Budaya Pop

Game of Thrones, Serial Sukses yang Hampir Batal

Faisal Fathur — Asumsi.co

featured image

Serial televisi HBO Game of Thrones telah resmi berakhir. Sejak penayangan perdananya pada 2011, serial fantasi bergaya Abad Pertengahan itu bertahan hingga delapan musim, dengan 76 episode, dan digadang-gadang sebagai salah satu serial televisi terbaik sepanjang masa. Para pengguna situs IMDb memberikan nilai rata-rata 9,5 untuknya.

Namun, penyelesaian serial ini mengundang banyak pertanyaan penonton: karakterisasi berantakan, perkembangan cerita yang mentah, dan lain-lain. Sebuah petisi daring bahkan menuntut agar musim terakhir Game of Thrones dibuat ulang dengan penulisan cerita yang lebih baik. Namun, begitulah serial kolosal itu hidup. Selalu penuh dengan keriuhan, fan theories, dan perdebatan yang tak tuntas.

Perayaan atas Game of Thrones adalah satu perjalanan panjang. Pada 2011, GoT lahir sebagai sebuah tayangan televisi reguler. Kemunculannya mesti dinantikan secara periodik mengikuti jam tayang televisi. Dalam satu hal, kita mesti mengakui bahwa GoT muncul sebagai kultur “rumahan”; ketika orang-orang mengisi waktu luangnya atau sengaja mengosongkan waktu sebab telanjur cinta dengan serial itu.

Menurut Fast Company, Game of Thrones kemudian seperti mendefinisikan ulang saluran HBO itu sendiri, bahkan kultur pertelevisian, sebab ia menaikkan standar. Para penonton menanti dari minggu ke minggu, tahun ke tahun di antara musimnya, membicarakannya di antara jeda, sembari di sisi lain masih menghindari upaya penyebaran spoiler.

Michael Lombardo sebagai Head of Programming di HBO mulanya mengaku tak yakin pada Game of Thrones. Setelah saluran tersebut sukses dengan True Blood (2008), ia merasa akan terlalu berisiko membuat Game of Thrones. Bentuk kolosal seperti itu belum pernah dibuatnya, belum lagi menghitung biaya yang begitu besar—setidaknya 6 juta USD untuk produksi setiap episodenya.

Richard Pleper, rekan Lombardo, menambahkan bahwa pada mulanya semua terasa seperti perjudian. Satu yang membuat ia yakin: GoT adalah cerita otentik, yang mengingatkannya kepada permainan fenomenal Dungeon and Dragon dan buku-buku J.R.R. Tolkien seperti The Hobbit (1937) dan The Lord of the Rings (1954).

Keyakinan itu membesar, kritikus film mulai bicara, lalu boom terjadi ketika Ned Stark dieksekusi pada musim pertama. Internet mendadak ramai dan hampir semua orang mengomentari serial televisi yang membunuh karakter pentingnya di musim pertama itu. Mereka menerima banyak pesan elektronik, “Apa yang telah kau lakukan?” begitu sebagian besar. Orang-orang membuat video reaksi kematian Ned dan menyebarkannya di media sosial, lalu popularitas menggelinding seperti bola salju.

Dengan keuntungn berlimpah, Game of Thrones seperti menghadirkan tuah untuk HBO. Mereka merasa serial tersebut adalah sebuah pencapaian baru dalam skena pertelevisian dunia. Mematikan tokoh-tokoh penting tak ayal menjadi “strategi” yang mereka lakukan; mereka menyebutnya sebagai budaya tak terkenal yang bisa memberikan efek kejut. Contoh lain yang disebutkannya adalah peristiwa pembunuhan keluarga Robb Stark dan Lyanna Stark saat Red Wedding di musim ketiga.

Mereka pun mensyukuri bahwa semua orang yang terlibat dalam pembuatan Game of Throne terbuka dengan banyak kemungkinan. “Kami mempermainkan pikiran penonton dengan sebuah semesta baru dan bagaimana ia bekerja,” kata Lombardo. Terlebih, hal itu membuat citra baru pada saluran HBO yang kini fasih menangani kisah fantasi. Tidak melulu bergaya ‘Manhattan cocktail parties’ seperti yang melekat pada serial HBO yang sudah-sudah, seperti The Sopranos (1999) dan Curb Your Enthusiam (2000).

Tentu, mereka mesti berterima kasih: cerita kolosal otentik Game of Thrones diadaptasi dari serial novel A Song of Ice and Fire karangan George Raymond Richard Martin—para penggemar menyebutnya GRRM. Dalam sebuah kutipan CNN, Martin mengaku sudah lama membayangkan cerita GoT  terealisasi. Sejak masa sekolah bahkan ia memiliki moto, “Honor, not honors!” yang kemudian menginisiasi dia menciptakan tokoh Eddard Stark dalam semesta Westeros.

Namun, Martin belum juga menamatkan serial bukunya tersebut. Ia sempat membantu menulis skrip untuk serial televisinya hingga musim keempat, lalu di musim berikutnya ia kembali fokus menggarap novel. Beberapa di antaranya ialah A Game of Thrones (1996), A Clash of Kings (1998), A Storm of Swords (2000), A Feast for Crows (2005), A Dance with Dragons (2011), The Winds of Winter (segera terbit), A Dream of Spring (segera terbit).

Dalam nukulian ini kita paham bahwa semesta Game of Thrones begitu luas dan dalam film agaknya sukar untuk menyajikan semua itu sedetail mungkin. Maka, dilansir dari laman blognya, Martin membocorkan bahwa akan ada serial spin off dari Game of Thrones berjudul The Long Night. Ia akan menjadi prekuel yang menceritakan masa ‘Age of Heroes’, yakni 8.000 tahun sebelum latar yang terjadi pada Game of Thrones.

Para penggemar dalam Fandom Wiki juga terpantau mulai aktif membahas isu-isu terbaru yang masih berkaitan dengan semesta Game of Thrones. Disinyalir selain The Long Night, masih ada tiga prekuel lain yang akan digarap juga oleh HBO. Tentu, setelah agaknya kecewa dengan musim penutup Game of Thrones yang serba-begitu-saja, para penggemar kini bisa sedikit kembali bercerita, membahas kemungkinan-kemungkinan lain, sembari mungkin juga menamatkan semesta itu dalam bentuk novelnya.

Share: Game of Thrones, Serial Sukses yang Hampir Batal