Isu Terkini

Jack Ma, E-Commerce untuk UMKM, dan Belum Siapnya Indonesia

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Hari Minggu (2/9) kemarin, Jack Ma menggelar pertemuan dengan sejumlah menteri Kabinet Kerja di Ritz-Carlton Hotel, Jakarta. Dalam pertemuan ini, Ma dan para menteri berbicara tentang banyak hal, terutama mengenai cara mengembangkan teknologi internet dan e-commerce di Indonesia. Salah satu wacana penting yang dibicarakan oleh Jack Ma bersama para menteri adalah konvergensi antara Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan e-commerce.

Dalam membahas perluasan e-commerce, terutama sampai pada UMKM, yang menjadi poin menarik bagi saya adalah selalu mengenai keamanan data personal yang akan semakin sering dibagikan dan masuk ke ranah virtual. Bahkan, tanpa harus memasukkan data personal, pencarian di mesin pencari yang kita lakukan seringkali berdampak pada Google Ads yang kita dapatkan di situs lain. Indonesia sendiri sampai saat ini belum memiliki regulasi tetap untuk mengatur pengelolaan data personal secara virtual. Saya pun mengkaji bagaimana kondisi saat ini dan potensi e-commerce untuk UMKM, kondisi-kondisi apa yang mungkin dapat terjadi jika e-commerce, yang sedang perlahan dikonvergensikan dengan UMKM, benar-benar masuk ke ranah UMKM secara masif, dan seberapa siap Indonesia untuk meregulasi pengolahan data personal yang masuk ke ranah virtual.

Lapak E-Commerce untuk UMKM Indonesia

E-Commerce, atau aktivitas jual beli secara daring, merupakan kegiatan yang sering dilakukan di mana-mana dan oleh siapa saja. Berbagai macam “lapak” untuk melakukan e-commerce kini semakin menjamur. Sebut saja Lazada dan Tokopedia. Dua nama besar lapak e-commerce ini memberikan ruang bagi para pedagang, dengan berbagai bentuk produk, untuk dapat menjual barangnya.

Salah satu yang menarik dari konvergensi e-commerce dengan UMKM saat ini adalah mulai banyaknya UMKM yang masuk ke ranah e-commerce untuk memperluas jangkauan dagangannya. Di awal tahun 2018 ini, Direktur Lembaga Layanan Pemasaran dan UMKM Kemenkop, Emilia Suhemi, menyatakan bahwa baru 3,97 juta UMKM dari total 60 juta UMKM yang menjajakan barangnya secara daring.

Masuknya UMKM ke ranah e-commerce ini ternyata juga didukung oleh pemerintah. Pemerintah, bekerja sama dengan enam perusahaan e-commerce, yaitu Tokopedia, Bukalapak, Lazada, Shopee, Blanja.com, dan Blibli.com, menyelenggarakan gerakan ‘Ayo UMKM Berjualan Online’. Hal ini berkaitan dengan target Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) dan beberapa kementerian lain yang berusaha mewujudkan 8 juta UMKM daring pada tahun 2020.

Jika benar konvergensi UMKM dan e-commerce secara masif ini terjadi, ditambah dengan adanya dukungan pemerintah, bukan tidak mungkin bahwa target 8 juta pada tahun 2020 itu akan tercapai. Bahkan mungkin, target akan terlampaui, mengingat akses internet di Indonesia terus membaik. Lebih lanjut, masuk ke ranah e-commerce merupakan sesuatu yang menguntungkan. Tidak hanya mendapatkan akses pasar yang lebih luas, menggunakan e-commerce juga membuat UMKM dapat meringankan modal awal. Tanpa perlu ada lapak fisik, hanya bekerja dari rumah, UMKM dapat tetap menjajakan barang dagangannya.

Hyperconsumerism dan Kontrol Big Data terhadap Kehidupan Masyarakat

Memang, fakta bahwa UMKM dan e-commerce merupakan potensi yang baik bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Namun, terdapat dua kondisi yang perlu kita waspadai sebagai ancaman seiring masuknya UMKM ke ranah e-commerce. Dua kondisi tersebut adalah hyperconsumerism dan kontrol big data terhadap kehidupan masyarakat.

Pertama adalah hyperconsumerism. Konsep ini merujuk pada kondisi adanya konsumsi yang berlebihan dengan membeli barang-barang yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan. Masyarakat Indonesia, menurut analisis Otoritas Jasa Keuangan di tahun 2015, dinilai semakin konsumtif. Dari tahun 2012-2015, terdapat penurunan angka Marginal Propensity to Save (MPS) dan naiknya Marginal Propensity to Consume (MPC). Dari data ini, terlihat bahwa ketika orang Indonesia semakin memiliki uang, alih-alih menabung, mereka lebih memilih untuk berbelanja.

Gaya hidup konsumtif, seperti yang dianalisis oleh OJK di atas, telah terlihat nyata di masyarakat Indonesia. Jika diteruskan, hal ini dapat berdampak pada semakin meningkatnya konsumsi. Ujungnya, kondisi ini dapat menciptakana hyperconsumerism seperti yang sudah saya jelaskan di atas.

Sedangkan ancaman kedua dari konvergensi UMKM ke e-commerce adalah adanya kontrol big data terhadap masyarakat yang semakin masif. Seiring aktivitas virtual yang dilakukan oleh seseorang semakin banyak, maka semakin banyak pula data yang dapat dikumpulkan, oleh institusi-institusi seperti Cambridge Analytica yang kontroversial, dari seseorang. Data ini dapat diolah sedemikian rupa sehingga menciptakan algoritma yang nantinya akan disesuaikan dengan keinginan kita. Algoritma ini dapat mengarahkan kita pada sebuah keputusan, yang secara sadar atau tidak, dikontrol dari big data yang telah dikumpulkan tersebut.

Untuk lebih jelasnya, mari kita telaah melalui contoh. Ada seseorang yang gemar membeli jajanan siomay secara langsung di sebuah pojok UMKM. Aktivitas jual beli jajanan dari pedagang dan masyarakat ini dilakukan tanpa aktivitas virtual. Sehingga tidak ada data yang tercatat secara virtual untuk diolah menjadi algoritma virtual dari pengguna tersebut.

Mari kita gunakan analogi membeli siomay ini, namun dilakukan secara daring. Aktivitas membeli siomay ini akan tercatat secara virtual. Data yang tercatat ini akan dikumpulkan dan menjadi algoritma kita sebagai pengguna internet. Nantinya, kemungkinan besar akan ada iklan-iklan dan saran yang relatif sesuai dengan pembelian kita ini, seperti iklan-iklan mengenai kuliner. Iklan-iklan dan saran ini tentu akan secara langsung maupun tidak memengaruhi pembelian kita di masa depan.

Indonesia Belum Siap

Seiring pertumbuhan e-commerce di Indonesia, seharusnya pemerintah sudah harus siap dengan regulasi-regulasi yang mumpuni agar dapat menjaga data personal pengguna sekaligus menjaga pembeli-pembeli e-commerce dari penipuan. Namun sayangnya, hal ini belum ada sama sekali. Sudah ada rencana-rencana pembahasan, namun masih sebatas itu saja. Hal ini menandakan pemerintah Indonesia belum siap untuk menjaga masyarakatnya dari terjangan e-commerce. Tentunya, penggodokan regulasi ini harus dilakukan lebih cepat, seiring pertumbuhan e-commerce yang juga terus menanjak di Indonesia.

Share: Jack Ma, E-Commerce untuk UMKM, dan Belum Siapnya Indonesia