charles tetap mendorong adanya peninjauan terhadap UU tersebut. “Bagi saya tentunya pasal pencemaran nama baik harus ditinjau kembali karena ini pasal karet, apabila tidak kita hapuskan ya kita buat lebih spesifik lagi,” ucapnya.

Revisi UU ITE memang terganjal masa bakti anggota DPR RI periode 2014-2019. Durasi waktu kerja yang tersisa bagi anggota dewan periode kali ini hanya kurang tiga bulan lagi atau sampai akhir September 2019. Sehingga kemungkinan anggota DPR saat ini tak mungkin melakukan perbaikan-perbaikan terutama revisi UU ITE dalam waktu yang sangat mepet.

Langkah Lain yang Mungkin Bisa Dilakukan

Executive Director SAFEnet Damar Juniarto menyebut revisi UU ITE memang mendesak diperlukan. Hanya melalui revisilah sejumlah pasal karet yang ada dalam UU ITE bisa diubah atau bahkan dihapus. Meski dalam waktu dekat revisi UU tersebut tak masuk prolegnas, ia menyebut ada peluang langkah lain bisa dilakukan.

“Sebetulnya yang paling mendesak itu kan kalau sekarang kita khawatir karena di Mahkamah Agung itu tumpukan kasus itu banyak sekali. Dalam catatan kami pada 2018, ada sekitar 240 kasus kalau nggak salah terkait jerat UU ITE, yang sedang berjalan di persidangan,” kata Damar saat dihubungi Asumsi.co, Senin (22/07/19).

Dengan banyaknya tumpukan kasus terkait UU ITE yang saat ini sedang berjalan, Damar melihat ada sedikit peluang untuk menyelesaikannya. Apalagi, kalau hanya berharap pada model advokasi atau aksi masyarakat sipil yang harus berjuang dengan cara mengumpulkan petisi. “Itu artinya akan banyak sekali petisi yang harus dibuat untuk membebaskan korban UU ITE.”

Menurut Damar, dari sisi masyarakat sipil, memang mau tidak mau harus mengupayakan cara yang lain, misalnya intervensi yang mungkin saja bisa dilakukan di pengadilan. “Bisa nggak misalnya kita mengerahkan upaya untuk mendesak Mahkamah Agung untuk mengeluarkan moratorium terhadap penggunaan UU ITE itu? Misalnya langkah itu coba dilakukan bila revisi UU ITE tak bisa dilakukan dalam waktu dekat.”

Baca Juga: YouTuber Rius Vernandes dan Jerat Mematikan UU ITE

Moratorium tentu harus atas dasar pemikiran yang sama bahwa ada pasal di UU ITE yang bermasalah. Menurut Damar, antara Komisi I DPR RI, Kominfo, beberapa LSM, lalu masyarakat sipil juga sama-sama menilai bahwa UU ITE memang bermasalah.

“Nah agar UU ITE itu tidak dipergunakan dulu, maka kita perlu moratorium dari MA. Sambil nanti tetap harus ada proses legislasinya, yakni menunggu DPR RI periode berikutnya 2019-2024, memasukkan itu dalam prolegnas, apakah nanti direvisi atau ada upaya lain, itu yang perlu kita upayakan.”

Menurut Damar, tak banyak pilihan langkah yang bisa diambil untuk menyelamatkan masyarakat dari jerat hukum UU ITE, kecuali revisi di parlemen. “Mungkin opsi lainnya begini, kami kan terus mendesak kehati-hatian aparat hukum untuk memilah mana kasus yang bisa diproses dan mana kasus yang tidak bisa diproses.”

Damar menilai sebelumnya yang jadi persoalan tentu soal ketidaktahuan aparat hukum terhadap seluk beluk UU ITE. Ia pun berharap kondisi itu harus diperketat lagi. Menurutnya, tak semua aduan ke polisi langsung diproses, tentu harus dipilah lebih dulu apakah pasal yang dikenakan tepat atau tidak.

Misalnya untuk pencemaran nama baik dalam Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 UU ITE, lanjut Damar, itu harus mensyaratkan delik aduan adalah perorangan, bukan badan hukum atau institusi. Apalagi diwakilkan oleh orang yang bukan tercemarkan nama baiknya. “Ini kasusnya orang ke orang, jadi tidak bisa kalau institusi.”

Kondisi itu berbeda dengan kasus yang menimpa Prita Mulyasari, ibu rumah tangga yang dilaporkan rumah sakit swasta karena memprotes layanan rumah sakit. Pada kasus itu, Prita tetap dihukum karena UU ITE belum direvisi seperti pada 2016. Dengan demikian, pencemaran nama baik dapat dilaporkan kendati arahnya bukan personal, melainkan institusi. Lalu pelapor pun seolah-olah dapat diwakilkan dengan kuasa hukum atau orang yang bukan dicemarkan nama baiknya.

“Nah kita minta ke kepolisian untuk lebih patuh dan juga nanti kejaksaan juga lebih patuh. Sebab belum lama ini dalam kasus YouTuber Rius Vernandes itu yang melaporkan kan pihak Serikat Karyawan Garuda, kan itu tidak bisa karena pencemaran nama baik itu ya orang ke orang.”

SAFENet Optimistis UU ITE Bakal Direvisi

Damar pun yakin nantinya revisi UU ITE bisa terealisasi, meski tidak dalam waktu dekat atau mungkin oleh DPR RI periode 2019-2024 mendatang. “Kalau saya sih optimistis bakal direvisi karena memang seperti itu caranya. Tapi harus jelas dulu yang mana yang harus direvisi.”

“Sebab pengalaman dalam revisi 2016 dulu, masyarakat sipil meminta pasal-pasal yang karet itu dicabut tapi sama sekali tidak ada upaya pencabutan. Bahkan yang kita harapkan bisa jadi jalan keluar justru tidak kita dapatkan dan tidak sesuai dengan janji pemerintah dan DPR. Jadi harus fokus, kalau memang ini direvisi dan kami optimistis. Bisa nggak ini sampai pada pemahaman yang sama, bahwa ini tidak boleh ada lagi pasal-pasal karet.”

Sekadar informasi, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan pada 21 April 2008 di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. UU ITE pun langsung bekerja lima bulan berikutnya atau tepat pada 6 September 2008.

Kala itu, Prita Mulyasari didakwa melanggar pasal 27 ayat (3) UU ITE dan pasal 310-311 KUHP lantaran dianggap mencemarkan nama baik RS Omni Internasional. Kasus Prita itu pun ramai jadi sorotan publik, bahkan memunculkan gerakan “Koin untuk Prita” dalam rangka membantu Prita untuk membayar denda.

Setelah Prita, kasus lain yang heboh dan jadi sorotan publik secara besar-besaran akibat jerat dari UU ITE adalah kasus yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. UU ITE menjerat Ahok terkait dugaan penodaan agama dalam rekaman video yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 saat dirinya berpidato di depan warga Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.

Selanjutnya, video tersebut masif tersebar di media sosial hingga memunculkan gerakan massa untuk memenjarakan dirinya. Akhirnya Ahok dikenakan pasal 28 ayat (2) UU ITE dan pasal 156 KUHP terkait penyebaran kebencian terkait SARA. Terbaru, tentu kasus Baiq Nuril yang pada akhirnya mengajukan amnesti ke Presiden Joko Widodo.

Share: Jika Revisi UU ITE Tak Masuk Prolegnas, Adakah Jalan Lain?