General

DPRD DKI Jakarta: Habis Lobster Terbitlah Pin Emas

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta jadi sorotan terkait rencana bagi-bagi pin emas senilai Rp1,3 miliar para anggota dewan periode 2019-2024. Rencana penggelontoran dana sebanyak itu pun jadi sasaran kritik publik. DPRD DKI dinilai sembrono memanfaatkan anggaran.

Menurut catatan laman resmi APBD Jakarta, biaya pengadaan pin emas ini lebih dari Rp 1,3 miliar dalam Anggaran Kebijakan Umum Perubahan APBD dan Plafon Prioritas Sementara (KUPA-PPAS) 2019. Pin itu berjenis emas dengan kadar 22 karat.

Harga per gram pin emas tersebut dianggarkan senilai Rp761.300 per gram, masing-masing dengan dua jenis berat, yakni pin emas dengan berat 5 gram dan berat 7 gram. Lebih rinci, untuk pin emas seberat 5 gram, harganya senilai Rp3.806.500, sementara pin emas seberat 7 gram seharga Rp5.329.100.

Dua pin emas seharga Rp9.135.600 itu akan dibagikan kepada 106 orang anggota baru DPRD DKI. Anggaran Rp1,3 miliar untuk pin emas itu sendiri tercantum dalam APBD Perubahan DKI Jakarta 2019, setelah DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyepakati Anggaran Kebijakan Umum Perubahan APBD dan Platform Prioritas Sementara (KUPA-PPAS) di sidang Paripurna, Rabu (14/08/19).

Pin Emas Tak Ada dalam Permendagri

Sekretaris Dewan DPRD DKI Jakarta Muhammad Yuliadi mengatakan pin emas tersebut digunakan sebagai tanda pengenal anggota dewan yang akan ditaruh di seragam resmi. Ia bahkan mengatakan bahwa aturan mengenai pin emas tersebut sudah diatur dalam Permendagri yang menyatakan setiap anggota DPRD DKI berhak mendapatkan pin tersebut.

“Ya, pin ada dua, 7 gram dan 5 gram dari emas 22 karat. Untuk tanda pengenal sebagai anggota dewan,” kata Yuliadi dikutip dari Detikcom, Senin (19/08). Pin emas itu sendiri terdiri dari pin besar dan pin kecil, yang mana pin besar akan digunakan untuk acara resmi dan pin kecil untuk acara biasa.

Namun, Permendagri Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 9 hanya menyebut anggota Dewan mendapat tunjangan kesejahteraan berupa pakaian dinas dan atribut. Tak ada keterangan bahwa pin harus terbuat dari emas.

Menyanggah Yuliadi, Kapuspen Kemendagri Bahtiar menegaskan bahwa pin emas DPRD tidak pernah diatur dalam Permendagri. Ia menjelaskan bahwa yang diatur bukan spesifik soal pin emasnya tetapi soal pakaian dan atribut DPRD.

Aturan terkait pakaian dinas dan atribut DPRD diatur dalam Perda No 3 Tahun 2017 Tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD DKI Jakarta. Aturan ini sendiri merupakan turunan dari PP No 18 Tahun 2017.

Berdasarkan aturan tersebut, pakaian dan atribut DPRD terdiri dari beberapa kategori. Pakaian dan atribut itu harus mempertimbangkan prinsip efiesiensi, efektivitas, dan kepatutan. Selain itu, Mendagri Tjahjo Kumolo juga menegaskan bahwa pin emas tidak diatur secara khusus dalam Permendagri. Ia mengatakan bahwa pin emas itu tidak wajib dan tak perlu dipaksakan.

“Soal pin itu masing-masing daerah disesuaikan sajalah dengan kemampuan daerah, jangan dipaksakan. Apa sih pin kalau sekadar kenang-kenangan, apa perlu emas? Nggak wajiblah,” kata Tjahjo di kantor Menko Perekonomian, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Kamis (22/08).

DPRD DKI semestinya bisa belajar dari DPRD Ponorogo yang memilih kuningan sebagai bahan pin tanda pengenal mereka.

Keputusan untuk menggunakan pin kuningan itu sendiri tak lepas dari rekomendasi Badang Pemeriksa Keuangan (BPK). Apalagi pada tahun-tahun sebelumnya, pengadaan pin berbahan emas di DPRD Ponorogo memang tidak menjadi masalah. “Lebih baik taat dan tunduk pada aturan yang berlaku. Sebaiknya tidak memakai pin emas,” tutur Wakil Ketua DPRD Ponorogo Miseri Effendi, Rabu (07/08/19).

Miseri merujuk pada Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2014 tentang pedoman pelaporan dan penetapan status gratifikasi. Terdapat bentuk penerimaan gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan jika nilainya di bawah Rp 1 juta. “Dalam ketentuan, jika Rp 1 juta ke atas, masuk dalam gratifikasi dan pelanggaran,” kata Miseri.

Miseri menegaskan lebih baik taat dan tunduk pada aturan yang berlaku. Sebab, jika tetap memakai pin emas, dikhawatirkan ada pin yang hilang dan anggota Dewan tidak bisa mengembalikan. “Kan bahaya juga kalau tidak bisa mengembalikan,” ujarnya.

Pin berbahan kuningan yang akan dipakai DPRD Ponorogo pun dianggarkan dengan nilai sekitar Rp9 juta untuk 45 anggota. Sesuai dengan yang telah mereka alokasikan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) di sekretariat DPRD, tahun ini pengadaan pin emas hanya senilai Rp147 juta.

Sekarang Pin Emas, Dulu Lobster

Rencana pengadaan pin emas untuk anggota DPRD DKI masa bakti 2019-2024 itu pun menuai kritik dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Dewan Pimpinan Wilayah PSI DKI Jakarta menolak pin emas tersebut. Menurut PSI Jakarta, ada persoalan yang lebih substantif yang membutuhkan anggaran dibandingkan pemberian pin emas kepada para anggota legislatif.

“Pengadaan pin emas untuk anggota legislatif tidak berpengaruh secara substantif kepada kinerja DPRD ke depan. Anggaran yang ada lebih baik digunakan ke arah yang bermanfaat, seperti peningkatan program pelayanan masyarakat,” kata Idris Ahmad yang juga merupakan anggota DPRD terpilih PSI, dalam keterangan resmi kepada Asumsi.co, Selasa (21/08).

Idris mengatakan tak ada aturan yang mewajibkan pembuatan pin yang menjadi simbol keanggotaan legislatif harus berbahan dasar emas. Ia menyarankan agar pin yang diberikan dapat dibuat dari bahan-bahan alternatif lain yang lebih murah.

“Bila fungsinya sebatas simbol, bahan kuningan tembaga atau lainnya yang lebih murah bisa menjadi alternatif selain emas. Di Medan, Magetan, dan Ponorogo saja sudah mulai mengganti pin emas jadi berbahan kuningan. Berarti tidak wajib kan?” ujarnya.

PSI Jakarta sendiri bahkan sudah mengusulkan kepada Sekretariat Dewan (Sekwan) untuk menggunakan pin yang terbuat dari kuningan khusus untuk delapan wakil PSI yang terpilih sebagai anggota DPRD pada saat pelantikan nanti.

“Kami bersedia menggunakan pin tembaga kuningan, dan ini sudah dilakukan di daerah-daerah lain. Sebetulnya, perlu atau tidaknya pengadaan seperti pin emas harus dibuka ke publik dan dibahas betul di DPRD Jakarta,” ucapnya.

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik tak setuju dengan penolakan PSI terhadap pin emas tersebut. Taufik bahkan menantang PSI untuk tak hanya menolak pin emas saja, tapi menolak hal-hal lain yang dinilai lebih banyak memakan banyak anggaran.

“Kalau mencari popularitas, memang begitu, sekalian dong tolak terima gaji kalau begitu. Kan katanya pemborosan anggaran. Jangan tanggung-tanggung kalau nolak,” kata M Taufik kepada wartawan, Rabu (21/08).

Taufik menegaskan bahwa tak ada yang salah dengan pemberian pin emas kepada anggota DPRD DKI itu. Menurutnya, pengadaan pin emas tersebut sudah sesuai dengan aturan. Ucapan Taufik yang meminta PSI untuk menolak gaji pun menuai banyak kritik lantaran tak sesuai konteks. Bagaimana bisa menolak gaji, sementara gaji merupakan hak?

Tak sekali ini saja Taufik mengeluarkan pernyataan kontroversial. Empat tahun lalu atau pada tahun 2015, Taufik bahkan sempat mengeluhkan jumlah uang perjalanan dinas anggota DPRD DKI yang menurutnya terlalu kecil, yakni Rp430 ribu per hari. Menurut Taufik, uang perjalanan dinas yang ideal diterima anggota dewan sekitar Rp2 juta hingga Rp2,5 juta per hari atau lima kali lipat.

“Coba dihitung saja makan dua kali sehari berapa? Kan enggak mungkin kami makan di warung tegal,” kata Taufik di Gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih, Senin (14/12/15) seperti dikutip dari Kompas.

Menurut Taufik besaran anggaran transportasi dewan sesuai dengan Permendagri Nomor 52 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran APBD. Uang itu terdiri dari transportasi lokal dari rumah ke bandara dan sebaliknya, sampai transportasi lokal di tujuan. Selain itu, uang dinas dipakai untuk membeli makanan dan transportasi selama berada di lokasi kunjungan kerja.

Taufik mengatakan bahwa biaya yang diatur Kesekretarian Dewan hanya tiket perjalanan dan hotel. Menurutnya, selama perjalanan dinas, uang makannya bisa lebih dari Rp50.000. Atas dasar itu, Taufik menilai uang Rp470.000 per hari tidak dapat menutupi kebutuhan anggota dewan selama perjalanan dinas.

“Makan Rp50.000, makan siapa? Makan elu itu mah,” ucap Taufik sambil menunjuk ke arah wartawan. “Kalau uang makan itu masuk ke Rp470.000 itu, kami kalau mau makan lobster enggak bisa,” ujarnya.

Saat itu, Basuki Tjahaja Purnama buka suara terkait pernyataan Taufik dan anggota DPRD DKI lainnya. Mantan Bupati Belitung Timur itu dengan tegas menolak permintaan kenaikan anggaran perjalanan dinas. Ia menyebut angka Rp2 juta terlalu besar. Namun, bila hendak disamakan dengan pejabat eselon II, hal itu bisa dilakukan.

“Tapi kalau minta Rp2 juta sehari, dasarnya apa? Enggak bisa. Kalau disamakan dengan Eselon II jadinya maksimal ya Rp1,5 juta dan bisa di bawah Rp1 juta tergantung perjalanannya, itu sudah ada (surat) edarannya dari Kementerian Keuangan, semua uang saku ada hitungannya,” kata Ahok.

Idealnya, selain memang harus belajar dari DPRD Ponorogo terkait pin emas ini, DPRD DKI juga perlu memikirkan bagaimana memanfaatkan anggaran secara efektif dan efisien. Ketimbang menghabiskan anggaran besar untuk perjalanan dinas dan makan lobster, serta untuk sebuah pin emas mungil, bukan kah lebih baik anggaran yang besar itu bisa dialokasikan untuk kepentingan rakyat? Apalagi masih banyak warga DKI yang tinggal di jalanan, jadi pemulung, makan dari sisa sampah, dan belum lagi masalah-masalah menahun seperti macet dan banjir.

Share: DPRD DKI Jakarta: Habis Lobster Terbitlah Pin Emas