Budaya Pop

Inspirasi Gundala Putra Petir itu Bernama Ki Ageng Sela

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Alkisah, seorang peneliti serum penghalau petir bernama Sancaka berlari di tengah hujan dan disambar petir. Saat itu pula ia ditarik oleh suatu kekuatan dari dunia lain dan diberkahi kekuatan super: ia dapat menembakkan geledek dari tangannya. Ia juga dianugerahi kekuatan untuk bisa berlari secepat mungkin.

Karakter Sancaka dalam Gundala Putra Petir akan dimainkan oleh Abhimana Aryasatya. Film yang akan tayang di bioskop tak lama lagi ini diadaptasi dari komik berjudul sama karya Harya Suraminata (Hasmi) yang rilis pertama kali pada 1969.

Sekilas, cerita Gundala terdengar mirip dengan komik The Flash buatan DC Comics yang telah ada sejak tahun 40-an. Pahlawan super dengan kekuatan petir juga telah ada sebagai karakter Thor buatan Marvel Comics atau Black Lightning buatan DC Comics.

Walaupun Hasmi mengaku mempelajari karakter The Flash, inspirasi utamanya dalam menciptakan Gundala adalah Ki Ageng Sela. Ia adalah tokoh legenda Jawa yang dipercaya dapat menangkap petir dengan tangannya. Nama Gundala sendiri diambil dari kata berbahasa Jawa yang artinya petir.

Siapa Ki Ageng Sela dan bagaimana ia bisa menangkap petir?

Si Penangkap Petir Keturunan Majapahit

Diceritakan dalam naskah-naskah babad, Ki Ageng Sela lahir pada akhir abad ke-15 atau awal ke-16. Ia adalah keturunan dari raja terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya.

Prabu Brawijaya mempunyai anak laki-laki bernama Bondan Kejawan. Si anak diramal oleh ahli nujum akan membunuh ayahnya, sehingga ia dititipkan ke juru sabin selama masa kecilnya. Bondan Kejawan kemudian menikah dan mempunyai anak bernama Ki Getas Pendowo, yang kemudian mempunyai tujuh orang anak—salah satunya adalah Ki Ageng Sela.

Ki Ageng Sela juga dipercaya sebagai leluhur dari pemimpin-pemimpin Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-17. Ia pernah mendirikan perguruan Islam dengan murid-murid dari berbagai penjuru daerah.

Ia pun mempunyai tujuh orang anak, enam perempuan dan satu laki-laki. Salah satu cicitnya adalah Kanjeng Panembahan Senopati atau Raden Sutawijaya, yang merupakan pendiri Kerajaan Mataram dan berkuasa pada 1587-1601.

Sejak saat itu, keturunan Ki Ageng Sela menjadi penguasa absolut Kerajaan Mataram. Cucu dari Raden Sutawijaya, Sultan Agung, membawa Mataram menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada masanya. Sultan Agung pun ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia pada 1975.

Walaupun keturunan Majapahit dan leluhur Kerajaan Mataram, Ki Ageng Sela hidup secara sederhana sepanjang hidupnya. Ia senang bertapa di hutan, gua, dan pegunungan. Ia juga menggarap sawah seperti warga biasa.

Suatu hari, ketika Ki Ageng Sela sedang bekerja di sawah, petir menyambarnya. Bukannya gosong, Ki Ageng Sela justru menangkap petir itu. Si petir kemudian berubah wujud menjadi seorang laki-laki tua.

Laki-laki tersebut dibawa oleh Ki Ageng Sela ke Kesultanan Pajang, yang kemudian meletakannya di kurungan besi. Penduduk sekitar dilarang memberikan air minum kepada si laki-laki tua perwujudan petir itu.

Namun, suatu hari, seorang perempuan tua yang dipercaya sebagai jelmaan pasangan dari sang petir datang dan membawakan air dalam kendi. Tak lama kemudian, terdengar suara petir yang menggelegar yang diikuti dengan hancurnya kurungan si laki-laki tua.

Kesaktian Ki Ageng Sela menangkap petir masih “dikenang” hingga kini. Pintu masuk Masjid Agung Demak yang kini berada di museum yang bersebelahan dengan masjid dipercaya sebagai ciptaannya.

Pintu tersebut disebut sebagai Lawang Bledgeh (pintu petir) dan dulunya diyakini dapat berfungsi sebagai penangkal petir.

Kisah-kisah Lain Ki Ageng Sela

Ki Ageng Sela yang senang bertapa selalu berdoa agar keturunannya kelak dapat menjadi raja-raja besar yang menguasai seluruh Jawa.

Suatu hari, Ki Ageng Sela ingin melamar menjadi prajurit Tamtama di Kerajaan Demak. Untuk dapat menjadi seorang prajurit, ia mesti bertarung dengan seekor banteng liar. Ki Ageng Sela berhasil membunuhnya, tetapi berbalik menghindar ketika darah si banteng mencipratnya.

Akibatnya, ia dianggap penakut dan ditolak menjadi prajurit. Ki Ageng Sela pun marah dan berpacu dengan kudanya menyerang keraton Demak. Namun, tubuh si kuda terkena panah Sultan Demak. Ia pun kalah. Sang Sultan Demak juga berkata bahwa Ki Ageng Sela tak akan pernah bisa menjadi penguasa.

Kisah perkelahian lain datang ketika Ki Ageng Sela sedang asyik menanam waluh di halaman rumah. Saat itu, ia sedang memakai kain cinde bermotif bunga-bunga yang ia kaitkan di pinggangnya. Tiba-tiba, seseorang berlari menyerang Ki Ageng Sela dalam keadaan mengamuk.

Ki Ageng Sela yang tak memakai ikat pinggang tersandung batang waluh dan kainnya lepas. Ia pun mesti melawan orang tersebut dalam keadaan telanjang. Walaupun Ki Ageng Sela tak terluka dan berhasil membunuh lawannya, ia kepalang geram. Ia melarang keturunan-keturunannya untuk menanam waluh di halaman dan memakai kain cinde untuk menghindari situasi serupa terjadi.

Kisah asmara Ki Ageng Sela terekam ketika ia sedang berada di pertunjukan wayang kulit. Sang dalang yang bernama Ki Bicak membawa istrinya yang dinilai Ki Ageng Sela amat cantik. Demi bisa merebut istri Ki Bicak, Ki Ageng Sela pun membunuhnya.

Ki Ageng Sela mengambil wayang, bende (gong kecil), dan sang istri, tetapi kemudian perhatiannya teralih ke bende yang sudah ada di tangannya. Ia pun tak lagi tertarik dengan perempuan yang suaminya telah ia bunuh. Atas seizin Sunan Kalijaga, Ki Ageng Sela menjadikan bende tersebut sebagai pusaka Kerajaan Mataram.

Dipercaya, bende tersebut dapat memprediksi apakah kerajaan akan menang atau kalah dalam sebuah perang. Bila bende tersebut mengeluarkan suara ketika dipukul, maka perang akan dimenangkan. Namun, jika tak mengeluarkan suara, hal sebaliknya yang akan terjadi.

Hingga kini, makam Ki Ageng Sela yang terletak di Desa Sela, Kecamatan Tawangharjo ini ramai dikunjungi oleh para peziarah, terutama pada Kamis malam. Berziarah ke makam Ki Ageng Sela dipercaya dapat memberikan berkah dan membuat keinginan-keinginan terkabul.

Share: Inspirasi Gundala Putra Petir itu Bernama Ki Ageng Sela