Isu Terkini

Giant Cleaver di Lintasan Kereta Api, Efektif Atau Enggak?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Alarm bersuara keras dibunyikan, lalu palang kayu bergaris merah putih diturunkan sebagai tanda kereta listrik atau commuter line segera lewat. Namun, tetap saja ada beberapa pengendara motor bahkan mobil nekat melintas di lintasan kereta antara Stasiun Pasar Minggu dan Stasiun Pasar Minggu Baru di Jakarta Selatan, Selasa, 16 Oktober 2018 malam. Tak ada yang bisa menghentikan mereka menyeberangi rel kereta, alih-alih ancaman nyawa.

Bahkan, tak sedikit para penerobos perlintasan sebidang rel kereta ini akhirnya meregang nyawa. Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, kecelakaan di perlintasan KA pada 2016 mencapai 20 kejadian. Lalu, dari 20 kejadian tersebut, total ada 9 orang yang tewas, 5 orang luka berat, dan 6 orang luka ringan.

Kemudian, pada 2017, terdapat 26 kejadian kecelakaan di perlintasan KA di wilayah Jadetabek. Dari kecelakaan tersebut, ada total 12 orang yang tewas, 5 orang luka berat, dan 9 orang luka ringan. Sementara pada periode Januari-April 2018, sudah ada 6 kejadian kecelakaan di perlintasan KA, di mana 5 orang tewas dan 1 orang luka berat.

Sudah jelas pula bahwa dalam Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan angkutan kereta, pasal 110 diatur bahwa:

(1) Pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dengan jalan yang selanjutnya disebut dengan perpotongan sebidang yang digunakan untuk lalu lintas umum atau lalu lintas khusus, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api.
(2) Pemakai jalan wajib mematuhi semua rambu-rambu jalan di perpotongan sebidang.
(3) Dalam hal terjadi pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang menyebabkan kecelakaan, maka hal ini bukan merupakan kecelakaan perkeretaapian.
(4) Pintu perlintasan pada perpotongan sebidang berfungsi untuk mengamankan perjalanan kereta api.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak sabar menunggu terutama saat kereta begitu lama datang, apalagi saat dikejar-kejar waktu, sehingga nekat melintasi rel kereta. Dalam situasi seperti itu memang menjadi sedikit rumit dan dilema bagi masyarakat yang menunggu di balik palang. Ada beberapa faktor kenapa akhirnya masyarakat nekat menerobos rel kereta tanpa mengindahkan peringatan.

Misalnya saja saat antrian mobil mulai terjadi, lalu mobil-mobil lain muncul dan memaksa menunggu di samping mobil lainnya berharap untuk menjadi yang pertama menyeberang rel ketika palang pintu naik. Belum lagi sepeda motor datang dan mengisi ruang kosong di antara mobil-mobil itu. Antrian kendaraan pun kian menumpuk dan mendorong hasrat para pengendara untuk keluar dari antrian dan menyeberang.

Selain itu, palang yang dibuat dari sekeping papan panjang, justru masih menyisakan celah besar bagi para pejalan kaki atau pemotor. Celah itu masih sangat lowong untuk dilewati, sehingga orang-orang akan dengan mudah untuk tetap menyelinap melewati palang. Alarm dan palang pun jadi tak berarti.

Berdasarkan pantauan Asumsi.co pada malam kemarin di perlintasan antara Stasiun Pasar Minggu dan Pasar Minggu Baru, orang-orang yang nekat melintasi rel meski sudah ada peringatan alarm dan palang, diperparah dengan petugas ‘serabutan’ yang membolehkan mereka lewat. Dengan santainya, satu orang petugas yang mengatur sirkulasi lalu lintas di perlintasan rel tersebut, melambaikan tangannya agar orang-orang segera melintas.

Memang petugas tersebut bermaksud baik untuk mengurai penumpukan kendaraan di balik palang, atau memudahkan orang-orang yang terburu-buru karena mengejar waktu agar segera menyeberang. Namun, dampak yang bisa ditimbulkan dari aksinya tersebut tentu sangat mengerikan. Siapa yang bisa menjamin jika tiba-tiba kereta lewat dan menabrak si penyeberang?

Lalu, pemandangan yang lebih berantakan terlihat di perlintasan sebidang kereta api di Stasiun Pondok Ranji, Bintaro. Pantauan Asumsi.co di sana, beberapa waktu lalu, selain jalan yang sempit, perlintasan keretanya sendiri justru bertemu langsung dengan jalan masuk ke dalam stasiun, sehingga para pejalan kaki, pemotor, dan yang mengendarai mobil akan bertemu langsung dalam satu titik di depan palang pintu dengan para pengendara lainnya dari jalan raya.

Lalu, kemacetan parah dan penumpukan kendaraan tak terhindarkan, bahkan penumpukan kendaraan sering terjadi sampai ke tengah-tengah rel. Situasi penumpukan kendaraan itulah mau tidak mau mendorong para pengendara nekat meneroboso dan melintasi rel kereta di saat alarm peringatan sudah berbunyi dan palang pintu sudah tertutup. Selebihnya, tinggal berharap pada dewi fortuna saja agar kereta tak melindas mereka yang menerobos.

Selama ini berbagai cara sudah dilakukan pemerintah dan pihak terkait untuk mencegah dan memberi peringatan kepada masyarakat akan bahayanya jika nekat melintasi rel kereta di saat alarm sudah berbunyi dan palang diturunkan. Coba saja kita lihat lagi cara-cara yang sudah dijalankan.

Misalnya saja pada 2016 lalu, Menteri Perhubungan saat itu Ignatius Jonan bekerja sama dengan Pemerintah Amerika Serikat (AS) khususnya Perusahaan Honeywell, membuat sistem peringatan dini. Sistem tersebut berupa alarm yang akan berbunyi apabila ada kendaraan atau orang yang menerobos palang pintu.

Sistem kerja dari alat peringatan dini di perlintasan kereta api tersebut adalah ketika palang pintu kereta api sudah menutup, maka sensor alarm yang terpasang di jalan dekat rel kereta yang berwana merah dan kuning akan berfungsi. Kemudian, jika tetap ada yang nekat melintas, maka alarm akan berbunyi dan layar peringatan dengan tulisan ‘Hati-Hati Anda di Zona Bahaya’ akan muncul.

Namun, sampai hari ini usaha tersebut tampaknya belum terlalu berhasil menekan angka kecelakaan di jalur perlintasan sebidang kereta api. Lalu sebenarnya cara apa yang benar-benar bisa membuat orang-orang sadar untuk tidak nekat melintasi rel kereta? Apakah dengan memasang ‘giant cleaver’?

Sebenarnya, apa pun cara agar tak ada lagi penerobos yang nekat melintasi jalur kereta sebidang, kesadaran masyarakat harus terus ditingkatkan. Banyak kecelakaan di perlintasan kereta masih sering terjadi lantaran minimnya kesadaran masyarakat yang sering abai akan keselamatan ketika menerobos palang perlintasan kereta.

Penerapan atau pemasangan giant cleaver ini bisa saja efektif bisa saja tidak, tergantung alasan masing-masing. Alasan pertama, giant cleaver tersebut bisa efektif bekerja mencegah para penerobos melintasi rel kereta jika dibuat sebesar mungkin sampai benar-benar menutupi seluruh celah jalan di atas rel kereta.

Jadi, jika ingin memakai giant cleaver, maka harus benar-benar tidak ada celah lagi, jangan tanggung-tanggung, tutup saja semua jalan penyeberangan rel kereta, tanpa ada celah sedikitpun, sehingga orang-orang sama sekali tidak bisa lewat. Karena seperti pada palang pintu yang sudah ada sekarang, celah untuk menyelinap bagi orang-orang masih terlalu besar.

Alasan kedua, giant cleaver tidak akan efektif jika masih ada celah-celah kecil untuk menyelinap masuk ke balik lintasan rel kereta.

Lagi-lagi, sengeri apapun peringatan, sesangar apapun alat untuk mencegah orang-orang untuk melintasi rel kereta di saat sudah ada peringatan, jika masih ada celah, dan masyarakatnya sama sekali tak punya kesadaran, tetap saja akan diterobos. Sama aja kayak korupsi ya kan, begitu ada celah sedikit, langsung sikat. Ya kira-kira seperti itulah tipikal beberapa orang yang hidup di Indonesia.

Share: Giant Cleaver di Lintasan Kereta Api, Efektif Atau Enggak?