Nadiem Makarim sepenuhnya berhak menulis pidato perayaan Hari Guru yang membangkitkan harapan. Yang tidak boleh adalah membiarkan kata-kata itu sekadar jadi basa-basi.
“Biasanya tradisi Hari Guru dipenuhi oleh kata-kata inspiratif dan retorik. Mohon maaf, tetapi hari ini pidato saya akan sedikit berbeda. Saya ingin bicara apa adanya dengan hati yang tulus, kepada semua guru di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke…” begitu potongan pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim pada Senin (25/11/19).
Kata-kata Nadiem dianggap langsung menyentuh pokok permasalahan pendidikan di tanah air sehingga diapresiasi banyak orang. Tapi, tak sedikit pula yang mengkritik bahwa apa yang disampaikan Nadiem bukanlah hal baru di setiap peringatan Hari Guru. Mereka berharap Nadiem mengambil aksi nyata.
“Terima kasih kepada Mas Nadiem. Apa pun yang disampaikannya, bagi PGRI itu memang bukan persoalan baru. Karena sudah pernah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo dan sudah dijawab pada 2017 lalu,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi saat dihubungi Asumsi.co, Senin (25/11/19).
Meski begitu, kata Unifah, pidato seorang menteri tentu memiliki gema yang luas, yang diharapkan bisa mengubah paradigma pelayanan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, beserta jajaran pemangku kepentingan di bawahnya, agar sesuai dengan isi pidato.
Nadiem perlu langsung mengidentifikasi hambatan yang dialami para guru, mulai dari persoalan-persoalan administrasi, kemerdekaan guru, hingga kesejahteraan guru. Situasi pendidikan di Indonesia memang rumit. Dari tahun ke tahun, kita mendengar masalah yang itu-itu saja. Paling sering soal kesejahteraan guru honorer. Banyak di antara mereka hanya digaji Rp300.000-500.000 per bulan atau bahkan sama sekali tak dibayar.
Menurut Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI) Heru Purnomo Pertama, membicarakan situasi guru di Indonesia adalah membicarakan kuantitas dan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta pelatihan untuk peningkatan mutu para pendidik yang belum memadai.
“Tunjangan sertifikasi yang digelontorkan sudah besar tetapi belum berdampak pada peningkatan terhadap kualitas guru yang diharapkan,” kata Heru saat dihubungi Asumsi.co melalui sambungan telepon, Senin (25/11). “Satu sisi, guru ditugaskan untuk memajukan masa depan bangsa, tapi di sisi lain guru kehabisan waktu karena sibuk dengan administrasi pendidikan. Sementara administrasi pendidikan itu kan membelenggu tugas guru yang fungsinya untuk memajukan masa depan bangsa,” ujarnya.
Berdasarkan data World Bank tahun 2018, Indonesia memiliki 9,48 juta siswa dengan klasifikasi sekolah dasar, kemudian pada tingkatan sekolah menengah pertama ada 27,65 juta, sekolah menengah atas sebanyak 27,99 juta dan pendidikan tinggi ada 22,13 juta.
Pemerintah menggelontorkan dana pendidikan sebesar 492,5 triliun pada tahun anggaran 2019 dengan alokasi 163,1 triliun di lingkup pusat dan 308,4 triliun alokasi untuk daerah, sisanya adalah pembiayaan sebesar 21 triliun. Anggaran ini tumbuh sebesar 11,3% lebih tinggi dibandingkan tahun anggaran 2018.
Untuk mencapai pendidikan berkelanjutan, Kemendikbud memiliki sasaran target untuk penerima bantuan pendidikan. Bantuan Operasional Sekolah dan Kartu Indonesia Pintar sebanyak 57 juta jiwa serta 20,1 juta jiwa. Program yang dicanangkan pemerintah Indonesia memang sejalan dengan upaya Sustainable Development Goals pada tahun 2030.
Sayangnya, sebagai catatan, untuk saat ini Indonesia memiliki rapor buruk pada sektor pendidikan. Merujuk Survey PISA, siswa Indonesia memiliki nilai merah dengan menempati posisi 62 dari 70 negara untuk skor matematika, sains, dan membaca di tahun 2018. Padahal rasio guru di Indonesia lebih tinggi yakni 1:27 dibandingkan Australia, Inggris, dan Amerika.
Meski kalau dibedah lebih jauh akan ada ketimpangan jumlah guru dari setiap daerah di tanah air. Contohnya Jawa Barat serta Jawa Tengah, yang masing-masing memiliki 9.891 dan 12.160 guru. Jika dibandingkan dengan wilayah timur Indonesia secara keseluruhan, bahkan jumlahnya tidak mencakup total dari dua wilayah di atas.
Bahkan lebih buruk lagi, total guru malah tidak sebanding dengan jumlah ideal guru untuk masing-masing mata pelajaran. Idealnya ada 3556 guru terampil matematika untuk wilayah Jawa Barat, tetapi hanya ada 2429 guru terampil pada jenjang sekolah menengah atas. Pada guru terampil Bahasa Indonesia kebutuhannya mencapai 2608 guru untuk mencapai level ideal, sedangkan jumlah guru yang ada hanya 1787 guru.
Bagaimana dengan wilayah timur Indonesia? Papua dan Papua Barat total hanya memiliki guru masing-masing berjumlah 665 dan 250 guru. Spesifikasi untuk mata pelajaran matematika masih membutuhkan 181 guru untuk wilayah Papua Barat dan 362 untuk wilayah Papua.
Mirisnya lagi, ada banyak kasus di mana guru merangkap mata pelajaran sebagai upaya penyelarasan kemampuan didik siswa di Papua. Maka dari itu, rasio perbandingan di atas tidak sebanding dengan data faktual yang ada. Perbandingan tersebut adalah hasil agregasi dari seluruh guru dan jumlah murid nasional.
Padahal kita masih kekurangan tenaga pengajar terampil, untuk saat ini pemerintah telah menyediakan data satu pintu untuk bisa menyeimbangkan rasio guru dengan murid, kelompok kelas, hingga kebutuhan mata pelajaran.
Masalah-masalah yang menghantui guru tersebut tidak akan selesai dalam satu dua hari saja. Perlu tindakan nyata, apalagi masalahnya bercabang dan rumit.
“Pada 2017, PGRI sudah meminta kepada presiden, baik itu soal penyederhanaan birokrasi, daulat profesi guru, itu sudah disampaikan dalam setiap pertemuan. Pada Mas Menteri, semoga ditindaklanjuti dengan pemotongan, pencabutan aturan-aturan itu,” ucap Unifah.
Pemerintah diharapkan bisa melahirkan kebijakan yang bisa membuat guru menjadi mulia. Apalagi, guru honorer sudah tumpah ruah jumlahnya. Unifah mendesak agar guru-guru yang memenuhi kualifikasi, segera dibuatkan jalan keluarnya misalnya melanjutkan yang sudah pernah ada seperti PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).
Meski tentu masih ada harapan yang lebih besar agar guru-guru honorer statusnya diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun, hal itu harus memerhatikan banyak hal agar ada kebijakan afirmasi dengan sistem yang jelas. Sehingga guru-guru honorer yang sudah berjuang dalam waktu yang tak sebentar, tidak disamakan begitu saja dengan fresh graduate yang melamar sebagai PNS.
Perlu diketahui, dalam dua periode masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau selama 10 tahun, setidaknya terdapat hampir satu juta guru honorer yang menjadi PNS, terutama dari golongan honorer tingkat satu (K1). Sayangnya, kebijakan ini juga tak luput dari kritik. Meski dinilai baik, namun permasalahan guru honorer dianggap cukup kompleks dan tak hanya sekadar masalah kesejahteraan saja, tapi juga soal kompetensi.
Bicara soal kompetensi ini, tentu bisa diukur dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) pada 2017 lalu, merujuk data Kemendikbud, yang masih jauh dari memuaskan. Rata-rata nilai UKG tertinggi didapat golongan guru Sekolah Menengah Atas yakni 69,55, sedangkan nilai terendah dicapai oleh golongan guru Sekolah Dasar, yakni 62,22.
Itu artinya, nilai rata-rata yang dicapai pada UKG tersebut bahkan tidak mencapai angka 70. Nilai UKG ini tentu bisa jadi pegangan sejauh apa kompetensi guru-guru honorer. Sebab, menyelesaikan kesejahteraan dengan mengangkat status guru honorer saja tidak cukup, lantaran tidak berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas guru.
Perbedaaan kebijakan pun terjadi di periode awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pemerintahan Jokowi coba mengambil jalan tengah, di mana menurut pasal 6 dan 7, ASN dibagi menjadi pegawai tetap PNS dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).
Dalam konteks guru honorer yang ingin menjadi PPPK, maka harus menjalani tes seleksi lebih dulu. Lalu kalau berhasil dan lolos, maka guru honorer yang ikut tersebut akan mendapatkan gaji dan tunjangan yang nilainya setara dengan ASN. Hanya saja, PPPK tidak mendapat pensiun dan kontrak kerjanya disesuaikan dengan perjanjian bersama instansi terkait.
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK menjelaskan bahwa perjanjian kerja PPPK minimal satu tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini, yang bisa menjadi acuan terkait masa kontrak kerja adalah penilaian kinerja.
Layaknya kebijakan era SBY terkait pengangkatan status guru honorer menjadi PNS, kebijakan Jokowi terkait konsep PPPK juga tak lepas dari sasaran kritik. Pada akhir September 2018 lalu di depan Istana Negara, ada ribuan guru yang sebagian berstatus honorer kategori dua (K2) terlibat dalam aksi yang menuntut diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Maka dari itu, Unifah menegaskan pentingnya memerhatikan kualitas kompetensi guru. “Yang kualitasnya kurang dibina terus menerus, dilatih, dibayar dengan pendapatan yang layak. Lalu, sertifikasi jangan berbelit-belit. Itu baru solusi, karena kalau hanya sekadar wacana, nanti tenggelam oleh budaya birokrasi yang sangat membelenggu.”
Selain itu, pemenuhan beban jam mengajar 24 jam per minggu demi Tunjangan Profesi Guru (TPP) juga masih menjadi masalah. Menurut Unifah, pekerjaan guru jadi menumpuk. Guru harus memenuhi target 24 jam mengajar, dari Senin sampai Jumat, dari pagi sampai sore, sehingga kalau tak terpenuhi maka tak ada tunjangan.
“Sementara pekerja-pekerja yang lain, asal datang, asal tandatangan, dibayar tukinnya (tunjangan kinerja). Kalau guru, boro-boro dapat tukin. Jadi bottleneck-nya di situ, belum lagi misalnya ada aturan guru juga harus finger print tiga kali sehari.”
Sebenarnya Indonesia pernah melahirkan satu kebijakan yang cukup baik di sektor pendidikan, contohnya School Base Management (SBM). Sederhananya, SBM membuka kesempatan dengan memberikan otonomi kepada sekolah untuk kemerdekaan guru dan siswa. Tetapi bukan otonomi yang seluas-luasnya tapi otonomi yang sudah diatur.
Misalnya kurikulum dasarnya dari pusat, untuk selanjutnya diberikan kekuatan kepada sekolah untuk mengembangkannya. Sembari terus diperhatikan, dan dipasang target yang jelas, selebihnya kembangkan, dan dorong siswa untuk mengerti tentang kebutuhannya, untuk berpikir kreatif, harus dibuat mengerti tentang literasi, termasuk literasi digital.
SBM tersebut dilengkapi dengan School Leaders, pengawas yang baik yang memiliki kemampuan integritas dan leadership yang efektif bagi sekolah. Namun persoalannya, konsep dan kebijakan itu tak pernah konsisten dilaksanakan. Bahkan, ada yang mengusulkan pengawas dihapuskan, sehingga pada situasi ini. PGRI dengan tegas menolak.
“Pengawas itulah supervisor, kerjanya melihat dengan jelas apa yang menjadi persoalan guru di kelas. Kalau kurang, berdayakan mereka, dilatih, bukan dihapus, mana mungkin pengawas dihapus. Sebab pengawas itu menjaga total quality management, total quality pembelajaran. Sehingga merekrut kepala sekolah dan pengawas tidak boleh asal-asalan.”
Bicara pendidikan di Indonesia tentu tak lepas dari ujian nasional (UN) yang selama ini dipakai sebagai standar kelulusan bagi siswa. Namun, UN dianggap tak cukup memadai untuk mengukur kemampuan siswa yang sebenarnya karena hanya terpaku pada nilai-nilai yang justru didapat dari hasil mengerjakan soal-soal pilihan ganda.
FSGI sendiri mendorong agar UN tidak dipergunakan lagi sebagai alat kelulusan dan alat standardisasi. Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UN dijadikan sebagai alat untuk melakukan pembinaan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
“Jadi artinya ketika di daerah tertentu nilai UN nya itu rendah, maka Dinas Pendidikan harus mengambil tindakan terhadap daerah tersebut. Lalu, ambil kebijakan misalnya perlu perbaikan karena kualitas gurunya tidak memadai, sehingga materi ujiannya seperti ini tidak sampai. Maka gurunya yang harus dilatih supaya bisa menyampaikan materi itu kepada siswanya,” kata Heru.
Segera identifikasi masalahnya, apakah karena minat belajarnya tidak ada, atau sarananya yang tidak mendukung. Evaluasi itulah nantinya digunakan untuk perbaikan. Jadi tujuannya untuk melakukan pembinaan, peningkatan kualitas pembelajaran, dan peningkatan kualitas pendidikan
“Jadi bukan sebagai alat penentu, sehingga di sini ada salah paham. Sebagai alat penentu, kemudian menggunakan soal pilihan ganda dan sebagainya, di situ sudah disediakan jawabannya, siswa tinggal milih, milih dan memilih jawaban. Nah buat apa belajar? Toh sudah ada pilihannya di situ, spekulasi aja kalau begitu.”
Menurut Heru, tak akan ada penyelesaian masalah kalau pemerintah tetap bersikukuh menjadikan UN sebagai alat untuk pengukuran standardisasi pendidikan. Apalagi setidaknya pendidikan memiliki fungsi tiga hal seperti fungsi secara kuantitatif, fungsi secara institusional, dan fungsi kualitatif.
Paulo Freire, seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin, mengeluarkan istilah model pendidikan gaya bank, di mana sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah). Pada praktiknya, sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik dianggap hanya sebagai manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa, sehingga diberi asupan ilmu pengetahuan.
Mirisnya, otak murid dianggap sebagai safe deposit box, di mana pengetahuan dari guru ditransfer ke dalam otak murid dan murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru. Nantinya kalau sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan itu tinggal diambil saja. Dalam hal ini kita tentu familiar dengan konsep guru yang hanya tampil sebagai pemberi pada siswanya untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan.
Model pendidikan seperti ini tentu hanya menempatkan siswa sebagai objek, yang tidak punya kemerdekaan hingga akhirnya tertindas. Sehingga manusia yang dihasilkan sistem pendidikan itu pun hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman, bukan untuk bersikap kritis terhadap zaman.
Menurut Freire, dalam pendidikan gaya bank tersebut, pengetahuan hanya sekadar anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Padahal, kalau merujuk pada Taksonomi Bloom, yang dibuat untuk tujuan pendidikan, jelas bahwa tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yakni Cognitive Domain (Ranah Kognitif), Affective Domain (Ranah Afektif), dan Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor). Ketiga hal itu melebur jadi satu untuk memanusiakan manusia.
“Kalau guru, sistem pendidikan, dan sekolah bisa menerapkan itu, kita bisa menghasilkan pembelajar yang punya critical thinking dan creative thinking, bukan sekadar penghafal materi. Nah itu yang sebenarnya dikehendaki oleh Mas Menteri agar mereka nanti mampu untuk memecahkan masalah dalam menghadapi kehidupan,” kata Heru.