Isu Terkini

Masih Ingat Jenazah WNI dalam Koper? Ini soal Perlindungan yang Tak Memadai Terhadap Pekerja Migran

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Ilustrasi: Ikbal/Asumsi.co

“Bukan salah dia, Mbak.”

Kabar tentang jenazah WNI yang ditelantarkan di dalam koper di jalan raya di Jeddah, Arab Saudi membuat pedih hati Ahmad, pekerja migran yang bekerja sebagai supir sekolah di negara tersebut.

Kabar yang diterima Ahmad, visa almarhum sudah kedaluwarsa sehingga dia luntang-lantung tanpa tempat tinggal dan tanpa pekerjaan. Ahmad curiga almarhum kabur dari pemberi kerjanya karena diperlakukan tidak baik dan kemudian ditelantarkan oleh agen.

Satu hal yang Ahmad pelajari setelah bekerja selama 10 tahun di Saudi: kasus overstay bukan cuma terjadi satu-dua kali. Tak jarang seorang pekerja diiming-imingi gaji besar dengan syarat masuk yang mudah. Hanya, alih-alih mendapatkan visa khusus kerja, pekerja tersebut mendapatkan visa kunjungan yang hanya berlaku 1-2 bulan. Banyak yang tak mengerti perbedaan keduanya.

“Visa resmi itu seperti punya orang tua: kalau sakit bakal dibawa ke rumah sakit, karena kalau nggak, bakal kena denda oleh pemerintah Arab Saudi. Sementara kalau nggak punya, ya, seperti tidak punya orang tua. Ketika meninggal dunia, tinggal dibuang saja oleh agennya.”

Agen dan majikan yang baik adalah perkara nasib, kata Ahmad. “Kadang agennya nggak ngurus, majikannya brengsek. Makanya sering ada pekerja yang kabur. Tapi agennya nggak akan tanggung jawab. Kalau sakit pun disuruh keluar. Dikasih gaji sekian bulan, lalu dibiarkan aja,” lanjutnya.

Jenazah berinisial A itu diidentifikasi sebagai seorang perempuan berusia 23 tahun. Ia diduga melarikan diri dari pekerjaannya sebagai petugas kebersihan di sebuah perusahaan Saudi di Mekah, kemudian ditampung oleh WNI lain—tetapi dia jatuh sakit dan meninggal dunia. Karena tak mau berurusan dengan polisi, orang yang menampung A memasukkan jenazahnya ke dalam koper dan membuangnya ke pinggir jalan.

“Harapannya, akan ditemukan orang dan dibantu penguburannya,” kata Konsul Jenderal RI Jeddah Eko Hartono, dikutip dari bbc.com pada 30 November lalu.

Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan bahwa Arab Saudi merupakan tempat kerja yang paling banyak dituju setelah Malaysia, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. Pada 2019, terdapat 7.018 warga negara Indonesia yang mengadu nasib ke negara tersebut.

Menurut laporan BP2MI pula, salah satu sumber pengaduan terbanyak oleh para pekerja migran berasal dari negara ini. Pada 2019, terdapat 1.372 pengaduan dari Arab Saudi yang diterima oleh BP2MI—kedua terbanyak setelah Malaysia yang totalnya 4.845 pengaduan. Overstay jadi masalah yang paling banyak diadukan—yang kemudian disusul oleh penunggakan gaji, sakit, ingin dipulangkan ke kampung halamannya, dan lain-lain.

Nur Harsono, Koordinator Bantuan Hukum Migrant CARE, menyatakan bahwa tempat penampungan bagi pekerja migran yang visanya sudah kedaluwarsa bukannya tidak ada. Hanya, ada perbedaan yang buram antara tempat penampungan yang punya intensi melindungi dan yang sekadar ingin memanfaatkan para pekerjanya.

“Ada tempat penampungan yang tujuannya benar-benar menolong pekerja yang dianiaya oleh majikannya, atau mencarikan pekerjaan lain bagi yang tidak digaji atau digaji di bawah standar. Ada juga yang hanya memanfaatkan mereka: pekerja yang datang dengan visa umrah dicarikan majikan paruh waktu dan kemudian overstay.”

Nur Harsono menjelaskan bahwa situasi pekerja migran di wilayah Arab Saudi atau Timur Tengah tergolong lebih rentan dibandingkan wilayah-wilayah lain. Pertama, perjanjian bilateral antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi belum memastikan jaminan perlindungan kepada pekerja-pekerja migran.

Kedua, secara budaya, praktik perbudakan masih banyak ditemukan di sana. Ada sistem kafalah yang menganggap majikan berkuasa penuh atas pekerjanya.

“Ketika majikan sudah membeli jasa pekerja migran lewat agen, si majikan menganggap pekerja itu sudah menjadi miliknya dan bisa diperlakukan semaunya. Oleh karena itu, banyak pekerja migran yang berakhir kerja 16-18 jam tanpa upah lembur. Ada juga yang menjadi korban kekerasan fisik hingga seksual.”

Ketiga, ada tumpang tindih aturan tentang penempatan pekerja migran di Timur Tengah. Pemerintah sempat menghentikan penyaluran pekerja migran ke wilayah Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, lewat Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang “Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan Di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah”.

Namun, pada 2018, Arab Saudi seolah diberikan pengecualian dengan lahirnya Kepmenaker RI No. 291 tahun 2018 tentang “Pedoman Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Kerajaan Arab Saudi Melalui Sistem Satu Kanal”.

Di satu sisi, berlakunya moratorium ini menimbulkan masalah. Praktik perekrutan secara ilegal menyubur karena agen-agen penyalur resmi tutup. Namun, di sisi lain, membuka kembali akses tanpa mengevaluasi situasi dan kondisi pekerja migran juga tidak menyelesaikan masalah.

“Mestinya, penutupan itu berbuah evaluasi, misalnya perjanjian bilateral atau regulasi yang merespons masalah-masalah yang ada. Ini untuk memastikan adanya perlindungan bagi pekerja di sana sebelum mereka dikirim. Tapi ini kan belum ada evaluasi. Ini yang kita sesalkan,” jelas Nur Harsono.

Migrant CARE dalam laporan outlook-nya pada 2020 menilai bahwa tumpang tindih aturan ini membuat pemerintah Indonesia berkontribusi terhadap maraknya kasus perdagangan manusia di Timur Tengah. Apalagi, regulasi-regulasi ini minim disosialiasikan—berimplikasi pada kebijakan dan informasi yang multitafsir tentang penempatan pekerja migran di Timur Tengah.

“Tumpang tindih dan inkonsistensi kebijakan penempatan pekerja migran ke Timur Tengah berpotensi membuka ruang bagi jalur-jalur migrasi non-prosedural atau tingginya pasar gelap perekrutan pekerja migran melalui modus-modus yang lekat dengan perdagangan orang.”

Lantas, dengan segala ancaman dan ketidakjelasan aturan, kenapa masih banyak pekerja migran yang tergiur untuk datang ke Arab Saudi?

“Biayanya murah,” kata Ahmad yang saat ini sedang kembali ke Indonesia karena sekolah-sekolah di Arab Saudi masih tutup akibat pandemi.

“Kalau ke Taiwan atau Hong Kong, mahal. Visa dan tiket penerbangan ditanggung sendiri. Bisa Rp50-60 juta. Di Saudi, majikan istilahnya beli saya. Jadi semua majikan yang tanggung.”

Ketika ditanya apa hal yang bisa diperbaiki untuk menjamin perlindungan pekerja migran di Arab Saudi, jawaban Ahmad terdengar putus asa: “Susah, mbak,” katanya. “Pendatang-pendatang ini kan kebanyakan dari kampung. Banyak yang nggak mengerti. Perusahaan atau agen nggak mau tahu.”

Akses terhadap informasi yang minim ini pula yang dipersoalkan oleh Nur Harsono. “Mereka [pekerja migran] bisa jadi tahu tentang tempat-tempat perlindungan pekerja migran di KBRI, tapi tidak tahu cara mengaksesnya.”

Untuk itu, Nur Harsono meminta pemerintah untuk segera melakukan perbaikan di segala lini: perjanjian bilateral, akses ke rumah aman, pendataan agen-agen yang menampung pekerja migran, hingga sosialisasi layanan perlindungan oleh KBRI ataupun KJRI.

Hingga artikel ini diterbitkan, Konsulat Jenderal RI Jeddah dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) belum menjawab permintaan wawancara Asumsi.co tentang kelanjutan kasus jenazah A yang ditemukan di dalam koper dan situasi overstay di Arab Saudi.

*Ahmad adalah nama samaran. Demi keselamatannya, ia meminta identitasnya dirahasiakan.

Share: Masih Ingat Jenazah WNI dalam Koper? Ini soal Perlindungan yang Tak Memadai Terhadap Pekerja Migran