Isu Terkini

Jakarta Masih Nyaman dengan Warisan Penjajahan

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Selepas SMA, saya kerap mendengar dari kawan-kawan bahwa Jakarta adalah tempat terbaik untuk melanjutkan hidup. Saya kira saran itu masuk akal. Jakarta, selain merupakan kota paling maju di negara ini, juga dikenal sebagai tempat segala jenis kesempatan berhimpun. Tak perlu waktu lama untuk saya memutuskan merantau ke ibu kota.

11 tahun berlalu. Saya telah lulus kuliah, bekerja beberapa tahun, dan terbiasa dengan hiruk-pikuk Jakarta. Manis-getir hidup di kota ini, dari utara ke selatan, timur ke barat, sudah teralami. Rasa-rasanya, perkataan Nukila Amal dalam Cala Ibi banyak benarnya: Jakarta adalah “seorang pelacur tua yang gemar operasi plastik berkali-kali, gemar berdandan penuh polesan penuh utang, menggali lubang menutup dan menggali lagi, tak usai.”

Bukannya mengeluh, tapi bagaimana mungkin saya hanya bisa mengagumi tampak luar Jakarta, dengan pusat-pusat perbelanjaannya yang gemerlap dan gedung-gedung pencakar langitnya yang megah, kalau setiap hari saya masih makan dan minum di warung pinggir jalan (dan mencari-cari stok Indomie di lemari pada akhir bulan)?

Saya pernah masuk Istana Merdeka, mondar-mandir di Gedung DPR-MPR RI, main-main ke Kedubes Perancis dan Kanada. Saya pernah pula datang ke Kampung Kali Apuran Cengkareng dan Kampung Sekretaris Grogol di Jakarta Barat serta Srengseng Sawah di Jakarta Selatan. Saya beberapa kali mengunjungi Kampung Nelayan Muara Baru, kerap mengelilingi Tanjung Priok, dan tinggal beberapa hari untuk bercakap-cakap dengan warga Kampung Baru Tembok Bolong, di Jakarta Utara. Saya sering pula singgah di Terminal Bus Pasar Senen dan Pulo Gadung.

Ketidakwarasan, kata Nukila, bisa muncul kapan dan di mana saja di kota ini: kelokan, comberan, tepi jalan, perkantoran, tempat hiburan, pusat perbelanjaan, gedung pemerintahan. Siapa pun bisa jadi pembunuh berantai, pemerkosa, penyiksa, penculik, rampok, copet; dari kelas paus hingga plankton.

Puluhan tahun sebelum Nukila, Ateng dan Iskak dalam film Kejamnya Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota membicarakan Jakarta dengan narasi serupa. Ateng, yang terbuai dengan omong besar Iskak tentang keindahan Jakarta, memutuskan untuk merantau. Ia merasa dapat jaminan kehidupan yang lebih baik. Namun, setelahnya yang ada cuma kepahitan: ia ditipu di sana-sini, kelaparan, dan benar-benar sengsara. Berapa lama Iko Uwais, dalam film Merantau, bertahan di kota ini?

Saban hari, setelah kerja kerja kerja, saya masih harus menghadapi kepulan asap kopaja, metromini, busway, dan angkot yang berebut menguasai jalanan. Macet menjepit di setiap ruas. Tak sedikit kawan seperantauan saya menyerah di Jakarta, lalu memilih pulang ke kampung halaman. Setidaknya, kata mereka, di sana hidup lebih tenang, layak, dan jauh dari tekanan.

Mungkin mereka benar, mungkin tidak. Namun, saya pikir, kenapa Jakarta tak kunjung menjadi kota yang ramah? Gubernur datang silih berganti dengan janji memanusiakan manusia, sebab kota ialah manusia-manusia yang tinggal di dalamnya. Mereka menawarkan cita-cita yang berkilauan. Sarana transportasi modern macam MRT dan LRT dibangun, gerbong kereta ditambah, car free day digelar setiap Minggu, pembatasan akses mobil di jalan-jalan tertentu diberlakukan, jalur layang diperluas, dan lain-lain. Tetapi mengapa saya merasa tak ada yang berubah?

Apakah Jakarta memang tak pernah berubah?

“Sejarah itu nggak berulang. Sejarah itu unik, punya pola, dan pola itu yang kita rasakan hari ini,” kata sejarawan JJ Rizal kepada saya, yang mewakili Asumsi.co, saat berbincang tentang sejarah Jakarta di Komunitas Bambu, Beji Depok, Jawa Barat, Minggu (16/06).

Jakartanya Sukarno

Jangan-jangan Jakarta memang salah urus sejak dulu? Atau status ibu kota negara disematkan hanya karena kebetulan saja lantaran peristiwa proklamasi kemerdekaan terjadi di sini? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu kerap muncul di kepala saya.

Pada 1961, ketika Jakarta berulang tahun, Presiden Sukarno menyampaikan sebuah pidato untuk “masa depan.” Kepada gubernur kota ini, siapa saja, Presiden Pertama kita berkata:

“Kau, Gubernur Jakarta, kenalilah sejarah Sunda Kelapa, Jayakarta, sehingga bisa kau ambil buah faedahnya untuk kita bangun kota kemenangan sempurna. Itulah arti Jayakarta. Kota yang bermanfaat bagi semua. Seperti pohon kelapa pada Sunda Kelapa berguna bagi semua. Jangan kau contoh Batavia: kota yang hanya megah bagi kaum berpunya, tidak bagi rakyat banyak. Bahkan rakyat dicurigai.”

Setahun kemudian, pada perayaan ulang tahun ke-435 Jakarta, Bung Besar menegaskan kembali visinya tentang ibu kota:

“Marilah saudara-saudara, hai saudara-saudara dari Jakarta, kita bangun kota Jakarta ini dengan cara semegah-megahnya. Megah bukan saja materiil, megah bukan saja karena gedung-gedungnya pencakar langit. Megah bukan saja ia punya boulevard-boulevard, lorong-lorongnya yang indah. Megah bukan saja ia punya monumen-monumen indah. Megah di dalam segala arti, sampai di dalam rumah-rumah kecil daripada Marhaen di kota Jakarta harus ada rasa kemegahan.”

Dari dua pidato itu, terlihat betul perhatian Bung Karno pada Jakarta. Berselang dua tahun setelah melewati proses yang berliku-liku, lewat Undang-undang Nomor 10 tahun 1964, Jakarta akhirnya ditetapkan sebagai ibu kota Republik Indonesia.

“Yang kita peringati sebagai momen kebangkitan nasional itu kan di Jakarta, kita memperingati proklamasi pertama se-Indonesia itu kan di Jakarta, kita proklamasi sebagai negara-bangsa itu kan di Jakarta. Jadi, Jakarta memiliki latar sejarah yang tidak dimiliki banyak kota di Indonesia,” kata JJ Rizal. “Karena itulah Bung Karno tetap mempertahankan Jakarta. Tidak mungkin pindah dari Jakarta karena yang punya latar sejarah yang bisa menjelaskan apa itu Indonesia, apa itu orang Indonesia, siapa orang Indonesia, ya Jakarta. Nasionalisme munculnya di Jakarta. Makanya nggak terbayang kalau sampai pindah ibu kota.”

Visi Bung Karno yang tercermin dalam arsitektur dan pembangunan Jakarta patut diacungi jempol. Sisi historisnya kuat dengan semangat yang menyala-nyala. Saya merasakan betul betapa Jakarta begitu punya wibawa lewat bangunan-bangunan simbolik dan bersejarah. Bung Karno dan Bung Hatta pernah sampai harus bersitegang soal, misalnya, lokasi masjid nasional yang kemudian dikenal sebagai Masjid Istiqlal.

Jakarta dengan segala isinya meluaskan pikiran saya. Apa-apa saja yang saya terima, sekalipun remeh, akan berguna di kota ini. Seorang kawan asli Betawi di Rempoa Ciputat, sambil menyantap swike, pernah mengatakan kepada saya bahwa saya tak perlu bernafsu membunyikan klakson motor sambil mengumpat saat terjebak macet di Jakarta. Alasannya sederhana saja, jika tak mau diusik ya jangan mengusik.

Kira-kira bagaimana rasanya telinga saat dihantam bunyi klakson dari kiri kanan depan belakang dalam jarak tak sampai satu meter? Ditambah umpatan-umpatan yang membuat telinga bertambah pekak. “Jika tak sabar dan tak bisa menahan diri, apa bedanya kau dengan para pengumpat itu?” kata kawan saya.

Kalau tak ingin kena copet setiap kali berdesakan di kereta listrik atau kopaja, saya dimintanya untuk menyandang tas di bagian depan, bukan di belakang. Juga memindahkan ponsel dan dompet di saku celana depan. Lalu, saat situasi di dalam angkot begitu padat, namun tiba-tiba ada satu orang yang coba menawarkan brosur pengobatan alternatif, ia harap saya segera turun di pemberhentian terdekat karena saya sedang berhadapan dengan para pencopet ulung yang strateginya jauh lebih rapi.

Nasihat-nasihat kecil itu manjur sampai hari ini. Setelahnya saya lebih mudah memergoki gelagat-gelagat para pencopet yang hendak beraksi di angkot. Sesederhana saya cepat mendapatkan teman, berhimpun dalam jejaring sejak di dunia kampus dan kerja, hingga mendapat manfaat dari banyaknya relasi di ibu kota. Termasuk akses ilmu pengetahuan, informasi, teknologi, sampai hiburan bisa saya dapat dengan cepat, semuanya memang betul tersedia di Jakarta

Namun, Jakarta yang dibangun Bung Karno ini memang belum sepenuhnya selesai. Tetap masih banyak masalah-masalah serius yang belum teratasi dengan baik. Ibu Kokom, salah satu koordinator korban penggusuran wilayah Tembok Bolong, Muara Baru, pada pertengahan Juni 2011, bercerita kepada saya dan sekitar lima kawan saya, soal perjuangan warga di sana dalam memperjuangkan hak mereka. Kami saat itu mendapatkan penugasan praktik materi investigasi pelanggaran HAM dari KontraS.

Selama tiga hari ikut tinggal di pemukiman warga, dari jarak dekat, saya melihat langsung ketimpangan di sana. Tak jauh dari rumah warga, ada tembok pembatas tinggi yang dibangun memanjang untuk memisahkan antara tanah kosong hasil gusuran yang hendak dibangun apartemen dengan pemukiman warga. “Sebagian besar warga Tembok Bolong memang tak sekali dua kali mengalami penggusuran. Kami pasrah karena kami ini tidak punya surat tanah. Tapi kami akan tetap berjuang mendapatkan hak kami atas tempat tinggal yang layak dari negara, meski mengurus administasi di sini berbelit-belit dan sulit,” kata Bu Kokom kala itu.

Saya ingat pemikiran John Locke soal tiga hak yang harus dihormati sesama manusia yakni hak milik (property), hak kemerdekaan (liberty), dan hak untuk hidup (life). Kehadiran saya dan kawan-kawan saat itu memang tak menyelesaikan masalah penggusuran, namun setidaknya kami mendampingi Bu Kokom serta warga Tembok Bolong, agar tetap berpegang pada nilai dan tak keluar dari jalur perjuangan, terkait hak hidup. Apalagi hak-hak dasar masyarakat sudah dijamin dalam UU No. 39 Tahun 1999.

Jakarta Butuh ‘Sutradara’ Perubahan

Masalah penggusuran hanya satu dari sekian banyak persoalan rumit di ibu kota yang saya lihat langsung. Peliknya proses administrasi, relokasi yang tak semestinya,  terbengkalainya hak-hak warga, semua jadi satu. Saya mafhum pemerintah kemudian selalu akan berlindung di balik dalih-dalih “kami melakukan itu untuk rakyat”, “kami sudah siapkan ganti rugi penggusuran”, atau “kami terpaksa harus gusur agar meminimalisir banjir di Jakarta”.

Belum lagi banjir menahun yang membuat warga DKI kelabakan. Permasalahan ini tak kunjung selesai, meski gubernur terus berganti. Mengapa pula muncul wacana pemindahan ibu kota selagi banjir, penggusuran, kemacetan, dan keruwetan lainnya belum juga teratasi?

Jakarta tidak sedang sekarat, kata JJ Rizal, sehingga tak perlu ada pemindahan ibu kota. Yang jadi masalah justru pemerintah dan pemimpinnya, yang ia anggap tak bisa merawat Jakarta. Bukan malah membuat maju kotanya, pemimpin-pemimpin ibu kota justru menarik kita ke masa silam karena masih memakai pola pikir era kolonial dalam membangun kota.

Upaya bertahap penyelesaian masalah banjir di Jakarta itu, menurut JJ Rizal, sudah ada di era pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sampai hari ini warisan itu tetap hidup. “Infrastrukturnya masih kita pakai, kanal banjir, misalnya. Kita sampai sekarang masih menggunakan pemikiran bahwa banjir Jakarta itu bisa diselesaikan dengan infrastruktur, dengan pemikiran dunia kolonial. Padahal, pemikiran sekarang sudah berubah, tetapi kita jalan di tempat. Jakarta kebanjiran lagi kan.”

Saya pun berpikiran bahwa sistem pencegahan banjir Jakarta lewat proyek-proyek usang Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur memang sudah tak efektif di era modern. Saya iri melihat negara tetangga kita Malaysia yang sedikit lebih maju dalam mengatasi banjir dengan membangun Stormwater Management and Road Tunnel (SMART) atau sebuah terowongan yang selain difungsikan untuk akses jalan, juga untuk mengatasi banjir.

Untuk Jakarta, mungkin saja masih bisa memakai cara-cara yang lebih natural dengan kembali mengandalkan alam. “Sebetulnya jika merasa infrastruktur itu mahal dan menguras duit, kita akan melakukan pengulikan ruang Jakarta sebagai yang identik dengan air dan pohon. Identitas ini yang akan menyelesaikan masalah banjir. Misalnya, satu kawasan Selatan Jakarta harus menjadi Green Belt atau sabuk hijau, tidak boleh ada pembangunan, harus menjadi kawasan steril,” kata JJ Rizal.

Strategi-strategi itu rasanya tak sulit untuk diwujudkan, tinggal siapa eksekutor yang berani mengambil langkah terobosan, dalam hal ini yang betul-betul mengambil peran sebagai ‘sutradara’ pembangunan Jakarta. Pada akhirnya, Jakarta perlu diperhatikan secara sangat serius, apalagi mengingat statusnya sebagai ibu kota negara. Tak hanya pembangunan, warga yang tinggal di dalamnya juga harus jadi prioritas penting.

Spiro Kostof menyebut kota merupakan perpaduan bangunan dan penduduk. Pada awalnya, ia menggambarkan bentuk kota itu netral, sampai kemudian berubah hingga hal ini dipengaruhi dengan budaya tertentu. Saya meyakini bahwa kota adalah fakta sekaligus cita-cita karena ada pelibatan kondisi dan aktivitas nyata serta diiringi harapan-harapan seluruh warganya, lepas dari status sosial, ekonomi, politik, agama, suku, dan ras.

Sama seperti Bung Karno: gubernur-gubernur ibu kota, warga asli Jakarta, pendatang, saya, kita, kalian, dan mereka, punya cita-cita yang sama untuk Jakarta. Kita tak ingin kota ini sekadar bertambah bengkak dan membusuk karena digerogoti kepentingan-kepentingan sementara.

Share: Jakarta Masih Nyaman dengan Warisan Penjajahan