Isu Terkini

Berbagai Fakta Penting tentang Calon Vaksin COVID-19 dari Pfizer

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Senin (9/11) lalu, perusahaan farmasi Pfizer mengumumkan bahwa calon vaksin coronavirus yang sedang mereka kembangkan bersama firma BioNTech 90 persen efektif menanggulangi COVID-19. Kabar gembira ini menjadi pemecah kebuntuan di tengah penantian untuk vaksin yang mampu menghalau laju pandemi.

Dari sebelas calon vaksin di seluruh dunia yang sudah mencapai tahapan akhir, kini calon vaksin dari Pfizer nampak paling menjanjikan. Namun, bakal vaksin ini masih diselimuti banyak tanda tanya. Transparansi metode peracikannya dipertanyakan, terlebih lagi hasil optimistik 90 persen efektif diterbitkan melalui siaran pers resmi alih-alih melalui ulasan jurnal ilmiah yang terpercaya. Selain itu, calon vaksin tersebut menggunakan teknologi baru yang belum pernah diperbolehkan penggunaannya pada manusia.

Pengembangan calon vaksin tersebut dimulai Januari lalu oleh BioNTech, firma asal Jerman yang dikepalai oleh pakar kesehatan Ugur Sahin. Usai mengumpulkan tim khusus yang terdiri dari 40 orang untuk bekerja lembur meramu vaksin COVID-19, BioNTech menyeleksi 20 calon formula vaksin dan mengujicobakannya ke hewan pengerat. Dengan bantuan raksasa farmasi Pfizer, mereka melanjutkan pengembangan calon vaksin dan menyeleksi formula mana yang paling efektif.

Pilihan mereka jatuh pada teknologi yang belum pernah dipakai di manusia. Calon vaksin BioNTech dan Pfizer dikembangkan menggunakan materi genetika bernama messenger RNA, yang disuntikkan secara langsung ke sel otot. Bila vaksin pada umumnya menggunakan pecahan dari virus untuk melatih sistem imun tubuh menangkal virus, vaksin dengan messenger RNA melatih sistem imun untuk menyerang bentolan protein yang tumbuh di permukaan virus corona.

Secara teoretis, vaksin jenis ini lebih mudah dan lebih cepat diproduksi. Kekurangannya, vaksin seperti ini harus disimpan dalam suhu udara ultra dingin dan di dalam kontainer khusus. Bila tidak, integritas vaksin bakal buyar dan ia tak lagi efektif. Selain itu, vaksin jenis baru seperti ini belum pernah dipergunakan di manusia. Oleh karena itu, keamanannya harus diperhatikan secara seksama. Bila tidak, kita sama saja menyuntikkan penyakit baru.

Kabar gembiranya, sejauh ini vaksin tersebut efektif. BioNTech dan Pfizer terus menerus menuai hasil menggembirakan dari tiap tahapan pengujian calon vaksin tersebut. Akhir Juli 2020 lalu, mereka mengujicobakan calon vaksin tersebut pada 43 ribu lebih sukarelawan dari berbagai negara.

Separuh sukarelawan mendapat calon vaksin, separuh lagi mendapat vaksin bodong. Bila sukarelawan yang mendapat vaksin bodong ujung-ujungnya terkena COVID-19 meskipun mereka hidup dalam kondisi serupa, artinya vaksin tersebut terbukti efektif. Setelah sekian bulan ujicoba, 94 sukarelawan yang mendapat vaksin bodong terkena COVID-19. Hasil ini lantas diulas oleh pakar-pakar independen, yang berkesimpulan bahwa calon vaksin dari BioNTech dan Pfizer 90 persen efektif dalam mencegah COVID-19.

Angka ini sangat menggembirakan. Lembaga Food and Drug Administration AS memperbolehkan calon vaksin apapun yang lebih dari 50 persen efektif diperjualbelikan dalam keadaan darurat. Sebagai perbandingan, vaksin influenza yang tersedia sekarang “hanya” 40-60 persen efektif. Calon vaksin ini cuma keok dari vaksin cacar air, yang 97 persen efektif.

Hampir semua pakar medis di dunia merayakan keberhasilan vaksin ini, tetapi mereka tetap berhati-hati. Prof. Jesse Goodman, pakar pengobatan dan penyakit menular di Georgetown University, menghimbau agar data ujicoba tersebut “dibuka ke publik” dan Pfizer memantau hasil ujicoba vaksin jangka panjang. Dr. Gregory Poland, direktur Vaccine Research Group di Mayo Clinic, juga mempertanyakan efektivitas vaksin tersebut di kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan perempuan hamil.

Sebaliknya, Dr. Saad B. Omer, direktor Yale Institute for Global Health, memprediksi bahwa bila hasil akhir vaksin sungguh-sungguh 90 persen efektif, “vaksin tersebut bisa sangat berpengaruh dalam mengurangi pertumbuhan kasus.”

Kalaupun vaksin ini efektif, banyak tantangan lain yang menanti Pfizer dan pemerintah-pemerintah yang ingin membeli vaksin tersebut. Karena vaksin tersebut diramu dari messenger RNA, penyimpanannya harus di tempat khusus yang dapat menjaga suhu ultra dingin. Pfizer juga mengembangkan cooler khusus untuk membawa vaksin tersebut, tetapi produksi cooler itu jelas butuh waktu.

Persoalan lain adalah jumlah produksi vaksin. Bila tak ada aral merintang, Pfizer mengaku bisa memproduksi 30-40 juta dosis vaksin tersebut sebelum akhir tahun. Itu cukup untuk memvaksinasi 15-20 juta orang lengkap dengan imunisasi kedua sekitar tiga pekan kemudian.

Tahun depan, Pfizer memprediksi bahwa mereka mampu memproduksi sedikitnya 1.3 miliar dosis vaksin dalam setahun. Meski angka tersebut tak boleh dianggap remeh, artinya belum tentu semua orang akan langsung mendapatkan vaksin dari Pfizer. Kelompok rentan seperti pekerja medis dan lansia akan diprioritaskan.

Ujicoba akan berlanjut sampai 164 sukarelawan terkena COVID-19. Saat itu terjadi, studi bakal dianggap rampung dan hasilnya dianalisis. Apabila semua lancar dan hasilnya sungguh-sungguh menggembirakan, calon vaksin ini akan jadi langkah penting dalam upaya global untuk menumpas pandemi COVID-19.

Bagaimana dengan Indonesia? Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto baru-baru ini menyatakan bahwa calon vaksin Pfizer tidak masuk daftar vaksin COVID-19 yang akan diimpor oleh Indonesia.

Share: Berbagai Fakta Penting tentang Calon Vaksin COVID-19 dari Pfizer