General

Jalan Terjal Masyarakat Adat Berpartisipasi di Pemilu

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 tak lama lagi akan berlangsung. Seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali memiliki hak pilih untuk menentukan pemimpinnya selama lima tahun ke depan. Termasuk bagi salah satu kelompok yang jauh dari hingar bingar politik nasional yakni masyarakat adat.

Jauh sebelum Indonesia lahir dan berdiri sebagai sebuah negara, komunitas masyarakat adat justru sudah ada di pelosok-pelosok tanah air bahkan sampai hari ini. Dengan demikian, masyarakat adat juga memiliki hak yang sama seperti warga negara Indonesia lainnya. Termasuk hak konstitusional untuk memberikan suara dalam setiap pemilu.

Menariknya, sebagian besar masyarakat adat di Indonesia punya mekanisme sendiri dalam memberikan hak suaranya di pemilu. Misalnya saja salah satunya di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua. Pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 lalu, sejumlah warga di distrik Lolat di Kabupaten Yahukimo tersebut melaksanakan pemungutan suara dengan cara kesepakatan warga atau aklamasi.

Saat pemungutan suara, semua tokoh dan masyarakat distrik Lolat dikumpulkan dalam satu lokasi. Kemudian pelaksanaan pemungutan suara dipimpin oleh ketua adat. Nantinya, secara aklamasi mereka memilih partai politik dan calon anggota DPD Papua.

Mekanisme atau cara pemungutan suara tersebut dikenal dengan sebutan sistem noken yang sudah dilaksanakan sejak 1971 silam. Prosesnya yakni dengan cara mencontreng kertas-kertas suara milik warga sebagai daftar pemilih tetap, yang diwakilkan kepada para kepala suku. Lalu, kertas-kertas suara itu dimasukkan ke dalam noken, yakni kantong khas buatan orang Papua yang terbuat dari kulit kayu.

Masyarakat Adat Belum Memiliki e-KTP Jelang Pemilu 2019

Sayangnya, jelang Pemilu 2019 yang tinggal dua bulan lagi, masyarakat adat justru terancam kehilangan hak pilihnya. Hal itu lantaran masyarakat masih sulit terdaftar dalam administasi kependudukan, seperti KTP elektronik atau e-KTP. Direktur Perluasan Partisipasi Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdi Akbar mengatakan, ada ribuan warga negara yang tinggal di kawasan hutan di Indonesia, yang hingga saat ini tak mengantongi e-KTP.

Mirisnya lagi, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah menegaskan bahwa pihaknya tidak akan melakukan pencatatan administrasi kependudukan bagi masyarakat yang bermukim di kawasan hutan. Oleh karenanya, penduduk tersebut tidak akan mendapatkan e-KTP meski usianya di atas 17 tahun ataupun sudah menikah. Hal itu tentu membuat masyarakat adat jadi tak punya hak pilih.

“Dari Pemilu ke Pemilu terutama tingkat partisipasi masyarakat adat itu paling tinggi sejak Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Tingginya pastisipasi masyarakat adat di dua pemilu itu karena di situ masih dipergunakan sistem kartu pemilih. Ada kartu pemilih bagi masyarakat,” kata Abdi kepada Asumsi.co, Jumat, 01 Februari 2019.

Menurut Abdi, di Pemilu 2019 ini ada banyak masalah karena kali ini pemilu diharuskan atau untuk terdaftar sebagai pemilih tetap atau masuk dalam DPT, maka masyarakat diwajibkan memiliki e-KTP sesuai UU Pemilu. Namun, Abdi menyayangkan hal itu karena masyarakat adat ini juga jadi bagian dari warga negara Indonesia yang memiliki hak sama dengan warga negara lainnya.

“Kita ketahui mereka sudah tinggal di kawasan itu sebelum negara ini didirikan. Belum lagi yang berkawasan di pulau-pulau kecil yang terisolasi,” ujarnya.

Namun, ribuan warga negara tersebut kini terancam tidak dapat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019. Hal itu lantaran Pasal 348 ayat 1 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu mensyaratkan pemilih memiliki e-KTP untuk bisa mencoblos. Padahal di sisi lain, negara menjamin seluruh warga negara yang sudah berusia 17 tahun atau sudah pernah menikah, punya hak untuk memilih dalam pesta demokrasi.

Perlu diketahui, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 102 tahun 2009 juga menyebut, tidak boleh ada prosedur adminitrasi yang menghalangi warga negara untuk menyalurkan haknya untuk dipilih dan memilih. Abdi mengatakan bahwa AMAN sendiri mendukung KPU untuk menuntaskan permasalahan itu agar masyarakat adat bisa memilih di Pemilu 2019 nanti.

Misalnya saja lewat solusi penerbitan kartu pemilih sebagai pengganti e-KTP, maupun penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Abdi menjelaskan bahwa baik kartu pemilih maupun Perppu sama-sama bisa menjadi solusi supaya masyarakat adat tidak kehilangan hak pilihnya.

“Kartu pemilih ini kami pikir bisa menjadi solusi. Selain kartu pemilih, juga bisa ada opsi untuk mengeluarkan PP khusus untuk merevisi Undang-Undang pemilu, juga soal e-KTP ada banyak solusi untuk sementara kalau memang opsi-opsi lain itu tidak bisa dilakukan,” ujarnya.

Konflik Wilayah Adat Jadi Penghambat

Lebih lanjut, Abdi mengatakan bahwa berdasarkan hasil riset AMAN bersama Perludem, ditemukan permasalahan bahwa masyarakat adat terutama yang berada di daerah pelosok dan pedalaman, yang jauh dari jangkauan akses pelayanan administrasi pemerintahan, masih ada sekitar 60% yang belum terdata dan terlayani dengan baik oleh program e-KTP.

“Sudah jelas sekali lagi bahwa mereka terancam akan kehilangan hak pilihnya di pemilu nanti. Apa situasi yang melatarbelakangi itu? Selain jangkauan yang jauh jaraknya, terutama itu banyak di daerah Kalimantan seperti Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Papua, itu soal jarak yang jauh dari jangkauan.”

Kemudian, lanjut Abdi, permasalahan lainnya adalah permasalahan konflik masyarakat adat karena wilayah adatnya sering diklaim menjadi area konsesi perkebunan sawit misalnya seperti di Kalimantan. Sehingga keberadaan mereka di wilayah adat yang secara sepihak ditetapkan menjadi area konsesi perkebunan itu, tidak dilayani oleh sistem administrasi pemerintahan.

Tak hanya itu saja, sering juga ada masalah di mana wilayah adat mereka itu dimasukkan ke dalam atau menjadi kawasan hutan lindung, konservasi, dan lain-lain oleh pemerintah terutama oleh Kementerian Kehutanan.

“Nah, permasalahannya kemudian, Kemendagri dan Dukcapil berkomentar, bahwa tidak akan melakukan pendataan, administrasi, dan memberikan identitas kependudukan kepada masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan itu, sebelum kawasannya itu dilepaskan statusnya dari kawasan hutan.”

“Kalau mau mereka direlokasi pindah dari situ ke desa administratif terdekat untuk bisa kemudian mendapatkan atau didaftarkan dalam administrasi kependudukan agar tercatat.”

Sekali Lagi, Masyarakat Adat Punya Hak Pilih!

Abdi pun mengatakan bahwa ada pandangan yang sangat keliru dari permasalahan administrasi kependudukan terutama bagi masyarakat adat itu sendiri. Karena menurutnya bahwa siapa saja orang Indonesia yang berada di kawasan wilayah hukum Republik Indonesia, maka ia adalah warga negara Indonesia dan harus dipenuhi hak-haknya termasuk haknya dalam politik dan menggunakan hak pilihnya.

“Itulah rancunya, ada kluster-kluster yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintahan, yang ego sektoralnya sangat tinggi misalnya Kementerian Kehutanan. Jadi, oleh Dukcapil, masyarakat adat yang terutama tinggal di kawasan yang dianggap pemerintah sebagai kawasan hutan, tidak bisa didaftarkan sebagai pemilih karena masih hidup dan berada di kawasan itu. Padahal kan mereka ini masih tinggal di wilayah Indonesia.”

Abdi mengaku bahwa AMAN sendiri sudah bersurat ke Kemenkumhan dan bahkan Kemenkumhan sudah mengeluarkan rekomendasi ke Dukcapil Kemendagri. Apalagi, lanjut Abdi, Komnas HAM sendiri pernah menyatakan bahwa ini sudah melanggar HAM.

“Soal hak pilih yang selama ini juga diupayakan AMAN bersama Perludem dan lainnya, kita sudah melakukan advokasi ke KPU dan Bawaslu. Mereka menawarkan solusi yang kemudian solusi-solusi itu tergantung kebijakan dari Dukcapil. Kami melihat seperti ada semacam kekeliruan karena pertama harusnya KPU itu kan lembaga penyelenggaraan pemilu yang dibentuk UU dan merupakan alat negara.”

“Harusnya KPU itu tidak perlu mengekor ke Dukcapil soal data daftar pemilih di pemilu. Ini kan yang selalu jadi masalah kita dari pemilu ke pemilu yakni soal daftar pemilih. Ke depannya kan harusnya KPU itu harus punya data pemilih mandiri tidak bergantung lagi sama Dukcapil dan Kemendagri.”

Share: Jalan Terjal Masyarakat Adat Berpartisipasi di Pemilu