Covid-19

Idul Adha 2021: Mendahulukan Kurban atau Korban Covid-19?

Muhammad Ridha Basri — Asumsi.co

featured image
Unsplash/Arie Wubben

Dalam satu sesi mata kuliah ‘Agama dan Isu-Isu Global’ pada 4 Juni 2021, Professor Syafaatun Almirzanah yang mengajar di kelas S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga, mengajukan tema diskusi yang menarik. Tentang krisis lingkungan yang menurutnya terkait langsung dengan pandangan keagamaan dan tanggung jawab moral umat beragama. Secara khusus, diskusi kami mengarah pada ritual ibadah kurban yang rutin dipraktikkan setiap tahun oleh umat Islam di seluruh dunia.

Ada apa dengan ibadah kurban? Ibadah di musim haji yang bertepatan dengan Idul Adha itu dilakukan dengan menyembelih hewan tertentu yang sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Dalam ibadah yang telah menjadi tradisi para Nabi itu, hewan yang dikurbankan antara lain: unta, sapi, kerbau, kambing, domba, dan sejenisnya. Di Indonesia, jutaan hewan kurban disembelih pada tiga hari tasyrik itu.

Berdasarkan data Ditjen PKH Kementan, dilansir dari Tirto, ada 1,43 juta ekor hewan kurban yang disembelih di hari raya Idul Adha tahun 2017. Sumber yang sama menyebut bahwa angka tersebut menurun jadi 1,22 juta ekor kurban di tahun 2018, dan naik sedikit 1,35 juta ekor kurban di tahun 2019. Direktur Kesehatan Hewan Ditjen PKH Kementan Nuryani Zainuddin menyebut bahwa Idul Adha tahun 2020 merealisasikan 1,68 juta ekor kurban, sekaligus memprediksi jumlah 1,5 juta hewan kurban di tahun 2021.

Diskusi di kelas kami membahas tentang sapi yang menyumbang gas metana cukup besar dan memperparah pemanasan global. Dalam artikel “Beef Consumption Reduction and Climate Change Mitigation”, Elham Darbandi dan Sayed Saghaian dari University of Kentucky, menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan sapi di seluruh dunia ikut menyumbang 65 persen. Menurut data Animal Agriculture’s Impact on Climate Change, gas metana menyumbang 16 persen dari total efek pemanasan global, yang dipicu tidak hanya dari hasil bahan bakar fosil dan pabrik industri, tetapi juga dari sapi.

Perdebatan kami dalam ruang Zoom tentang tema ini menghabiskan waktu lebih dari tiga jam. Sebagian bersepakat bahwa selain dari eksistensi Ilahi, hakikat dari semua eksistensi adalah perubahan (taghayyur), sebagaimana ditekankan oleh Nurcholish Madjid dalam Islam, Doktrin, dan Peradaban (2000). Persoalan yang tidak sederhana ini telah menjadi tema perdebatan panjang para pemikir Islam sejak abad ke-20 dalam merespons modernisasi dan globalisasi. Di tengah kejumudan dan dominasi paradigma dogmatisme Islam, para pemikir menekankan pentingnya tajdid (penjelasan ulang) dan ijtihad (usaha sungguh-sungguh untuk mencari ilmu dan memecahkan masalah yang tidak diatur dalam Al-Quran dan hadis). 

Guna mencari jalan keluar, para pembaharu mengajukan berbagai tawaran metode perubahan paradigma interpretasi terhadap teks keagamaan Islam. Mereka misalnya berusaha mengambil saripati nilai-nilai utama Islam untuk dijadikan prinsip dasar dan kemudian diterapkan dalam berbagai persoalan kontemporer secara kontekstual. Hal ini karena banyak persoalan baru umat manusia yang belum ditemukan di zaman Nabi dan belum tersirat dalam teks keagamaan.

Misalnya, dalam melihat krisis lingkungan, konsep maqasid syariah dapat diperluas dan dijadikan acuan. Dalam maqasid syariah, terdapat perhatian pada: agama, keturunan, jiwa, harta, akal. Maqashid syariah menekankan pentingnya menjaga jiwa dan keturunan, di mana membunuh satu nyawa manusia sama dengan membunuh seluruhnya (QS 5: 32). Ketika prinsip ini diperluas, tanpa sadar, terkadang kita melakukan ekosida, pembunuhan jiwa secara tidak langsung seperti merusak alam, memusnahkan spesies tertentu, menyumbang pemanasan global, melakukan sesuatu yang mengundang bencana. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga keturunan, kata Yusuf Qardhawi dalam Ri’ayatu al-Bi’ah fi al-Syari’ah al-Islamiyah. Termasuk membunuh keturunan secara tidak langsung adalah juga melakukan pertambangan secara eksploitatif dan menyisakan limbah beracun. Ketika lingkungan rusak, maka masa depan keturunan bani Adam berada dalam bahaya, sementara Al-Qur’an memperingatkan supaya manusia tidak meninggalkan keturunan yang lemah karena sebab apapun, termasuk perusakan alam (QS 4: 9).

Professor Syafaatun Almirzanah memberi clue, 

“Kurban itu sunnah, menjaga jiwa dan lingkungan itu wajib”. 

Dalam kacamata fikih prioritas, perlu mendahulukan ibadah wajib dibandingkan ibadah sunnah. Ketika ada larangan dan perintah, maka diutamakan untuk meninggalkan larangan. Larangan menjatuhkan diri dalam kebinasaan (QS 2: 195), di masa Covid-19 ini, harus diutamakan daripada perintah melaksanakan salat berjemaah atau berkurban. Prinsip ini dapat menjadi landasan ketika sebagian umat Islam mengurangi atau mengalihkan kurban sapi ke bentuk lain demi menjaga kelangsungan hidup manusia dan alam raya.

Islam menganjurkan prinsip kemaslahatan dan menjauhi sesuatu yang menimbulkan mudharat, bahwa menghindari mudarat lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat. Terdapat hadis, la dharara wa la dhirara, bahwa dilarang melakukan sesuatu yang menimbulkan mudharat bagi diri sendiri dan orang lain. Ada juga landasan dari kaidah ushul fikih seperti: al-masyaqqah tajlibu al-taisir, bahwa suatu kesukaran dapat mendatangkan kemudahan atau keluasan. Ada juga kaidah seperti: al-hajah tunazzalu manzilah al-dlarurah, bahwa suatu hajat kepentingan umum, ditempatkan pada posisi darurat, untuk mendapatkan keringanan hukum, demi kemaslahatan.

Praktik ini dimunculkan oleh Muhammadiyah menjelang Idul Adha 2020 dan 2021 di tengah situasi darurat Covid-19. Muhammadiyah menganjurkan supaya dana ibadah kurban dikonversi menjadi dana bantuan kemanusiaan untuk mengatasi pagebluk. Alasannya, menjaga jiwa korban yang menjadi mustadlafin atau tiba-tiba menjadi papa, lebih utama. Di tahun 2005, Majelis Tarjih Muhammadiyah juga menganjurkan untuk mengalihkan dana kurban menjadi bantuan bagi korban bencana alam gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004.

Pada 13 Juli 2021, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama juga menganjurkan warga Nahdliyin untuk melakukan hal serupa. Dalam Surat Edaran PBNU Nomor 5 poin C dinyatakan, 

“Pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak buruk di masyarakat terutama timbulnya masalah sosial ekonomi. Oleh karena itu, PBNU mengimbau warga Nahdliyin yang memiliki kemampuan secara ekonomi agar mendonasikan dana yang akan belikan hewan untuk membantu masyarakat yang terdampak COVID-19.” 

PBNU dan Muhammadiyah tetap mempersilahkan jika warganya mampu melakukan bantuan donasi sekaligus ibadah kurban secara bersamaan, asalkan telah mendahulukan bantuan untuk para korban Covid-19. 

Pada akhirnya, pandangan ini dapat menjadi alternatif untuk didiskusikan secara lebih mendalam oleh para ahli dengan pendekatan yang multidisiplin.

Muhammad Ridha Basri adalah mahasiswa program doktor Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Share: Idul Adha 2021: Mendahulukan Kurban atau Korban Covid-19?