Isu Terkini

Mengurai Diplomasi Rahmah a la Gus Yahya Staquf di Israel

Aan Anshori — Asumsi.co

featured image

Kata “rahmah” adalah diksi yang  konsisten disampaikan Gus Yahya Staquf (GYS) ketika diwawancarai Rabbi David Rosen di sela-sela forum Israel Council on Foreign Relations (ICFR) di Yerusalem beberapa hari lalu. Kata ini sesungguhnya kunci dari kehadirannya yang menuai banyak kritikan, terutama dari kalangan yang dididik membenci apapun yang berkaitan dengan Yahudi dan membabi buta mendukung yang berhubungan dengan Islam. Israel diidentikkan dengan Yahudi, Palestina digebyah uyah sebagai representasi Islam.

GYS mengklaim kedatangannya mengemban misi penting memperjuangkan keadilan Palestina yang selama ini terus menerus ditindas Israel. Namun sayangnya, kenapa diksi keadilan (‘adl) tidak muncul dalam wawancara? Kenapa justru kata rahmah yang seringkali disampaikan? Pertanyaan-pertanyaan ini selanjutnya mendorong banyak orang meragukan komitmen GYS terhadap keadilan bagi Palestina.

Rahmat vs Keadilan

Lebih tinggi mana rahmat dengan keadilan dalam Islam? Ini pertanyaan menarik. Memaknai rahmah dengan “perdamaian” atau “kasih sayang” sungguhlah mempersempit kata tersebut, apalagi membenturkannya dengan keadilan.

Keadilan sendiri dalam Alquran disimbolkan setidaknya dalam dua diksi; ‘adl (equity) dan qist (equally). Pertanyaan reflektif sederhana yang bisa diajukan adalah kenapa teks Alquran lebih memilih “Islam rahmatan lil ‘alamin” bukan “Islam ‘adlan lil ‘alamin,” atau “Islam qistan lil ‘alamin“?

Menurut saya hal ini sangat mungkin disebabkan rahmah merupakan nilai (value) tertinggi dalam Islam. Saya menduga kuat kata ini adalah derivasi dari dua sifat dominan Allah; rahman dan rahim, sebagaimana dalam pembukaan QS Al-Fatihah.

Di dalam berbagai terjemahan Alquran, kata rahman dalam pembukaan Al-Fatihah diartikan oleh Yusuf Ali (2015) dan Muhsin Khan (2018) dengan “Most Gracious.” Gracious bermakna “very polite in a way that shows respect,” atau “tindakan sangat santun untuk menghormati.”

Sedangkan MH. Shakir (1996) dan Pickthall (1930) menerjemahkan “rahman” dengan “The Beneficent,” yang artinya “performing acts of kindness and charity,” atau melakukan kebaikan dan kemurahan.

Keempat penerjemah Alquran level internasional tadi sepakat menerjemahkan kata “rahim” dengan “Most Merciful.” Merriam Webster (2004) mendefinisikannya dengan “treating people with kindness and forgiveness: not cruel or harsh: having or showing mercy,” atau mempelakukan orang lain dengan baik dan penuh pengampunan, tidak kejam ataupun kasar.

Dari definisi-definisi di atas, sangat terlihat keluhuran wajah Tuhan. Keluhuran yang Ia mandatkan kepada Islam bagi alam semesta. Dalam prakteknya, rahmat itu seperti respon santun Presiden Joko “Jokowi” Widodo terhadap serangan bertubi-tubi Amien Rais, atau sikap elegan Presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terhadap The Smiling General Soeharto yang kerap memusuhinya.

Rahmat juga tampak dari sikap legowo Buang Djulianto, jemaat Paroki Santa Maria Tak Bercela, yang telah memaafkan pelaku bom Surabaya meski anaknya harus berdarah-darah terpapar tiga proyektil di tubuhnya.

Rahmat berposisi sejajar dengan ihsan, level tertinggi seseorang dalam berislam. Ihsan bermakna memberikan sesuatu melebihi yang diterimanya. Di dalam rahmat tidak hanya terkandung aspek keadilan, namun juga dorongan untuk memperlakukan orang lain secara lebih baik—aspek yang absen dalam keadilan.

GYS tidak datang ke Yerussalem dengan proposal keadilan yang demonstratif—membawa daftar kesalahan Israel dan menghardiknya agar meminta maaf. Alih-alih, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini membalut misi keadilannya dengan diplomasi religiusitas tertinggi Islam, bukan memakai narasi blak-blakan yang kerap ditunjukkan sebagian orang.

Sebagaimana Gus Dur, GYS sangat memahami Israel yang hampir punya segalanya untuk melumat Palestina. Ia juga sepenuhnya mengerti Israel tidak membutuhkan diplomasi pro-Palestina dengan model kepala batu, sebab cara tersebut akan semakin tidak menguntungkan Palestina.

Untuk apa bersikap kasar terhadap Israel jika rakyat Palestina akan didera gelombang penderitaan? GYS juga tengah berstrategi a la santri; lebih memilih menghindari timbulnya kesengsaraan warga Palestina, ketimbang ikut-ikutan menuntut keadilan demonstratif dengan cara blunder. Ia memilih datang ke Yerussalem dan berbicara dengan kesantunan yang berisi.

Mendamaikan Masa Lalu

Lebih dari itu, politik rahmah GYS ke komunitas Yahudi sebenarnya memiliki pesan profetik yang jauh lebih besar; rekonsiliasi sejarah kelam kebencian Islam terhadap Yahudi yang terus menerus diwariskan hingga saat ini.

Kita bisa melihat betapa sentimen anti-Yahudi terus-menerus dikobarkan di banyak komunitas Muslim, sama halnya sentimen terhadap kekristenan. Namun bagi umat Islam Indonesia kebencian terhadap Yahudi memiliki bobot jauh lebih berat. Sampai sekarang Israel yang dipersepsi menjadi perwujudan Yahudi masih belum memiliki hubungan dengan kita. Komunitas ini bisa dikatakan paling menderita di negeri ini.

Sangat mungkin kebencian terhadap Yahudi disulut dan dirawat oleh narasi klasik bernuansa negatif terhadap mereka, dan terbakukan dalam teks-teks agama.

Islam klasik dicitrakan begitu memusuhi Yahudi Madinah, padahal kelompok inilah yang bersedia menerima rombongan Nabi Muhammad SAW saat keluar dari Makkah, hingga memungkinkan komunitas Islam berkembang pesat pada akhirnya.

Romantisme Islam-Yahudi juga diwujudkan dengan pengakomodasian puasa Ashura Yahudi Madinah oleh umat Islam. Puasa ini untuk mengenang kemenangan Musa atas Firaun (Sahih Bukhari V6:60:202).

Yang juga tidak kalah penting, Yahudi-Islam pernah sama-sama menjadikan Masjid Al-Aqsa di Yerussalem sebagai kiblat beribadah. Islam melakukannya lebih dari 10 tahun, sampai kemudian diubah ke Makkah, sebagaimana tercatat dalam QS. 2:142-145 dan banyak hadits.

Perubahan kiblat ini sekaligus menandai merenggangnya relasi keduanya dan meninggalkan warisan luka yang berdarah-darah bagi komunitas Yahudi Madinah. Pembantaian, penyerangan, perampasan, pengusiran dan perbudakan dialami oleh Yahudi Bani Nadir, Bani Qaynuqa dan—yang paling tragis—Yahudi Bani Qurayza. Diduga kuat faktor utama terjadinya kekerasan karena mereka memilih bersetia dengan identitasnya sebagai Yahudi.

Kisah-kisah ini bisa diakses dalam berbagai literatur, misalnya karya Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman dan Muhammad at Medina; Sayyid Abul A’la Maududi, The Meaning of the Qur’an; A. Guillaume dan Ibn Ishaq, Life of Muhammad; maupun Tabari, M.V. McDonald dan Montgomery Watt, The Foundation of the Community.

Kebencian terhadap Yahudi semakin diperuncing oleh rumor seputar wafatnya Nabi Muhammad SAW yang kabarnya melibatkan Zaynab bint al-Harits, perempuan Yahudi-Khaybar. Dalam berbagai sumber klasik seperti Sahih Bukhari 4428,
Sunan Abi Dawud 4512, Tabaqat al-Kabir Ibn Sa’d vol. 2, ia digambarkan menjadi penyebab utama kematian Nabi akibat daging beracun yang ia suguhkan. Motifnya, menuntut balas atas apa yang menimpa keluarga dan kelompoknya dalam peristiwa Khaybar.

Meskipun peristiwa-peristiwa ini—terlepas dari validitas dan akurasinya—berlangsung lebih dari seribu tahun lalu namun selalu gagal disikapi secara dewasa. Yang justru terjadi adalah sebaliknya; narasi tersebut diawetkan untuk saling menyalahpahami dan memupuk kebencian.

Dengan diplomasi rahmat, GYS menindaklanjuti jalan yang dulu pernah diretas Gus Dur, yakni jalan terjal menampilkan Islam berformat ideal dalam bentuk dialog dengan Israel, demi masa depan Palestina, lebih-lebih demi relasi Islam Indonesia dan Yahudi. Konsep rahmat menyediakan ruang sedemikian luas bagi kita untuk bisa mengasihi Yahudi dan—terutama—berdamai dengan sejarah Islam sendiri.

Selamat Hari Raya Idulfitri.

Aan Anshori adalah koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur, GUSDURian, mahasiswa S2 Hukum Keluarga Islam Univ. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

Share: Mengurai Diplomasi Rahmah a la Gus Yahya Staquf di Israel