Isu Terkini

Iklan Politik Tak Boleh Tayang di Twitter, Bagaimana dengan Facebook?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

CEO Twitter Jack Dorsey mengumumkan lewat twit-nya (@jack) bahwa Twitter tak akan lagi menerima iklan politik. Kebijakan ini mulai berlaku pada November 2019.

Dorsey mengatakan bahwa penyampaian pesan politik seharusnya tidak diperjualbelikan oleh platform media. “Walaupun internet adalah medium yang kuat dan efektif untuk memasang iklan komersial, kekuatan ini juga membawa risiko besar terhadap politik. Iklan politik dapat mempengaruhi hasil pemilihan dan hidup jutaan orang,” kata Jack.

Jack memaparkan tantangan-tantangan yang mesti dihadapi terkait iklan politik: dari iklan yang dapat melakukan penargetan secara mikro, penyebaran informasi yang menyesatkan, hingga deepfakes.

Kekhawatiran Jack tidak berlebihan. Guardian menganggap deepfake sebagai ancaman terhadap demokrasi. Deepfake adalah teknik berbasis artificial intelligence yang biasanya sering digunakan untuk memasang wajah figur terkenal ke gambar atau video orang lain. Teknik ini sering digunakan dalam video porno, di mana wajah subjek-subjek pornografi diganti dengan wajah selebritas.

Teknik ini juga dikhawatirkan akan menjadi senjata politik untuk menyebarkan kabar bohong tentang seorang politikus atau aksi politik. Akun Youtube DerpFakes pernah mengunggah video deepfake yang mengganti wajah Jimmy Falon menjadi wajah Donald Trump. Dalam video itu, Donald Trump seolah-olah sedang membanggakan kemenangannya di beberapa negara bagian Amerika Serikat.

Selain itu, sikap Jack Dorsey juga merespons kebijakan yang diterapkan oleh Facebook. Facebook memutuskan untuk tidak melakukan fact-checking pidato, iklan, dan kampanye politik. Pihaknya yang bekerja sama dengan pihak ketiga untuk menyaring informasi fakta dari hoaks akan mengecualikan konten-konten politik tersebut. “Bukan tugas kami untuk menggawangi isi debat politik dan mencegah pidato politikus dari menjangkau audience mereka,” kata Vice President Facebook, Nick Clegg.

Facebook juga berdalih bahwa pidato politik termasuk dalam kebebasan berpendapat yang mesti dijunjung. “Kebebasan berekspresi adalah prinsip utama Facebook. Kami adalah pembela kebebasan berpendapat dan kami melindunginya dari percobaan-percobaan untuk membatasinya. Menyensor atau meredam wacana politik tidak mencerminkan prinsip tersebut,” lanjut Nick Clegg.

Pemilu Ajang Sebar Hoaks

Pemilu Amerikat Serikat 2016 lalu dipenuhi dengan perang hoaks dan misinformasi ke calon presiden. Hasil penelitian “Fake News May Have Contributed to Trump’s 2016 Victory” menunjukkan bahwa hoaks dan sentimen negatif yang disebarkan tentang Hillary Clinton membuat 4% pendukung Obama pada 2012 urung memilih Clinton.

Berita-berita bohong itu termasuk Clinton sedang menderita penyakit serius dan Clinton mendukung penjualan senjata ke teroris Islam. Faktor ini diindikasi sebagai salah satu alasan di balik kemenangan Trump pada pilpres 2016.

Maka, memasuki tahun pilpres 2020, tak mengherankan jika Twitter tak mau pola serupa terjadi lagi. “Membayar untuk menjangkau audience tidak sama dengan kebebasan berekspresi. Membayar iklan untuk meningkatkan jangkauan pidato politik punya akibat yang signifikan yang belum dapat ditangani oleh infrastruktur demokrasi saat ini,” kata Jack.

Facebook yang justru melonggarkan kebijkannya berakhir dikritik, salah satunya oleh Alexandria Ocasio-Cortez (AOC), anggota legislasi, dalam sidang tentang proyek cryptocurrency Facebook Libra. “Agar kita dapat membuat keputusan tentang Libra, kita mesti menggali rekam jejak perilaku Anda dan Facebook yang berkaitan dengan demokrasi,” kata AOC.

AOC menanyakan apakah iklan yang menargetkan orang-orang kulit hitam dan mengiklankan tanggal pemilu umum yang salah dapat dihapus atau tidak. Ia juga menanyakan apakah menyebarkan berita hoaks tentang Partai Republik mendukung Green New Deal dapat lolos atau tidak.

Zuckerberg menjawab tidak akan memuat konten-konten yang bersifat “menekan hak pilih”, tetapi merespons “mungkin” untuk penyebaran misinformasi seperti Partai Republik mendukung Green New Deal. Ia juga mengaku bahwa ia tidak mengetahui pasti jawaban dari pertanyaan AOC.

“Jadi, Anda akan menghapus berita bohong atau tidak? Menurut saya jawabannya sesederhana ya atau tidak,” balas AOC.

Macam-macam Disinformasi Kampanye Politik

Sikap Facebook membiarkan iklan dan kampanye politik untuk menyebarkan disinformasi ini telah menjadi bumerang. September lalu, tim kampanye Donald Trump mempublikasikan iklan yang memberitakan klaim-klaim tidak benar terkait mantal wakil presiden Joe Biden, anaknya, dan aktivitas mereka di Ukraina. Facebook menolak untuk menurunkan iklan kabar bohong tersebut.

Pada 30 Oktober lalu, Facebook juga membiarkan laman palsu bernama DonaldTrumpCampaign mengaku sebagai bagian dari kampanye Donald Trump dan membuka portal donasi. Portal donasi ini mengaku akan dimanfaatkan untuk kebutuhan kampanye Trump.

Laman ini tidak diakui oleh tim kampanye Trump. Mereka mengatakan halaman tersebut melakukan penipuan. Tim Facebook mengaku pihaknya telah salah mengkategorikan laman tersebut sebagai bagian dari kampanye politik.

Dengan bukti-bukti tersebut, batas antara konten politik yang menyebarkan dan tidak menyebarkan hoaks jadi kabur. Namun, terlepas dari praktik-praktik disinformasi tersebut, Facebook tetap bergeming dengan kebijakannya. Bahkan, surat protes dari para karyawan Facebook kepada Mark Zuckerberg sendiri tidak digubris.

Untuk itu, Partai Demokrat sengaja membuat iklan palsu untuk membuktikan bahaya dari kebijakan Facebook ini. Elizabeth Warren selaku senator sengaja mempublikasikan iklan yang mengklaim bahwa Mark Zuckerberg sedang mempromosikan Trump untuk maju di pilpres 2020. Warren juga sengaja mengklaim tanpa bukti bahwa kebijakan ini adalah bagian dari kesepakatan rahasia antara Facebook dan Trump.

“Zuckerberg telah memberikan kendali kepada Trump untuk berbohong di platformnya dan menyebarkan kebohongan itu ke pemilih-pemilih Amerika,” kata Elizabeth Warren di akun Twitter-nya (@ewarren).

Studi tentang Perilaku Pemilih

Paparan terhadap iklan politik berpengaruh terhadap pilihan masyarakat dan persepsi mereka terhadap seorang kandidat politik. Penelitian bertajuk “Does Political Advertising Persuade?” menunjukkan bahwa seseorang punya kemungkinan lebih besar untuk memilih kandidat yang memproduksi iklan lebih banyak di daerahnya.

Penelitian ini mengambil sampel hasil pemilu Amerika Serikat pada 2000, di mana sebuah daerah lebih banyak terpapar iklan yang mendukung Al Gore dibandingkan George W. Bush. Hal ini berdampak pada lebih banyaknya orang yang memilih Al Gore di daerah tersebut.

Kampanye bernada negatif juga mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsikan kandidat-kandidat politik. Penelitian bertajuk “Do Negative Messages Work? The Impact of Negativity on Citizens’ Evaluation of Candidates” menunjukkan bahwa penggambaran seorang kandidat secara negatif mendorong masyarakat—terutama awam politik—untuk melihat orang tersebut secara lebih negatif.  Persepsi ini akan mempengaruhi pilihan mereka pada pemilihan kandidat.

Penggambaran kandidat secara hitam dan putih juga berisiko menciptakan polarisasi politik yang ekstrem. American Behavioral Scientist dalam “Polarization and The Global Crisis of Democracy” melakukan studi terhadap 11 negara di dunia, termasuk Amerika Serikat, Thailand, Venezuela, dan lain-lain. Mereka menemukan bahwa pemimpin politik yang menggambarkan lawannya sebagai “amoral” dan “korup” berakhir menciptakan jurang antara “kami” dan “mereka”.

Maka, ketika Facebook membebaskan konten kampanye politik disebarkan di platformnya tanpa menyaring informasi yang ada di dalamnya, bukan tak mungkin kampanye-kampanye kebencian akan semakin merajalela.

Donald Trump seringkali melabeli orang Meksiko sebagai kriminal dan orang Islam sebagai teroris. Dengan kebijakan Facebook yang amat longgar, bukan tak mungkin pesan-pesan kebencian terhadap kelompok ini semakin tinggi, menyebabkan masyarakat pendukung Trump semakin memupuk kecurigaan kepada mereka.

Tak hanya Donald Trump, lawannya pun bisa memanfaatkan kebijakan ini untuk mendelegitimasi Trump atau untuk menciptakan jurang polarisasi yang lebih lebar. Hal ini membuktikan polarisasi hanya membuat nasib demokrasi semakin terancam.

Maka, sebagaimana yang dikatakan Dorsey dalam twitnya, eskalasi kampanye politik di internet telah membuat semua orang kewalahan. Untuk itu, platform media bertanggung jawab untuk memperbaiki akar masalah dari polarisasi dan penyebaran disinformasi ini—bukan turut mendukungnya.

Regulasi terkait kampanye politik harus dilakukan secara lebih terus terang. “Internet membuka banyak kemungkinan baru, dan para pembuat kebijakan butuh berpikir secara lebih maju ke depan untuk memastikan playing field yang berimbang,” kata Jack.

Share: Iklan Politik Tak Boleh Tayang di Twitter, Bagaimana dengan Facebook?