Budaya Pop

Menyimak Met Gala, Membongkar Maskulinitas Beracun

Theodora Sarah Abigail — Asumsi.co

featured image

Di New York, pada abad ke-20, Irene dan Alice Lewisohn menjadi relawan Henry Street Settlement House, sebuah pusat kegiatan keluarga-keluarga imigran. Mereka menggelar pementasan tari dan mengadakan kelas-kelas drama. Pada 1914, dua filantrop kaya ini membeli lahan di sekitar pusat kegiatan itu dan mewakafkannya buat dijadikan gedung pertunjukan, yang dibuka setahun kemudian dengan nama The Neighborhood Playhouse.

Meski gedung pertunjukan itu tutup pada 1927, hasrat keluarga Lewisohn terhadap seni pertunjukan jalan terus. Mereka mendirikan konservatorium tari dan seni peran di gedung yang sama setahun berikutnya, dan mengganti namanya jadi The Neighborhood Playhouse School of Theatre.

Selama bertahun-tahun, kakak beradik itu membangun perpustakaan pengetahuan tentang teater dan kostum, latar, serta rancangan panggung. Pada 1937, Irene membuka Museum of Costume Art di 5th Avenue untuk menampung semua itu. Para pengunjungnya dapat melihat gaun-gaun bersulam dan membuat catatan tentang seni dan sejarah pertunjukan.

Pada 1946, koleksi itu dipindahkan ke Metropolitan Museum of Art, dan berselang dua tahun, publisis busana Amerika Serikat Eleanor Lambert meluncurkan Costume Institute Benefit pertama untuk menggalang dana bagi Costume Institute.

Dalam tiga puluh tahun pertamanya, Costume Institute Benefit dihadiri para sosialita dan pelaku-pelaku terdepan industri fashion. Tak banyak perbedaannya dari penggalangan dana, gala, dan kegiatan-kegiatan amal tahunan lain di seluruh kota–pembentukan Met Gala yang kita kenal hari ini baru dimulai pada 1971, ketika Diana Vreeland menjadi konsultan Costume Institute.

Pada penyelenggaraannya yang pertama, tiket untuk mengikuti makan malam ini dijual seharga USD50 (sekitar USD500 hari ini). Vreelandlah yang kemudian memperkenalkan konsep “gala” yang lebih mewah. Dia juga memperkenalkan tema tahunan, mulai dengan “Fashion Plate” pada 1971-72.

Akhirnya, pada 2014, tiket untuk para pengunjung yang bukan undangan dijual senilai USD30 ribu.

Dalam beberapa tahun terakhir, kabar-kabar dari Met Gala meledak di media-media sosial. Para penggemarnya di Twitter dan Instagram membagikan foto-foto para bintang film dan selebritas kesukaan mereka, memuji betapa detail penampilan orang-orang tersebut, betapa pantas, dan keterampilan orang-orang di baliknya yang menakjubkan. Biasanya para perempuanlah yang mencuri perhatian kita–tema “Heavenly Bodies” tahun lalu memberkati kita dengan mahkota Paus tiruan Rihanna dan Solange yang mengenakan kombo adibusana durag + Iris van Herpen. Kita menghujani mereka dengan kekaguman dan membuat berbagai fanart. Kita merekam tutorial cara berdandan. Kita terkesiap karena ada begitu banyak keindahan dalam satu tempat, pada satu waktu.

Tahun lalu, kita juga mulai bicara banyak di media sosial soal para pria yang “telah mengakhiri maskulinitas beracun (toxic masculinity).” Kita membagikan foto-foto pakaian mereka, rambut mereka yang ditata tanpa cela. “Laki-laki Ini Memakai Kutek,” kata berbagai media. “Berkat Dewa-dewa Camp Ini, Patriarki Telah Tamat.” Padahal, kebanyakan twit dan artikel tersebut cuma menampilkan sekelompok kecil laki-laki: Harry Styles dengan kuku warna-warni dan lengan baju berenda, Darren Criss yang memakai eyeshadow biru, Ezra Miller dengan makeup bikinan Mimi Choi yang luar biasa. Selamat tinggal, kelelakian yang rapuh, ujar kita.

Jumlah twit yang meneriakkan “terima kasih, terima kasih, terima kasih” serta merayakan tindakan tak seberapa para aktor ini membuat saya tercekat. Setiap tahun, dari sekitar 500-600 tamu Met Gala, kita bisa menghitung dengan jari berapa banyak kostum laki-laki yang menerabas peran gender. Tema tahun 2019, Camp, mengacu sebuah kultur yang amat dekat dengan komunitas-komunitas LGBT dan orang kulit hitam, yang selalu bersikap serius dan bangga dengan diri mereka sekaligus bersenang-senang sebagaimana digambarkan Sontag. Camp menuntut usaha; ia harus terang dan berani dan berisik. Berapa banyak laki-laki yang sungguh mengikuti tema itu?

Komunitas kulit hitam dan LGBT+ menghidupi camp selama bertahun-tahun dan diabaikan, atau dalam beberapa kasus, justru dihukum karenanya. Maka, betapa omong kosongnya berterimakasih kepada laki-laki kulit putih karena “telah mengakhiri maskulinitas beracun.” Berterimakasih untuk apa, jika sebagian besar tamu pria masih mengenakan jas? Bagaimana kita bisa memuji mereka sementara setiap hari, di Facebook, misalnya, banyak orang masih menyepelekan manusia-manusia yang menghidupi tema itu? Tak sedikit yang dicaci-maki karena dianggap masyarakat kelewat aneh, kelewat flamboyan–mengapa kita memberi poin untuk pria-pria datar padahal bukan mereka yang mempertahankan keajaiban ‘Camp’ selama puluhan tahun?

Penghapusan kepatuhan beracun terhadap peran-peran gender terberi, seperti fashion bergender netral atau lintas gender, seharusnya berlangsung sehari-hari. Keseharian seharusnya terasa sebagai penerimaan, bukan persekusi dan cemoohan. Dan kita belum sampai ke sana.

Seperti apakah wajah kemajuan? Seperti pelajar-pelajar muda dan orang-orang di seluruh dunia yang merasa aman dan bersemangat mengenakan apa pun yang mereka mau, terlepas dari gender masing-masing. Seperti para pria yang bisa bersenang-senang tanpa merasa harus menciptakan versi bergender produk-produk yang telah ada (Male War Paint? Liquid Death?).

Maskulinitas beracun tentu tak cuma soal fashion. Jared Leto, yang disanjung karena mengikuti tema camp, adalah salah seorang yang dimaksud dalam twit-twit “maskulinitas beracun sedang dihapuskan.” Namun, berdasarkan rumor dan tuduhan di internet dari Dylan Sprouse dan James Gunn (di antara sekian banyak) yang sudah menyebar sejak 20an tahun lalu, dia telah berkali-kali dituduh memangsa perempuan-perempuan di bawah umur. Di sisi lain, Harry Styles, meski tak begitu bermasalah, tak pernah benar-benar memperjuangkan hak-hak LGBTQ selain mengibarkan bendera pelangi di panggung dan menjual kaus-kaus “pride”.

Banyak di antara pelaku kejahatan seksual mengenakan sepatu berhak tinggi dan perhiasan, dan mereka menari. Bukankah itu salah satu pelajaran pertama kita semasa kecil: “penampilan tidak menentukan tingkah laku”?

Maskulinitas dalam dunia hari ini bisa jadi beracun sekaligus rapuh. Saya menghindari istilah-istilah keadilan sosial karena orang mudah sekali mencereweti soal itu buat mengalihkan pembicaraan, tetapi saya pikir sekarang penting mengatakannya demi kejernihan: maskulinitas beracun (toxic masculinity) adalah pengaturan apa-apa yang mesti dilakukan laki-laki, dan maskulinitas rapuh (fragile masculinity) adalah pengaturan apa-apa yang tak boleh dilakukan laki-laki.

Laki-laki kuat dan agresif. Mereka menjadi pemimpin dalam hubungan, dan memastikan suara mereka terdengar. Laki-laki sungguhan berbadan tinggi dan senang berhubungan seks sering-sering; semakin banyak pasangannya, semakin menariklah mereka. Inilah maskulinitas beracun.

Laki-laki tidak menangis. Mereka tak mengenakan gaun dan berdandan, serta tak mencukur betis. Mereka tidak meminta maaf kalau bersalah dan tidak menunjukkan perasaan; mereka tak menari balet. Mereka tidak menikmati minuman-minuman keras rasa buah atau manisan karena itu “banci” atau “menyerupai perempuan” atau “homo.” Inilah maskulinitas rapuh.

Para pria dengan maskulinitas yang rapuh seringkali bertindak dengan cara-cara beracun; karena merasa kekurangan kendali atau jati diri, mereka berusaha mendesakkan kekuatan atas orang-orang dalam hidup mereka. Mereka mengecilkan laki-laki lain yang tak mengikuti norma dan berkata, “Saya bisa menyesuaikan diri, kenapa kamu tidak?”

Kita sering melihat kelakuan macam ini di internet, ketika pria-pria yang menganggap diri maskulin seturut tradisi mengejek para anggota boyband Korea seperti Kim Namjoon dan Jungkook. Bagi sebagian orang, keberadaan para idola itu tak masuk akal. Seumur hidup mereka diajarkan bahwa menari dan berdempet-dempetan sesama lelaki dan memakai makeup itu “bencong” dan “menjijikkan”, tapi mengapa ada begitu banyak perempuan yang mendukung laki-laki semacam itu? Mereka kesulitan memahami apa yang menarik dari nilai-nilai kelelakian yang berbeda ini, dan mereka tak tahu betapa pergeseran nilai tersebut dapat terasa membebaskan.

Ketika para pria yakin bahwa mereka harus kasar untuk jadi “sungguhan”, mereka melukai semua yang ada di sekitar. Ketika mereka percaya bahwa membicarakan perasaan dengan sesama laki-laki atau mengikuti terapi emosional itu payah, mereka semau-maunya membebani perempuan dengan tugas mendengarkan, mendukung, dan menenangkan mereka. Seperti emotional gold diggers, kata Melanie Hamlett dalam esainya yang viral pekan lalu.

Bagaimana jika mereka tak menemukan perempuan buat disandari? Banyak di antaranya yang lari kepada kekerasan domestik, dan kita tak berbuat cukup banyak untuk menghentikan itu. Memang kan, ya, secara umum, masyarakat lebih bisa menerima laki-laki mengungkapkan perasaan lewat agresi ketimbang air mata atau pembicaraan dari hati ke hati.

Kekerasan tak selalu terlihat jelas. Sebagian laki-laki, ketika berhadapan dengan kebingungan dan frustrasi, memilih stonewalling. Mereka berpura-pura tak ada masalah karena kebingungan menghadapinya. Ada pula yang kemudian bertindak ekstrem dengan merencanakan penembakan-penembakan massal.

Perkara ini telah ada selama puluhan tahun dan kini kita masih berjuang mengatasinya. Banyak laki-laki–di Amerika Serikat maupun Indonesia–masih percaya bahwa merekalah pemilik waktu dan tubuh perempuan. Masih banyak perempuan yang diperlakukan sebagai properti untuk diperjualbelikan, dipertukarkan dari satu keluarga ke keluarga lain, dan diajari oleh para ustadz untuk “diam, tiduran saja, nggak sakit kok”, bahwa tidak ada pemerkosaan dalam pernikahan. Beberapa hari lalu, kita mendengar berita tentang rancangan undang-undang aborsi di Georgia dan Alabama, yang tak hanya mengancam sebagian besar aborsi dengan hukuman pidana, tetapi juga meningkatkan hukuman bagi pelakunya hingga 99 tahun penjara.

Bahkan setelah MeToo, tetap banyak pria yang bisa dengan lempang saja menjalankan kemauannya tanpa konsekuensi. Karena masyarakat kita melindungi dan menghormati laki-laki, sebagian besar dari mereka takkan pernah diadili untuk kejahatan mereka terhadap perempuan dan anak. Bahkan, sebaliknya, justru korbanlah yang disalahkan.

Selera fashion kita bergeser beberapa dekade sekali, dan mungkin saja kelak semakin banyak pria yang mengenakan sepatu berhak tinggi, anting, dan makeup. Namun, maskulinitas beracun akan selalu ada selama para pria mengekang diri dengan pilihan ekspresi perasaan yang terbatas. Sebuah tas gemas tak bakal bisa menyelamatkan kita dari keburukan akibat pembungkaman emosional. Kita harus bisa mengartikan kembali dan memeriksa ulang makna kekuatan:  seperti apa, sih, laki-laki yang “baik”? Kita harus memulai perjuangan ini di sekolah-sekolah, di kantor-kantor terapis–di meja-meja makan kita. Harus mulai dari laki-laki di sekeliling kita, semuanya.

Share: Menyimak Met Gala, Membongkar Maskulinitas Beracun