Budaya Pop

Film Pilihan Asumsi 2019: Dua Garis Biru

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Pada Juli lalu, Dua Garis Biru meluncur ke bioskop tanpa banyak wara-wiri. Film ini tak begitu gencar berpromosi, tetapi pemutaran perdananya menarik perhatian besar. Banyak penonton yang menangis terharu dan terkagum-kagum dengan kepiawaian Gina S. Noer menyutradarai untuk pertama kali. Ada pula yang protes keras dan menganggapnya membawa pengaruh buruk bagi remaja.

Namun, yang pasti, film tentang kehamilan remaja di luar nikah ini meninggalkan bekas. Dua Garis Biru jadi film kedua paling banyak ditonton pada 2019, dengan jumlah penonton lebih dari 2,5 juta kursi. Pujian, kritik, hingga seruan untuk memboikot film ini begitu ramai di media sosial, hingga seorang penonton bertanya langsung ke Gina S. Noer apakah ia sengaja membikin film dengan tema yang kontroversial demi menarik banyak penonton.

“Dulu, ketika saya menulis naskah Perempuan Berkalung Sorban (2009), saya disangka agen CIA,” kata Gina dalam sesi Q&A pemutaran Dua Garis Biru di JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival) November lalu. Perempuan Berkalung Sorban menuai banyak kontroversi. Tak sedikit orang yang menganggap film ini melecehkan agama Islam. Pengalaman itu traumatik dan Gina jelas tak hendak mengalaminya lagi. “Saya sebenarnya orang yang menghindari keributan,” lanjutnya.

Terlepas dari riuh-rendah komentar, Dua Garis Biru membawa kesegaran. Film ini membawa cerita orisinal di tengah maraknya film hasil adaptasi, sekuel, dan horor dengan formula yang begitu saja-saja. Film ini mengangkat topik yang sensitif, tetapi bukan untuk dipandang secara tragis atau mengeksploitasi rasa sedih. Dua Garis Biru justru hendak memanusiakan karakter-karakternya: seseorang bisa berbuat salah, juga bisa ikhlas dan memaafkan.

Secara bijak, film ini tidak meletakkan kesalahan kepada individu. Dara (Adhistry Zara) dan Bima (Angga Yunanda) memang telah berhubungan seks di luar nikah. Katakanlah, mereka melanggar segala norma sosial dan agama yang berlaku di Indonesia. Tetapi film ini paham bahwa yang mesti dikritik adalah sistem yang membuat keduanya berakhir pada situasi tersebut, yaitu penabuan edukasi seks, kurangnya penyuluhan tentang risiko kehamilan muda, hingga absennya perlindungan pemerintah.

Keluarga Tidak Baik-baik Saja

Gagasan Dua Garis Biru sendiri pertama kali muncul pada 2009. Gina menonton Juno (2009) dan sadar begitu berbedanya reaksi orang di luar sana menghadapi kehamilan di luar nikah dengan di Indonesia. Ketika Juno punya wewenang utuh untuk memutuskan apakah anaknya mesti diaborsi, dibesarkan oleh dirinya sendiri, atau diadopsi orang lain, anak remaja di Indonesia yang hamil di luar nikah mesti menghadapi terlebih dahulu kemarahan dan kekecewaan orang tua, ancaman dikeluarkan dari sekolah, hingga tak mendapatkan akses aborsi yang legal dan aman.

Hal ini pula yang menjadi kekuatan Dua Garis Biru. Pembicaraan kehamilan di luar nikah itu berkaitan erat dengan latar belakang karakter-karakternya, mulai dari gender, tingkat kereligiusan, hingga perbedaan kelas. Bima dan Dara berasal dari latar belakang ekonomi yang begitu berbeda. Dara hidup di permukiman yang yang asri dan nyaman, sementara lingkungan rumah Bima begitu padat dan nyaris tanpa privasi.

Ketika mengunjungi rumah Bima untuk pertama kali, Dara menyaksikan anak-anak berenang di sungai yang keruh. “Dara kaget dengan percikan air yang begitu kencang. Kemudian kita juga melihat Bima menyaksikan adik Dara terjun ke air yang lebih bersih, ke kolam renang,” kata Gina kepada Asumsi (4/12). Ia mengaku senang mengambil adegan mirroring atau yang saling berkaca dengan adegan lainnya.

Dua Garis Biru juga menggambarkan Dara dan Bima sebagai individu yang biasa-biasa saja dan berasal dari keluarga yang terlihat baik-baik saja, seolah hendak menunjukkan bahwa situasi Dara dan Bima bisa terjadi ke semua orang. Sedari awal menulis naskah, Gina telah yakin ia ingin mengangkat kisah tentang keluarga baik-baik. Padahal, naskah Dua Garis Biru telah Gina tulis, rombak, dan perbarui sejak 2009. Nama karakter utamanya berubah-ubah. Reaksi dan resolusi mereka juga berubah-ubah.

Mengapa latar belakang keluarga baik-baik jadi begitu penting bagi Gina? “Karena saya datang dari keluarga baik-baik,” kata Gina bercanda. Ia kemudian menjelaskan bahwa keluarga baik-baik pun tak selamanya bebas dari masalah. Justru, mereka seringkali menutupi persoalan demi terlihat baik-baik saja dari luar.

“Semuanya dimasukin ke kolong kasur dan berakhir menghasilkan masalah baru. Dan itu kayak jadi pola. Kalau ngomongin skala lebih besar, ya negara juga gitu. ‘Kita bikin salah, oke tutupin. Jangan bahas sejarah. Bohong semua. Mari move on dan membuat kesalahan yang sama berulang kali,’” kata Gina, setengah bercanda, setengah mengkritik iklim politik Indonesia.

Gina pun paham bahwa Dara dan Bima akan diperlakukan secara berbeda. Keduanya sama-sama menanggung dampak yang berat: Bima mesti belajar menafkahi keluarga di usia yang begitu muda. Dara terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan. Namun, tanggung jawab sebagai ibu telah dibebankan kepada Dara sejak awal: ia dikeluarkan dari sekolah karena pihak sekolah ogah menanggung malu. Ia juga seolah dipaksa untuk memilih antara menjadi ibu rumah tangga atau melanjutkan pendidikan.

Dalam masyarakat yang masih meletakkan tanggung jawab terbesar atas anak pada pundak para ibu, Dua Garis Biru mengambil resolusi yang begitu berani dan tak biasa. Dara memilih untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri dan menyerahkan anak kepada Bima. Ia percaya perannya sebagai ibu akan terlaksana jika dirinya menempuh cita-cita setinggi mungkin.

Sikap ini mendapat kecaman keras dari berbagai kalangan. “DM media sosial Zara penuh dengan komentar, ‘jahat banget sih lo.’ DM saya juga. Bahkan masih ada yang protes sampai beberapa hari yang lalu,” cerita Gina. Gina sengaja hendak meletakkan tanggung jawab bukan kepada Dara dan Bima semata, tetapi juga keluarga mereka.

It takes a village to raise a kid. Keluarga ini sadar mereka harus merawat anak ini bersama-sama. Termasuk Dara yang sadar bahwa untuk menjadi orang tua ia harus excel di kehidupannya, yang baginya berarti kuliah sebaik mungkin,” tutur Gina.

“Tapi mungkin di society di mana menjadi ibu adalah sebuah identitas, hal ini sulit untuk diterima. Dara dianggap tidak bertanggung jawab. Padahal anak ini berusia 17 tahun, melahirkan secara normal, rahimnya diangkat—yang berarti ia akan mendapatkan banyak masalah kesehatan ke depannya. Kok masih aja ia dianggap lepas dari konsekuensi?” lanjut Gina.

Beban yang begitu besar pada ibu ini pula yang membuat karakter ibu Dara dan Bima begitu dominan dalam film. Ibu Dara begitu marah ketika mengetahui Dara hamil. Ia sempat mengusir Dara dari rumah, tetapi kemudian jadi yang paling gigih memperjuangkan masa depan dan cita-cita Dara. Ibu Bima pun jadi yang paling utama membela hak asuh calon cucunya.

“Beban parenting itu lebih banyak di perempuan, baik ibu rumah tangga seperti ibunya Bima atau ibu yang bekerja seperti ibunya Dara. Dan yang pertama kali kena dampak dari berita kehamilan ini pun adalah ibu-ibu: harga diri mereka, malunya, harapannya,” tutur Gina.

Gina S. Noer, Sutradara Andal

Sebagai perempuan karier dan ibu dua anak, Gina S. Noer paham betul seorang perempuan akan selalu dituntut berperan ganda. Ia menceritakan pengalaman pribadinya. “Sepanjang syuting, tetap saja ada WhatsApp dari grup sekolah anak hingga kabar tentang urusan domestik. Sebenarnya suami saya tidak masalah menanggungnya, tapi society masih menganggap ada urusan-urusan tertentu yang mestinya jadi tanggung jawab ibu,” cerita Gina.

Pada saat itu, ia bertanya-tanya, “apa sutradara laki-laki menghadapi ini?” Padahal, ia mengaku termasuk sebagai perempuan dengan banyak privilese. Dukungan penuh ia dapatkan dari orang tua, suami, dan anak-anaknya. “Terkadang saya masih merasa gagal saja sebagai anak, ibu, istri. Saya jadi nggak kebayang dengan perempuan yang nggak punya support system ini. Saya nggak tahu bagaimana mereka survive,” kata Gina.

Telah 10 tahun Gina menuliskan naskah Dua Garis Biru. Selama itu, ia tidak terpikir untuk menyutradarai film ini. “Pak Chand Parwez (produser) meminta saya untuk jadi sutradaranya. Yang saya lakukan justru mencari banyak sutradara perempuan lain yang bisa menyutradarai ini,” kisah Gina. Ia mengaku lebih terbayang untuk melanjutkan karier di perfilman sebagai produser film.

“Nggak banyak orang percaya saya bisa nge-direct. Bahkan saya nggak percaya,” kata Gina. Rasa tidak percaya itu nyatanya tidak tecermin dalam Dua Garis Biru. Gina berkali-kali mengatakan pentingnya prinsip “show, don’t telldan memastikan segala sesuatu yang ada di layar digerakkan oleh motif. Hal ini terbukti dalam setiap pergerakan kamera, perkembangan karakter, hingga detail-detail kecil yang hanya muncul beberapa detik di film.

Gestur Dara menutupi perutnya ketika dikelilingi banyak orang dan ibu Bima yang menggoreskan kapur di sekeliling makanan, misalnya, menceritakan banyak hal tentang karakter keduanya. “Ibu Bima percaya dunia ini adalah jalan menuju surga. Maka yang ia lakukan adalah ia mesti mengabdi dan melindungi keluarganya, salah satuya dengan menorehkan kapur ke sekeliling makanan. Itu adalah salah satu bentuk belief dia,” ujar Gina.

Dua Garis Biru memang film pertama yang disutradarai Gina S. Noer. Namun, pengalamannya sebagai pembuat film telah terasah sejak belasan tahun lalu ketika ia memulai karier sebagai penulis naskah. Dan lewat Dua Garis Biru, Gina membuktikan bahwa kepekaan, kecermatan, dan perhatian besarnya pada isu ini telah membuat ia menjadi sutradara andal, bahkan mungkin lebih andal ketimbang banyak sutradara yang lebih berpengalaman.

===

Redaksi Asumsi memilih film Dua Garis Biru sebagai Film Pilihan Asumsi 2019. Saksikan videonya di sini.

Share: Film Pilihan Asumsi 2019: Dua Garis Biru