Isu Terkini

Jika Anies Baswedan Ingin Tingkatkan Persentase Pengguna Transportasi Umum, Jepang Bisa Jadi Contohnya

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Mass Rapid Transit (MRT), kereta rel listrik sebentar lagi bisa digunakan oleh masyarakat Indonesia. Gubernur DKI Anies Baswedan bahkan telah menjajal MRT bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Dalam kesempatan itu, Anies sempat mengatakan keoptimisannya, bahwa 75 persen warga Jakarta akan menggunakan transportasi umum di tahun 20130 mendatang.

“Jadi yang kita lakukan itu, dan targetnya di tahun 2030 kita bisa mengubah persentase yang sekarang ada. Saat ini 75 persen menggunakan kendaraan pribadi, 25 persen menggunakan kendaraan umum,” tutur Anies di Stasiun MRT Bundaran HI, Jakarta Pusat, Rabu, 20 Februari 2019.

Rasa optimis itu ia ungkapkan sejalan dengan perkembangan proyek MRT yang terus diintegrasikan. Hingga, lanjut Anies, nantinya orang-orang akan cenderung memilih transportasi umum karena alasan kenyamanan dan terjangkau secara harga.

“Anda lihat di atas sini, stasiunnya begitu keluar dari stasiun ini bisa nyambung ke halte TransJakarta. Jadi terintegrasi ke semua moda, itu nomor satu. Sehingga yang dikatakan Wapres tadi bahwa nyaman, aman, kemudian tepat waktu dan terjangkau secara harga dan geografis,” ungkap Anies.

Minat Warga DKI Menggunakan Transportasi Umum Masih Rendah

Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Iskandar Abubakar menilai minat warga DKI Jakarta untuk menggunakan transportasi umum masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari hasil kajian Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek. Misalnya pada 2015 lalu, dari total 47,5 perjalanan, hanya 24 persen saja yang memutuskan untuk menggunakan moda trasnportasi umum darat, seperti bus Transjakarta, ataupun commuter line.

“Dengan rincian, pengguna bus Transjakarta sebanyak 326.500 per hari, dan commuter line Jabodetabek sebanyak 759.564 per hari,” kata Iskandar di Jakarta, Senin, 22 Mei 2017 lalu.

Jumlah tersebut berbanding terbalik dengan jumlah pengguna kendaraan bermotor pribadi. Berdasarkan dari Data Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta pada 2015, jumlah kendaraan bermotor pribadi di DKI Jakarta mencapai 7.979.833 unit. Dengan rata-rata pertumbuhan hingga 8,12 persen per tahun.

Tingginya pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi dan rendahnya minat warga untuk menggunakan transportasi umum inilah yang menjadi salah satu alasan kemacetan di ibu kota sulit diatasi. Sayangnya, warga pun harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit jika ingin menggunakan transportasi umum.

Iskandar mengatakan, rata-rata warga Jakarta saat ini mengeluarkan 20 hingga 35 persen penghasilannya untuk berpergian dengan transportasi umum. “Padahal, harusnya 12 persen itu sudah maksimal,” ujarnya.

Belajar Mengubah Persentase Pengguna Transportasi Umum dari Jepang

Sebagai salah satu negara maju di dunia, Jepang memang memiliki sistem tranportasi publik yang amat baik. Terutama transportasi berbasis rel alias kereta. Hubungan antarmoda menjadi hal yang membuat keberhasilan Negeri Sakura itu sukses membangun jaringan kereta.

Berdasarkan sensus 2017 di Jepang, dari total 126,8 juta penduduk hanya 19,7 persen yang memilih menggunakan mobil pribadi sebagai moda transportasi sehari-hari. Sementara sisanya 79,7 persen menggunakan kereta sebagai transportasi penunjang mobilitas harian. Director General Manager Sales Departement/Real Estate Transaction Specialist JR Hakata City, Yusuke Nigo, pun mengungkapkan faktor di balik itu.

Pertama, kata Nigo, mereka dikondisikan untuk tidak mudah memiliki kendaraan pribadi. Untuk mendapatkan sebuah mobil, misalnya, harga yang harus ditebus masyarakat cukup mahal meskipun Jepang dikenal sebagai negara produsen merek mobil ternama di dunia. Kondisi tersebut juga didukung dengan mahalnya tarif parkir, pajak kendaraan, serta harga bahan bakar.

“Jadi, seolah-olah sudah alamiah mereka harus naik kereta,” ungkap Nigo.

Hal lain yang tak kalah penting, kata Nigo, yakni kecakapan dari masing-masing perusahaan kereta Jepang dalam menghadirkan sistem perkeretaapian yang nyaman bagi masyarakat. Misalnya, berlomba menciptakan stasiun bersih. Selain itu, kereta pun selalu datang tepat waktu.

“Yang dapat dilakukan operator adalah meningkatkan frekuensi operasi, harus tepat waktu dan membuat naik kereta yang nyaman dan mudah,” ujarnya.

Bahkan, beberapa perusahaan kereta juga memperomosikan penggunaan smartphone guna mengetahui kondisi kereta yang penuh serta menunjukkan kereta yang kosong. General Affair Asosiasi Operator Railway Swasta Jepang Ochi Mashimaro menuturkan, tingkat kepadatan penumpang telah menurun tajam. Hal itu berkat upaya peningkatan kapasitas transportasi. Mulai dari membangun jalur baru, pembaruan kereta, perbaikan stasiun, hingga pengaturan jaringan operasional.

“Selain itu, agar orang tua, penyandang cacat, ibu hamil, dan orang terluka dapat duduk, dilakukan sosialisasi melalui poster dan lain-lain mengenai kursi prioritas di sebagian tempat duduk di dalam kereta,” ungkap Mashimaro.

Jika bisa belajar dari Jepang, tentu kepadatan penumpang yang biasanya terjadi pada transportasi umum di Jakarta juga bisa dicari solusinya.

Share: Jika Anies Baswedan Ingin Tingkatkan Persentase Pengguna Transportasi Umum, Jepang Bisa Jadi Contohnya