General

Golput adalah Ekspresi, Bukan Sikap Apatis Pada Politik!

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Pemilu Serentak 2019 sudah di depan mata. Pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang diadakan tanggal 17 April 2019 nanti itu sudah ditunggu oleh banyak orang. Buktinya, semenjak kampanye dibuka bulan September 2018 lalu, sudah banyak orang-orang yang mengkampanyekan diri mereka atau calon-calon yang mereka dukung. Demokrasi Indonesia nampak begitu merekah menyambut pemilu yang akan datang.

Kalau dibandingkan dengan Orde Baru, Reformasi menyajikan demokrasi yang lebih sehat. Terlepas dari kekurangan-kekurangannya, opini dan suara sudah tidak dibungkam secara masif. Memang masih ada kasus-kasus pembungkaman opini, namun terlihat perkembangan yang signifikan. Berdasarkan indeks The Economist Intelligence Unit tahun 2017, Indonesia sudah masuk ke level Flawed Democracy, yakni sudah demokratis namun dengan kekurangan-kekurangan di beberapa sisi.

Dalam demokrasi yang merekah seperti sekarang ini, tidak serta merta semua berjalan dengan ideal dan tanpa masalah. Nyatanya, masih ada permasalahan-permasalahan yang dihadapi meskipun demokrasi sudah berangsur sehat. Salah satunya adalah perdebatan tentang Golongan Putih (Golput). Perdebatan ini terjadi karena ada satu pihak yang merasa kalau menjadi Golput adalah sebuah pilihan. Sisi ini melihat Golput sebagai sebuah pernyataan tentang ketidakpuasan pada calon-calon yang tersedia. Sedangkan di pihak lainnya, mereka merasa bahwa Golput adalah tindakan mencederai demokrasi. Golput dianggap membiarkan negara jatuh ke tangan pemimpin yang salah. Pihak-pihak ini menggunakan istilah ‘memilih yang terbaik dari yang terburuk’ sebagai justikasi untuk orang-orang agar tetap memilih.

Indonesia Tidak Melarang Warganya untuk Golput

Ketika memperdebatkan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban seseorang untuk memilih, saya langsung mencari rujukan hukumnya. Dikutip dari hukumonline.com, Golput adalah bentuk lain dari abstain dan tindakan ini sah untuk dilakukan. Abstain merupakan pilihan yang tersedia dalam demokrasi. Indonesia tidak memiliki payung hukum untuk menjerat secara pidana orang-orang yang memilih untuk Golput.

Pada dasarnya, setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dalam pemilihan umum sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berrlaku. Dalam konteks Golput, Indonesia hanya melarang seseorang untuk tidak memaksa atau mempengaruhi orang lain terkait pilihan politiknya. Dalam Pasal 284 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dijelaskan siapapun yang memaksa orang lain untuk golput akan dijatuhi sanksi. Sementara, dalam pasal 515 UU Pemilu, dijelaskan bahwa siapapun yang mempengaruhi atau mengajak orang laain untuk tidak menggunakan hak pilihnya dapat dipidana. Karena memang pada dasarnya, tidak ada siapapun yang boleh memaksa orang lain dalam pilihan politiknya. Semua harus berangkat dari keinginan individu tersebut.

Lebih lanjut lagi, Pasal 28 UUD RI 1945 dan pasal 23 UU HAM pun telah menjamin hak untuk abstain/Golput. Pasal 28 UUD RI 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan Pasal 23 UU HAM pun telah menyatakan bahwa pertama, setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya; dan kedua, setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Dari dua pernyataan hukum ini, dapat diambil kesimpulan kalau Golput bukanlah sesuatu yang dilarang dan dapat dipahami sebagai bentuk pilihan politik.

Golput Tidak Sama dengan Apatis Politik

Dengan ketentuan hukum yang sudah saya jabarkan di atas, perdebatan mengenai keabsahan Golput sebenarnya telah terjawab. Meski begitu, masih banyak orang yang mencibir bahwa Golput adalah tindakan apatis terhadap politik. Saya pun keberatan dengan cibiran ini. Buat saya, Golput berbeda dengan sikap apatis pada politik. Meskipun bisa jadi, apatis pada politik dapat berbentuk Golput. Hah, bagaimana?

Jadi begini. Untuk saya, apatisme pada politik adalah tindakan yang salah. Dengan bertindak apatis, kita sudah berkontribusi memperburuk kondisi demokrasi Indonesia. Apatisme ini dapat disuarakan dalam beragam bentuk, bisa dengan tidak membaca berita terkini mengenai kondisi politik Indonesia, atau dengan cara-cara lain yang sifatnya enggak mau tahu. Lalu, apa bedanya dengan Golput?

Bedanya, Golput merupakan sebuah ekspresi dalam politik. Baik itu ekspresi dari orang yang simpatik, maupun yang apatis. Sama halnya dengan memilih. Bukan berarti dengan memilih, seseorang lantas menjadi tidak apatis pada politik. Yang lebih bahaya, justru ketika seseorang memilih tetapi dia sebenarnya apatis. Dia tidak tahu siapa yang dia pilih. Ia hanya memilih dengan alasan, “milih siapapun juga enggak akan berpengaruh untuk hidup gue!”

Sikap apatis ini lah yang seharusnya mulai diberantas di masyarakat Indonesia. Apapun yang akhirnya menjadi pilihan seseorang, baik Golput atau tidak, harus didasarkan pada sikap yang jelas. Bukan berangkat dari sikap apatisnya. Karena jika itu yang terjadi, merekahnya demokrasi Indonesia menjadi hal yang sia-sia.

Hafizh Mulia adalah mahasiswa tingkat akhir program sarjana di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Tertarik dengan isu-isu ekonomi, politik, dan transnasionalisme. Dapat dihubungi melalui Instagram dan Twitter dengan username @kolejlaif.

Share: Golput adalah Ekspresi, Bukan Sikap Apatis Pada Politik!