Bisnis

Ironi Pemerintah Pilih Sembako Jadi Objek Pajak Ketimbang Naikan Cukai Rokok

Ilham — Asumsi.co

featured image
Unsplash

Pemerintah Indonesia berencana untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau  (CTH) pada tahun depan. Namun, lebih ingin melakukan penyesuaian terhadap harga jual eceran (HJE) produk hasil tembakau atau rokok.

Pertimbangan utama pemerintah tidak menaikkan tarif cukai rokok adalah karena angka kenaikan yang berlaku pada saat ini sudah cukup tinggi, yakni sebesar 12,5 persen dan HJE naik hingga 35 persen. Kebijakan tersebut diputuskan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.152/ PMK. 04/2019.

Keputusan untuk tidak dinaikannya cukai rokok mencuat usai bocornya draf Rancangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang akan menghapus 17 sektor jasa yang tidak kena pajak.

Jika rancangan ini direalisasikan jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa perhotelan.

Kemudian ada jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, Jasa penyediaan tempat parkir, Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, Jasa pengiriman uang dengan wesel pos sampai Jasa boga atau catering akan kena Pajak Penambahan Nilai (PPN).

Dari deretan sektor tersebut, yang paling mencolok adalah pengenaan PPN pada sembako dan pendidikan.

Sembako kena PPN

Bersamaan itu, Pemerintah berencana untuk mengenakan PPN terhadap sembako. Rencana  tersebut yang tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang perubahan kelima atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU Perpajakan).

Berdasarkan berkas rumusan RUU Ketentuan Umum Perpajakan yang diterima Asumsi.co ada tiga opsi tarif untuk pengenaan PPn barang kebutuhan pokok ini.

Baca Juga Rencana Tarif PPN Naik Jadi 12%, Daya Beli Dikhawatirkan Melemah

Pertama, diberlakukan tarif PPN umum yang diusulkan sebesar 12 persen. Kedua, dikenakan tarif rendah sesuai dengan skema multitarif yakni sebesar 5 persen, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Ketiga, menggunakan tarif PPN final sebesar 1 persen.

Nantinya bahan kebutuhan pokok yang dikenakan PPN antara lain, beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

Pendidikan jadi Objek Pajak

Selain sembako, pemerintah juga akan mengenakan PPN terhadap jasa pendidikan. Dalam draft revisi yang diterima Asumsi.co sektor pendidikan dihapus dari daftar jasa yang tak terkena PPN.

Artinya, jasa pendidikan akan segera dikenakan PPN bila revisi UU KUP disahkan. Padahal jasa pendidikan sebelumnya tidak dikenai PPN sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 223/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai PPN. Ini artinya  Jika RUU KUP disahkan oleh pemerintah,  secara otomatis, biaya sekolah dari jenjang SMA sampai perguruan tinggi, akan semakin mahal.

Pajak Buat Konglomerat Hanya Naik 5%

Mirisnya, dalam draft UU KUP, Menteri Sri Mulyani berencana hanya menaikkan 5 % dari sebelumnya 30%.

Ia menekankan perubahan tarif PPh OP  ini hanya berlaku bagi konglomerat  dengan penghasilan bulanan Rp5 miliar ke atas.

“Untuk high wealth individual itu kenaikan tidak terlalu besar, dari 30% ke 35%, dan itu untuk mereka yang pendapatannya di atas Rp 5 miliar per tahun,” ujarnya saat rapat kerja bersama dengan Komisi XI DPR RI, Senin (24/5/2021).

Pajak Mobil Baru Diskon 100%

Disamping itu, Pemerintah baru memperpanjang Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) 0 persen untuk mobil berkapasitas 1.500 cc sampai Agustus 2021. Artinya, insentif PPnBM 0 Persen berlanjut yang semula berakhir Mei

“(Diperpanjang) sampai Agustus 2021. Setelah itu kembali tappering,” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dilansir Kompas.com.

Baca Juga : Jika RUU KUP Diketok, Biaya Sekolah SMA sampai Kuliah Bisa Makin Mahal

Aturan itu berdasar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20/PMK.010/2021 tentang PPnBM atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Anggaran 2021. Dengan aturan itu, pemerintah memangkas PPnBM mobil baru hingga akhir 2021 ini dengan tarif yang turun berjenjang selama tiga bulanan.

Perluas Objek Pajak

Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira berpendapat bahwa pertimbangan pemerintah tidak menaikkan cukai rokok cukup dipahami karena pada tahun 2020 sudah meninggikan tarif cukai sebesar 12,5 persen dan HJE naik hingga 35 persen. Ditambah lagi, kata Bhima, dampak dari cukai tersebut, peredaran rokok ilegal meningkat selama tahun 2020.

“Ada kenaikan peredaran rokok ilegal sebanyak 4,9% di sepanjang tahun 2020,” katanya saat dihubungi Asumsi.co.

Bhima menambahkan implikasi dari kenaikan cukai rokok juga harus diwaspadai salah satunya meningkatnya peredaran rokok ilegal atau tanpa pita cukai.

Ditambah lagi, Bhima menilai pemerintah harus memperluas cukai selain barang utama yaitu rokok, alkohol dan etanol.

“Pemerintah juga bisa memperluas objek cukainya. Indonesia merupakan salah satunya negara yang objek cukainya sangat sedikit. Di negara lain, bisa 10 jenis cukai atau lebih. Contohnya minuman berpemanis karena merusak kesehatan,” kata dia.

Disamping cukai dari minuman berpemanis, diskon PPnBM 100% untuk mobil tidak, namun baiknya dikenakan cukai emisi. Jadi kata dia cukainya ditarik dari kendaraan yang tidak ramah lingkungan, sehingga uangnya bisa digunakan untuk insentif mobil terbarukan atau listrik yang ramah lingkungan.

Ia mempertanyakan mengapa sampai saat ini kita terfokus hanya tiga barang yang dikenakah cukai.

“Ini sebetulnya proses cukup lama di DPR. Ketika pemerintah ingin reformasi pajak dan cukai, harapannya cukup dengan peraturan pemerintah saja bisa memperluas objek barang kena cukai atau dengan mengganti undang-undang. Itu saya setuju artinya perluasan objek cukai,” katanya.

Ia menekankan agar pemerintah tidak menyasar pajak ke sembako, pendidikan dan kesehatan, karena itu kontradiksi dan itu harus jadi pertimbangan pemerintah. Ia memberi solusi agar pemerintah menaikkan cukai tembakau secara bertahap tiap tahunnya.

“Jadi jangan beda satu tahun kenaikan tinggi, lalu rendah, dan tetap. Mungkin, harusnya ada roadmap  untuk kenaikan harga cukai tembakau secara bertahap termasuk juga pada simplifikasi sistem cukai tembakau,” jelasnya.

Baca Juga : Pajak 0% Hingga Bunga 2,99%, Berapa Cicilan Mobil Baru Saat ini?

Ia juga mempertanyakan apakah dengan kenaikan harga cukai, konsumsi rokok akan berkurang signfikan atau inelastis.

“Bila cukai tinggi tapi peredarannya tidak dikendalikan, sama saja. Itu mungkin harus jadi pertimbangan sama memperluas objek cukai lainnya. Karena kita debatnya kalau nggak alkohol, rokok gitu,” ujarnya.

Dihubungi terpisah Kepala Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho merasa kurang keberatan dengan kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok.

“Alasannya adalah kesehatan, tapi harusnya bila dinaikkan, kenaikannya tidak sebesar tahun lalu,” katanya.

 Namun, bila tidak ada kenaikkan, kata Dia, ini mungkin salah satu sikap pemerintah terkait apa penerimaan pajak yang akan dikejar.

“Kalau alasannya petani tembakau atau kita bisa mengatakan tenaga kerja di sektor rokok. Kalau kita lihat ada beberapa kenaikan tersebut sebetulnya tidak berpengaruh pada perusahaan tersebut. Memang harus digaris bawahi, kalau cukai rokok tidak dinaikkan ini menjadi pertanyaan,” katanya.

Menurutnya, pemerintah bisa menaikkan cukai tembakau dengan rumusan yang ada sebelumnya dan tidak perlu double digit Bukan  pada produk lain seperti pajak sembako, pendidikan dan rumah sakit swasta.

“Menurut saya ini tidak adil. Salah satunya, kita bisa melihat ketidakadilan pemerintah memberikan insentif perpajakan kepada konsumen mobil disaat masyarakat masih punya beban cukup besar, saya lihat itu tidak tepat dan etis. Ini perlu diperhatikan oleh pemerintah,” jelasnya.

Kalau di saat sekarang, ia mengerti pemerintah punya kendala terhadap penerimaan negara.

 “Kita lihat target pajak yang diluar ekspektasi,” terangnya.

Ia meminta pemerintah untuk mempertimbangkan mengambil pajak baru terhadap masyarakat kalangan bawah.

“Jangan sampai objek pajak baru ini dikenakan kepada masyarakar bawah, walaupun saya mengerti kebijakan pemerintah ini,” tandasnya.

Apabila memang dilakukan, kata Dia, itu bentuk cerminan ketidakadilan dari regulasi yang ada. “Harusnya di era pandemi, ini tidak dilakukan. Kita bisa berkaca kepada beberapa negara mulai mencari objek pajak baru seperti pajak karbon, cukai minuman manis, saya rasa perlu dilihat kembali harusnya objek pajak baru tidak menyasar ke masyarakat kecil,” tandasnya.

Share: Ironi Pemerintah Pilih Sembako Jadi Objek Pajak Ketimbang Naikan Cukai Rokok