Isu Terkini

Jangan Sepelekan Pembagian Tugas Rumah Tangga

Nicky Stephani — Asumsi.co

featured image

Minggu adalah hari terindah bagi Anto. Dia bisa bangun siang, tidak perlu berangkat ke kantor, plus bisa leyeh-leyeh seharian. Surga turun ke bumi setiap hari Minggu, gumam Anto sambil rebahan di sofa depan televisi.

“Mas, keran tempat cucian piring mampet. Tolong benerin, dong.” Suara istrinya, Susan, terdengar dari arah dapur.

“Iya, nanti,” jawab Anto santai.

Tidak ada yang spesial dengan hari Minggu buat Susan. Setiap hari ia mesti bangun pagi, memasak, mengurus anak, mencuci, dan membersihkan rumah. Beban kerja Susan seharusnya lebih ringan di akhir pekan karena suaminya libur dan mereka bisa berbagi tugas. Namun, alih-alih bisa bersantai, Susan malah lebih sering dongkol karena Anto kerap ogah-ogahan mengerjakan pekerjaan rumah. Ia beberapa kali meluapkan kekesalannya hingga mereka bertengkar hebat. Namun, selang beberapa minggu, masalah yang sama kembali terulang. Lagi-lagi perkara pembagian tugas rumah tangga.

Bukan, itu bukanlah adegan sinetron di layar kaca, melainkan peristiwa sehari-hari. Kita semua pernah bermasalah dengan tugas rumah tangga yang pada praktiknya terasa memberatkan dan membuat kita mengerjakannya sembari bersungut-sungut. Tak heran jika pembagian tugas domestik kerap kali memantik perselisihan suami-istri. Riset Harvard Center for Population and Development Studies pada tahun 2016 menunjukkan bahwa pembagian tugas rumah tangga yang tak setara hampir selalu ditemukan dalam berkas gugatan cerai. Ibarat gunung es, masalah pembagian tugas ini memang tidak tampak di permukaan. Tapi, bukankah yang tak kasat mata justru lebih menyeramkan?

Istilah “tugas domestik” muncul karena adanya pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin (sexual division of labour). Sederhananya, ranah kerja dibagi menjadi dua, yaitu domestik (di dalam rumah) dan publik (di luar rumah). Pekerjaan publik umumnya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan mengerjakan pekerjaan domestik. Para feminis percaya bahwa pembagian kerja semacam itu terjadi bukan karena “kodrat”, melainkan akibat konstruksi sosial atas gender. Posisi dan peran gender dibentuk dan diwajarkan sedemikian rupa oleh masyarakat, termasuk keluarga, sehingga dalam pelaksanaannya kita lupa bahwa keduanya bukanlah harga mati.

Saat ini, banyak perempuan yang bekerja di ranah publik. Rumah tangga dengan suami-istri yang sama-sama berkarier sudah menjadi fenomena umum di masyarakat. Hingga akhirnya muncul kegelisahan: Terus siapa, dong, yang ngerjain tugas-tugas rumah?

Absennya perempuan di rumah menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlangsungan kerja domestik. Jika mengacu pada metafora pintu berputar (revolving door) yang dikemukakan oleh sosiolog Michael Young dan Peter Wilmott, laki-lakilah yang seharusnya mengambil alih tugas domestik. Argumennya sederhana, ketika suami bekerja, istri yang mengurus rumah tangga, dan saat kondisinya dibalik maka keduanya harus bertukar peran. Dengan demikian, institusi rumah tangga dapat berlangsung dengan baik dan tidak menghambat jalannya sistem kapital dalam masyarakat. Sayangnya, pertukaran peran seperti revolving door hanya mungkin terjadi pada rumah tangga yang suaminya lebih banyak berada di rumah, entah karena tuntutan pekerjaannya atau memang karena ia tidak bekerja sama sekali. Sedangkan dalam rumah tangga yang suami dan istrinya sama-sama bekerja, pertukaran peran ini bisa dibilang mustahil terjadi.

Kenyataannya, istri menjalani double shift alias memikul beban ganda. Ia bekerja di luar dan di dalam rumah. Tugas domestik tetap menjadi beban kerja istri tak peduli apapun kondisinya. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa istri yang bekerja tidak menambah beban kerja suami, bahkan dapat dikatakan sama sekali tidak mengganggu pekerjaan suami.

Jika pertukaran peran tidak terjadi, apakah pembagian kerja domestik yang adil mungkin dilakukan? Tampaknya hal ini kelewat ideal untuk terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Ketika suami dan istri berdiskusi tentang pembagian kerja domestik, solusi yang lebih sering dipilih adalah menggunakan jasa atau bantuan pihak lain seperti mempekerjakan asisten rumah tangga atau menitipkan anak kepada orang tua salah satu pihak. Alih-alih menambah beban kerja suami, istri yang bekerja justru membagi bebannya kepada perempuan lain seperti ART perempuan, ibu mertua, atau ibu-ibu tetangga sebelah. Lagi-lagi, suami lolos dari kewajiban tugas rumah tangga.

Lalu bagaimana dengan para suami yang bersedia mengerjakan tugas domestik? Untuk sementara kita tepikan dulu asumsi “kerja paksa” yang menimpa mereka. Ketika suami mau turun tangan untuk urusan domestik, pertengkaran soal pembagian kerja dapat dihindari, benarkah begitu? Untuk menjawabnya, kita perlu menengok realita di lapangan.

Jika ditelisik lebih lanjut, meskipun sama-sama dilabeli tugas domestik, ada perbedaan mendasar antara pekerjaan rumah tangga istri dan suami. Mayoritas tugas domestik istri bersifat mendesak. Coba bayangkan jika pada tengah hari kita menunda barang dua jam untuk memasak makan siang. Yang terjadi berikutnya adalah perut keroncongan, fokus pikiran menurun, tubuh mulai lemas, dan keluhan lapar pun dilontarkan. Begitu pula dengan mencuci, membersihkan rumah, dan merawat anak, tugas-tugas tersebut harus dikerjakan saat itu juga untuk menjamin keberlangsungan siklus hidup sehari-hari. Itu semua berkebalikan dengan tugas domestik suami yang ramah dengan kata “nanti”. Tidak mencuci mobil hari ini tidak akan membuat mobil mogok, menunda mencabut rumput tidak bakal membuat halaman dipenuhi semak belukar setinggi pohon kelapa. Sama halnya dengan tugas reparasi barang-barang elektronik, membuang sampah, dan mengajak anak jalan-jalan.

Tugas domestik istri juga relatif bisa disambi atau multitasking. Seorang istri dapat memasak sambil mengawasi anak dan menunggu cucian selesai diproses mesin cuci. Perlu diingat, ini tidak ada kaitannya dengan mitos yang mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk serba bisa dan lebih jago multitasking dibanding laki-laki. Beberapa jenis pekerjaan rumah tangga memang memungkinkan untuk dikerjakan bersamaan. Berbeda dari tugas domestik suami yang biasanya membutuhkan fokus dalam pekerjaannya. Sepertinya akan sangat sulit mengingat bahwa kita sedang menanak nasi di tengah kesibukan mereparasi kipas angin. Oleh karena itu, ketika ada yang bilang istri mengerjakan lebih banyak pekerjaan rumah tangga, kita tidak bisa mengabaikan karakteristik pekerjaan rumah tangga itu sendiri.

Karakteristik lain yang perlu diperhatikan adalah persepsi terhadap kerja rumah tangga itu sendiri. Sosiolog Michael Bittman menjelaskan bahwa tugas domestik suami memiliki kadar hiburan (leisure) dan pengalihan (escapism) yang lebih tinggi dibanding tugas domestik istri. Suami menganggap pekerjaan rumah tangga sebagai kegiatan alternatif dari rutinitas mereka di ruang publik, sementara istri memandang tugas domestik sebagai kewajiban, bahkan mungkin beban. Soal mengurus anak, misalnya, ayah mengerjakan bagian bersenang-senang seperti bermain dengan anak, mengajak anak jalan-jalan, atau membacakan buku dongeng. Di sisi lain, ibu mengerjakan tugas-tugas yang berkaitan dengan kebutuhan dasar anak seperti memberi makan, mengganti popok, memandikan, dan mengajarkan kedisiplinan. Tak heran jika banyak anak melihat ibunya sebagai sosok yang menakutkan karena suka ngomel-ngomel sementara ayah adalah malaikat penyayang yang menyenangkan.

Perbedaan pengalaman akibat pembagian kerja berbasis gender menimbulkan persepsi yang berbeda pula terhadap definisi dan urgensi tugas domestik. Bagaimana jadinya jika pemahaman istri tentang tugas rumah tangga dipaksakan ke benak suami, begitu pula sebaliknya? Bagi istri, pekerjaan rumah tangga harus buru-buru diselesaikan, sedangkan menurut suami pekerjaan itu masih bisa menunggu.

Betulin kipas angin aja gak kelar-kelar,” keluh seorang istri kepada suaminya di saat ia mampu menyelesaikan tiga pekerjaan sekaligus dalam kurun waktu satu jam. “Istri saya hobi nyuci dan beberes rumah,” ungkap suami yang beranggapan bahwa istrinya sangat menyukai pekerjaannya seperti ia yang sangat suka mengajak anaknya main ke taman.

Jika kamu mengalami atau merasakan hal-hal semacam itu, niscaya cepat atau lambat prahara akan menghampiri keluargamu. Namun, jangan khawatir, kerjakan dan selesaikanlah bagianmu. Berlakulah adil kepada pasangan. Kalau sesekali cekcok karena pembagian kerja rumah tangga, toh, Keluarga Cemara juga pernah mengalaminya.

*Nicky Stephani. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya. Suka mencermati dan mengkaji budaya populer, gender, dan seksualitas di waktu luangnya.

Share: Jangan Sepelekan Pembagian Tugas Rumah Tangga