General

Jelang Debat Pilpres V: Akankah Revolusi Industri 4.0 Menutup Banyak Lapangan Pekerjaan?

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Debat Pilpres putaran kelima akan dilaksanakan pada Sabtu, 13 April 2019 mendatang. Debat yang akan digelar di Hotel Sultan ini akan mengusung tema Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, Keuangan, dan Investasi. Melihat dari debat-debat sebelumnya, pemanfaatan kemajuan teknologi menjadi salah satu isu yang dibahas. Kemajuan teknologi yang dinamai Revolusi Industri 4.0 ini juga bisa berkaitan dengan ranah ekonomi. Sebab, dipercaya bahwa revolusi industri 4.0 memberikan efek pada berbagai ranah.

Gaung Revolusi Industri 4.0 belakangan ini memang semakin nyaring. Para politisi yang turut membicarakan hal ini menjadi salah satu pemicu utamanya. Meski demikian, masih banyak masyarakat yang belum sadar bahwa Revolusi Industri 4.0 sudah di depan mata. Masyarakat juga belum sadar adanya ancaman yang mengintai di balik Revolusi Industri 4.0 ini.

Salah satu ancaman tersebut adalah tergantinya pekerjaan manusia dengan robot. Dilansir dari CNBC Indonesia, semenjak tahun 2016, Revolusi Industri 4.0 diperkirakan sudah mengakibatkan 50 ribu karyawan bank di Indonesia terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Jika tidak berbenah diri, jelas gelombang PHK ini dapat mengintai lebih banyak lagi pekerja.

Meski demikian, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengungkapkan bahwa pemerintah akan pro-aktif memastikan pekerja yang posisinya tergantikan dengan robot, siap untuk kembali beradaptasi dengan kehadiran teknologi tersebut. Dengan cara itu lah pekerja yang posisinya tergantikan tetap dapat bekerja.

“Tapi kita harus pro-aktif. Misalnya, pemerintah kan punya program satu juta rumah, kalau bikin sejuta rumah tapi masih manual, lama kan jadinya, makanya pakai 3D printing satu hari satu rumah,” ujar Menteri Rudiantara pada media, Sabtu, 19 Januari 2019. Ia pun melanjutkan, “Nah, di sini lah kita pro-aktif, kita didik dulu pekerjanya jadi operator 3D printer, misalnya. Jadi, menurut saya, saya melihatnya lebih banyak potensi lapangan pekerjaan baru dibanding yang hilang.”

Salah satu mekanisme spesifik yang sudah dilakukan pemerintah adalah memfasilitasi pelatihan-pelatihan ketenagakerjaan yang tersertifikasi. Kemudian, para pekerja yang sudah tersertifikasi tersebut akan terhubung secara langsung dengan perusahaan yang mencari kerja lewat satu situs bernama karir.com.

“Jadi dari sini nanti begitu lulus sebagian juga sudah masuk ke karir.com, jadi sertifikasinya bukan hanya skill-nya di sini tapi sertifikasi SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang berlaku di ASEAN,” lanjut Menteri Rudiantara.

Rasa Khawatir Timbul dari Asosiasi Pengusaha

Meski Menteri Rudiantara begitu optimis dengan Revolusi Industri 4.0, suasana yang berbeda diungkapkan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) beberapa waktu sebelumnya. Menurut Apindo, Revolusi Industri 4.0 adalah ancaman yang sangat serius, terutama jika jumlah tenaga kerja yang tidak terampil jumlahnya masih begitu banyak.

“Betul ini akan menjadi ancaman yang sangat serius kalau tidak diantisipasi nanti apabila terjadi ledakan jumlah tenaga kerja yang tidak terampil di sektor formal,” tutur Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani di Jakarta, Senin, 23 April 2018.

Menurut Hariyadi, pola pendidikan di Indonesia harus segera diubah agar menyesuaikan kondisi saat ini. Terutama, kondisi saat ini yang menunjukkan lebih banyak orang yang memilih untuk bekerja sendiri-sendiri.

“Ini harus dilihat lagi dan sekarang juga orang lebih cenderung bekerja sendiri-sendiri atau self-employed. Nah itu kan harus ada panduan, cara-cara pelatihan dan vokasinya harus disesuaikan,” ujar Hariyadi.

Memahami Revolusi Industri 4.0: Era “Internet of Things”

Untuk menghadapi Revolusi Industri 4.0, jelas masyarakat perlu memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan revolusi industri tahap keempat ini. Bernard Marr, dalam sebuah artikel yang dipublikasikan oleh Forbes, mengungkapkan bahwa angka 4 dimaksudkan sebagai revolusi industri keempat yang terjadi di dunia.

Revolusi industri pertama terjadi ketika mesin uap ditemukan. Penemuan ini terjadi di paruh kedua abad ke-18. Revolusi industri kedua terjadi ketika mekanisme produksi massal dengan alur perakitan modern ditemukan. Sedangkan revolusi Industri ketiga ditandai dengan ditemukannya mesin komputer dan automasi mulai dilakukan. Bedanya revolusi industri ketiga dengan yang dihadapi saat ini adalah pada revolusi industri keempat, penggunaan Internet of Things (IoT) yang lebih digencarkan.

Dalam era IoT, koneksi internet tidak lagi bekerja hanya untuk manusia. Benda-benda yang terkoneksi dengan internet dapat melakukan kerjanya sendiri dan memproduksi output atau informasi tanpa perintah manusia. Mesin teknologi mampu mempelajari kebutuhan penggunanya dan memproduksi informasi tanpa perintah. Peran algoritma dan teknologi machine learning menjadi signifikan dalam era IoT ini.

Satu contoh yang paling sederhana bahwa saat ini merupakan era IoT adalah ponsel pintar yang kita miliki. Ponsel pintar mengetahui bahwa kondisi cuaca di luar ruangan sedang terlalu panas. Tanpa perintah pengguna, ponsel pintar sudah mengolah data cuaca tersebut melalui internet dan bahkan menyarankan pengguna untuk berhati-hati.

Bayangkan jika kondisi yang sama terjadi pada mesin-mesin produksi yang sudah terautomasi? Kemampuan mesin untuk mempelajari pola dan mengetahui kondisi di sekitarnya dapat membuat teknologi-teknologi tersebut menggantikan pekerjaan manusia yang sebenarnya cukup rumit dan kompleks. Hal ini lah yang menyebabkan perdebatan mengenai ancaman pengangguran teknologi menjadi begitu hangat dalam narasi Revolusi Industri 4.0.

Share: Jelang Debat Pilpres V: Akankah Revolusi Industri 4.0 Menutup Banyak Lapangan Pekerjaan?