General

Jalan Terjal Gerindra Sebagai Oposisi

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan menolak seluruh gugatan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam sidang sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin menang dan akan membentuk pemerintahan. Pertanyaannya, apakah Prabowo dan Gerindra akan kembali berperan sebagai partai oposisi?

Hasil rekapitulasi resmi KPU menyatakan Jokowi-Ma’ruf meraup 55,5% suara dalam Pilpres 2019, sedangkan Prabowo-Sandi meraih 44,5%. Saat ini, sebuah keputusan politik penting harus diambil Prabowo dan Gerindra: tetap jadi oposisi atau bergabung dengan pemerintahan.

Jika Prabowo memilih opsi kedua, konstelasi politik nasional lima tahun ke depan otomatis akan berubah. Demi perimbangan kekuatan, banyak pengamat dan politikus berharap Gerindra tetap jadi pengontrol kinerja pemerintah.

Namun, seandainya Gerindra menjadi oposisi pun, kekuatannya takkan sebanding dengan koalisi partai-partai pendukung pemerintah. Fakta itu bisa terlihat jelas dari hitung-hitungan suara. Partai pendukung pemerintah yang berhasil memenuhi parliamentary threshold dalam Pileg 2019 antara lain PDIP (19,33%), Golkar (12,31%), PKB (9,69%), Nasdem (9,05%), dan PPP (4,52%). Total suara kelima partai itu mencapai 54,9 % suara, dengan PDIP sebagai juara pemilu.

Bagaimana dengan kubu oposisi? Perolehan suara Gerindra (12,57%), Demokrat (7,70%), PAN (6,80%), dan PKS (8,21%), jika digabungkan hanya sejumlah 35,39% suara. Belum lagi memperhitungkan kemungkinan koalisi pendukung Prabowo-Sandi pecah kongsi. Bahkan hari-hari ini sebagiannya telah menunjukkan gelagat-gelagat untuk berpisah, misalnya Demokrat dan PAN yang sudah menjalin komunikasi dengan Presiden Jokowi.

DPR jelas akan didominasi Koalisi Indonesia Kerja (KIK) yang berisi partai pendukung pemerintah. Oposisi pun semakin terhimpit karena telah dipastikan pimpinan DPR yang baru bakal berasal dari kelompok pendukung pemerintah.

Undang-undang 2/2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), Pasal 427 UU menyatakan Ketua DPR periode depan akan dijabat anggota DPR yang berasal dari partai pemilik kursi terbanyak pertama di DPR. Dengan kata lain, perwakilan PDIP otomatis akan menjabat sebagai ketua DPR RI lima tahun ke depan.

Sementara empat posisi wakil ketua DPR akan dijabat empat anggota DPR yang berasal dari partai yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Adapun peringkat partai pemilik kursi terbanyak di DPR adalah PDIP, lalu diikuti secara berurutan oleh Golkar, Gerindra, Nasdem, dan PKB.

Kekuatan Oposisi Gerindra 2014-2019

Gerindra dideklarasikan secara resmi pada 6 Februari 2008 atau setahun menjelang Pemilu 2009. Saat itu, jabatan Ketua Umum Gerindra diisi Suhardi, guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada yang sempat mendirikan Partai Kemakmuran Tani dan Nelayan pada 2003. Setelah itu, Prabowo, yang menjadi anggota Gerindra sejak 12 Juli 2008, menjadi sosok paling identik dengan Gerindra sampai hari ini, terutama saat diangkat jadi ketua umum pada 2014.

Gerindra yang tampil sebagai partai baru berhasil meraup 4.646.406 atau 4,46% suara dalam Pemilu 2009. Hasil itu membuatnya berada di peringkat ke-9 klasemen perolehan suara partai. Gerindra memutuskan untuk berkoalisi dengan PDI Perjuangan, dengan menyokong capres-cawapres Megawati dan Prabowo.

Namun, koalisi itu kalah dari SBY yang maju bersama Boediono pada Pemilu 2009. Megawati-Prabowo hanya meraih 26,7% suara rakyat Indonesia, sedangkan SBY-Boediono meraih 60,8% suara.

Kekalahan itu membuat PDIP dan Gerindra menjadi oposisi pemerintah di parlemen selama lima tahun. Tak berhenti, pada Pemilu 2014, Gerindra kembali bertarung dan meraup 14.760.371 atau 11,81% suara. Angka itu menjadikannya partai dengan suara terbanyak ketiga.

Modal itulah yang membuat Prabowo kembali maju pada Pilpres 2014. Berseberangan dengan Megawati, Prabowo maju bersama Hatta Rajasa dan didukung Koalisi Merah Putih yang terdiri dari Gerindra, PAN, PKS, Golkar, PPP, dan PBB.

Prabowo-Hatta menghadapi Jokowi-Jusuf Kalla yang didukung Koalisi Indonesia Hebat yang terdiri dari PDIP, Hanura, Nasdem, PKPI, dan PKB. Lagi-lagi Prabowo harus menelan kekalahan dengan hanya meraih total 46,85% suara. Lawannya, Jokowi-JK meraih total 53,15% suara

Kekalahan itu kembali membuat Gerindra dan partai-partai anggota KMP jadi oposisi pemerintah Jokowi. Pada 8 Juli 2014, atau tepat sehari menjelang pemungutan suara pada Pemilu 2014, partai-partai pendukung Prabowo-Hatta mendeklarasikan koalisi permanen yang berjanji akan selalu bersama, satu suara dan satu sikap termasuk dalam menjalankan fungsi legislatif di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Misi itu, kita tahu, berhenti di tengah jalan. Pelan-pelan partai-partai yang ada di dalam KMP keluar jalur dan justru merapat ke kubu pemerintahan. Tengok saja PAN, PPP, dan Golkar yang menjadi bagian dari koalisi partai pendukung pemerintah.

Dalam pemerintahan Jokowi-JK, sempat ada Menteri PAN-RB Asman Abnur (PAN) meski akhirnya diberhentikan, lalu ada Menteri Agama Lukman Saifudin (PPP), Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto (Golkar), dan Menteri Sosial Idrus Marham (Golkar) dan Agus Gumiwang Kartasasmita (Golkar).

PKS tetap setia bersama Gerindra dan berada di jalur oposisi. Pada Desember 2015, Ketua Umum PKS Sohibul Imam mengatakan PKS tetap berada di KMP. Sampai hari ini, memang hanya Gerindra dan PKS yang menjadi partai oposisi yang solid di parlemen.

Bahkan Gerindra dan PKS kompak menolak Rancangan Undang-undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang menetapkan presidential threshold sebesar 20%. Kedua partai juga pernah menolak Peraturan Pengganti Undang-undang Organisasi Masyarakat (Perppu Ormas), menolak pembentukan panitia khusus (pansus) hak angket KPK.

Gerindra dan PKS juga mengusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 hingga pasangan tersebut mengalahkan Ahok-Djarot yang didukung PDIP. Kemenangan itu pula yang sempat digadang-gadang menjadi pertanda kalau Prabowo bisa meraih kemenangan di Pilpres 2019.

Share: Jalan Terjal Gerindra Sebagai Oposisi