Isu Terkini

Fenomena Fathya Rachmani, Si ‘Bibit Unggul’, Dari Kacamata Psikolog

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Akhir pekan lalu hingga hari ini (17/9), jagat Twitter dihebohkan oleh seseorang yang bernama Fathya Rachmani. Melalui akun Twitternya tiba-tiba ia menyindir seorang selebtwit, Pinot, yang dikenal sebagai ilustrator dengan karya-karya yang sudah banyak dikenal orang-orang. Sontak, warganet yang memang menjadi pengikut media sosial Pinot langsung bereaksi. Selebtwit-selebtwit lain juga ikut meramaikan perbincangan ini dan banyak dari mereka yang membela Pinot. Akibatnya, akun Twitter Fathya diserang oleh berbagai pihak, termasuk para selebtwit dan pengguna Twitter lainnya. Ketika diperingatkan oleh banyak warganet lain, alih-alih meminta maaf, Fathya justru melancarkan serangan-serangan balik berupa tweet balasan bernada nyinyir kepada orang-orang tersebut. Yang membuatnya semakin viral adalah pernyataannya yang menyebutkan bahwa ia adalah “bibit unggul” dengan berbagai prestasi, seperti penerima beasiswa untuk studi di Jepang dan mahir dalam ilustrasi gambar.

Mengambil contoh dari Fathya, apakah wajar bila seseorang yang penuh dengan prestasi mengeluarkan pernyataan seperti itu? Lalu, akankah rekam jejak digital yang ada mempengaruhi masa depannya? Asumsi.co berbicara dengan Dra. A Kasandra Putranto, seorang psikolog, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Membanggakan Diri Merupakan Hal yang Wajar, Namun Tidak untuk Melecehkan Seseorang

Membuka perbincangan, Kasandra menyatakan bahwa secara umum, karakter manusia memang khas. Ada beberapa aspek yang memengaruhi karakter seseorang, seperti kualitas intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Aspek-aspek ini memengaruhi tindakan seseorang dalam melakukan sesuatu.

“Karakter manusia memang khas, ditandai dengan kualtias intelektual, emosional, sosial, dan spiritual, termasuk di dalamnya nilai-nilai yang terinternalisasi dan menjadi pedoman diri dalam berpikir dan bertindak,” ujar Kasandra, kepada Asumsi.co hari Senin, 17 September 2018.

Secara spesifik, ketika menilai tingkah laku Fathya bahwa ia membanggakan dirinya sebagai langkah bertahan melawan serangan orang lain, Kasandra mengungkapkan hal ini merupakan hal yang wajar. Sikap membanggakan diri akan prestasi akademik yang diterimanya adalah tindakan alamiah. Namun yang menjadi permasalahan adalah ketika Fathya menggunakan hal tersebut sebagai cara untuk melecehkan dan merendahkan orang lain. Membanggakan diri tidaklah sama dengan merendahkan orang lain.

“Membanggakan diri tentu wajar, namun tentu berbeda dengan melecehkan atau merendahkan orang lain,” lanjut Kasandra.

Beberapa warganet sempat berspekulasi bahwa apa yang dilakukan Fathya karena semata-mata ia pernah menjadi korban perundungan. Sehingga, saat ini, Fathya yang sudah merasa bangga dengan dirinya ingin menceritakan kesuksesannya pada orang lain. Kasandra sendiri menyatakan bahwa ada kemungkinan-kemungkinan pernah terjadi perundungan ke Fathya di masa lalu. Namun, untuk memastikan hal ini, dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. Menurut ia, ada kemungkinan justru Fathya melakukan hal tersebut karena adanya faktor bawaan dan proses belajar yang diterima selama ini dari lingkungan sekitarnya.

“Apakah pernah mengalami bullying bisa jadi, tetapi harus ada pemeriksaan lanjutan untuk memastikan hal itu, lebih banyak karena faktor bawaan dan proses belajar,” ungkap Kasandra.

Respon Warganet Indonesia sebagai Konsekuensi Tindakan Fathya

Kemudian, Kasandra pun menyatakan bahwa respon warganet Indonesia merupakan konsekuensi dari apa yang dilakukan Fathya. Kasandra menilai memang warganet Indonesia kebanyakan memiliki sifat yang kejam, terutama soal perundungan virtual. Jadi, adanya tindakan seperti apa yang dilakukan Fathya menjadi mangsa yang empuk untuk warganet Indonesia.

“Masalahnya warganet Indonesia kebanyakan kerap mewakili karakter yang kejam dalam mem-bully, menjadi haters lebih mudah daripada menampilkan sikap welas asih,” ujar Kasandra.

Bahaya Rekam Jejak Digital untuk Karir Fathya

Selain masalah perundungan virtual yang diterima Fathya, Kasandra juga berbicara tentang rekam jejak digital Fathya. Saat ini, rekam jejeak digital merupakan hal yang amat kejam. Sekalipun dihapus, banyak orang telah memiliki rekaman terkait hal tersebut, membuat kesalahan tersebut menjadi sebuah ingatan virtual yang abadi.

Thread sudah dihapus tapi orang lain sempat merekam dan menyebarkannya, membuat kesalahan seseorang akan diingat sepanjang masa,”ucap Kasandra.

Menutup perbicangan, Kasandra menekankan bahwa rekam jejak ini lah yang menjadi bahaya bagi karir Fathya di masa depan. Bekerja di lingkup psikologi, Kasandra tau betul bahwa divisi HRD di tiap perusahaan kini mempelajari kualitas calon karyawannya melalui rekam jejak digitalnya. Dengan adanya rekam jejak digital tersebut, karir Fathya dapat terancam.

“Masalahnya rekam jejak itu juga mempengaruhi penilaian dunia kerja, banyak perusahaan mempelajari kualitas calon karyawan atau rekan kerja melalui rekam jejaknya,” tutup Kasandra.

Share: Fenomena Fathya Rachmani, Si ‘Bibit Unggul’, Dari Kacamata Psikolog