Mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah optimistis partai baru yang didirikannya, Partai Gelombang Rakyat (Gelora), bisa berbicara banyak di panggung politik Indonesia. Meski masih seumur jagung, Fahri yakin Partai Gelora bakal tumbuh besar bermodal segudang pengalaman politiknya selama ini.
Partai Gelora dibentuk pada 28 Oktober 2019 dan didirikan oleh 99 orang. Namun, mayoritas penggagasnya adalah mantan elite PKS dari ‘faksi sejahtera’, termasuk Fahri Hamzah dan Anis Matta. Sebelumnya, Fahri dan Anis terpaksa angkat kaki karena tergusur oleh ‘faksi keadilan,’ kelompok Sohibul Iman yang kini menjabat Presiden PKS sejak 2015.
Rumor tentang dua faksi dalam PKS ini sebetulnya sudah lama muncul. Faksi keadilan identik dengan bagian PKS yang konservatif dan diisi oleh senior-senior di PKS, misalnya seperti Pendiri PKS (alm) Yusuf Supendi, Wakil Ketua Majelis Syuro Hidayat Nur Wahid (HNW), Ketua Majelis Syuro Salim Segaf Al-Jufri, dan Presiden PKS, Sohibul Iman.
Faksi keadilan juga dianggap sebagai kubu yang menjunjung semangat PKS seperti era Partai Keadilan dahulu. Nama yang kerap disebut publik untuk kelompok ini diwakili representasi Hidayat Nurwahid.
Sementara itu, faksi sejahtera adalah faksi yang identik dengan para pengurus muda seperti mantan Presiden PKS Anis Matta, Fahri Hamzah, dan Mahfud Shiddiq. Kubu ini kerap dianggap sebagai bagian PKS yang demokratis dan cenderung moderat. Faksi ini kabarnya juga dekat dengan Ketua Majelis Syuro (alm) Hilmi Aminuddin. Meski begitu, rumor dua faksi di tubuh PKS ini tak pernah diakui oleh pengurus dan dibiarkan menjadi pembicaraan umum.
Partai Gelora sendiri merupakan transformasi dari ormas Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi), yang juga didirikan oleh duo Fahri-Anis. Partai Gelora telah resmi mendapatkan Surat Keputusan (SK) tentang pengesahan Badan Hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, Selasa (02/06/20) lalu.
“Sebenarnya saya tidak ada niat untuk keluar dari PKS dan membuat perahu lain, karena kan saya juga pendiri partai. Jadi pada dasarnya kita ingin membuat partai seperti yang kita cita-citakan,” kata Fahri dalam Asumsi Bersuara, Kamis (2/7).
Kebetulan Fahri merupakan angkatan reformasi dan lahir dengan perasaan menjadi bagian dari reformasi itu sendiri. Ia mengaku membuat partai bersama rekan-rekannya itu sebagai amanah reformasi dan menegaskan bahwa reformasi itu adalah salah satu momen dari kebangkitan jiwa Indonesia.
“Jadi sebagai angkatan reformasi, saya mengalami politik lebih dari seperempat abad umur saya. Sehingga saya mengerti apakah yang kita perjuangkan dulu masih sama atau tidak,” kata politikus kelahiran 10 November 1971 itu.
Sejauh ini, Fahri mengaku bersama rekan-rekannya melihat kultur politik mulai bermasalah secara keseluruhan. Menurutnya, partai politik saat ini mulai jadi mesin kekuasaan, terjadi penumpukan kekuasaan kepada pemimpin partai politik. Bahkan, kreativitas politikus hilang karena garis komando jauh lebih dipentingkan daripada kreativitas berpikir
Di tengah jalan, kondisi buruk itu akhirnya memicu distorsi antara amanah rakyat dengan apa yang diperjuangkan partai politik. Misalnya dalam kasus DPR, wakil rakyat menjelma menjadi wakil partai politik. Sesuatu yang sebenarnya, lanjut Fahri, dalam perjuangan itu tidak boleh.
“Namanya pejabat publik itu ya dia itu adalah pejabat publik, DPR itu disebut wakil rakyat. Kenapa disebut demikian? Karena yang memilih ya rakyat, sedangkan partai politik hanya mencalonkan. Kalau partai politik itu tidak dipilih rakyat, ya nggak bakal jadi apa-apa, meskipun sudah mencalonkan.”
Sehingga, kalau di dalam pilkada kabupaten, kota, dan provinsi, Fahri dan partainya bakal menerapkan prinsip bahwa yang boleh mencalonkan bukan saja yang berasal dari partai politik, tapi juga masyarakat secara langsung. Menurutnya, kalau kita berani melakukan reformasi, maka rakyat juga boleh mengusung calonnya sendiri.
Hal itu, menurut Fahri, supaya orang-orang sadar bahwa partai politik itu hanya fasilitator bagi kemunculan pejabat publik, sehingga tak boleh mengambil alih kekuasaan secara absolut, tapi harus melalui orang-orang yang dipilih oleh rakyat.
“Di partai saya yang lama itu, ya itu makin lama makin hilang. Secara umum saya lihat di DPR, penyakit itu kuat sekali. Ketua umum menjadi sangat powerful, dan kemudian seluruh ide-ide politik di DPR itu diambil alih oleh sembilan orang ketua umum. Saya kira itu nggak sehat untuk masa depan.”
Fahri menyebut bahwa berdirinya Partai Gelora memang sudah diperhitungkan dengan matang dan tak sembarangan. Kebetulan semua tokoh-tokoh di Partai Gelora dan para pendirinya merupakan orang-orang yang gemar menulis dan berceramah. Sehingga partai sendiri sudah memiliki pondasi kuat.
“Kita sudah lama sekali punya topik diskusi tentang problem bangsa ini. Sehingga kita menemukan ternyata bahwa dalam setiap kurun waktu 20 tahun-an itu, paling tidak Indonesia memang selalu menghendaki adanya transformasi besar.”
Kalau kita lihat di abad-20, bangsa Indonesia mulai mengalami berbagai peristiwa besar dimulai dari peristiwa Boedi Oetomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, Kemerdekaan RI 1945, dan Konflik Ideologi 1948 yang mengarah pada civil war di kalangan rakyat Indonesia.
“Lalu, Orde Lama tumbang dan Orde Baru lahir tahun 1968 atau pada generasi saya. Nah, 1968 itu, 20 tahun kemudian pada 2018, kita melihat kaki kita ini kayaknya kurang ajek sebagai sebuah bangsa. Ada konflik ideologi yang sampai hari ini masih kita cium baunya itu.”
Misalnya, muncul RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang dianggap ingin membongkar falsafah dan filosofi, pondasi dasarnya Indonesia yakni Pancasila sebagaimana yang disepakati 18 Agustus 1945. Menurut Fahri, memang setiap 20 tahun, Indonesia selalu memiliki semacam kegelisahan.
Kegelisahan inilah yang coba didiskusikan Fahri dan koleganya di partai. Pertama, kegelisahan karena ada kegagalan menginterpretasi secara baik ide-ide dasar kebangsaan atau yang sering disebut pilar-pilar atau filosofi, sehingga ada yang menolak menyebutnya ideologi.
“Tapi intinya kegagalan menginterpretasi secara mantap ide-ide dasar inilah yang menyebabkan semua bangsa kita gelisah. Kalau kita lihat peristiwa dari 2017, sampai hari ini tuh goncang terus. Soal-soal dasar yang sudah selesai kok masih dipersoalkan,” ujarnya.
Kedua, kegelisahan terkait masalah dalam lemahnya kapasitas negara. Fahri sadar betul bahwa Indonesia hari ini sedang mendapatkan tantangan besar, apalagi dengan adanya pandemi COVID-19. Belum lagi baru-baru ini Presiden RI Joko Widodo tampak kesal dan marah dalam sebuah rapat dengan menteri di kabinetnya.
“Kalimat-kalimat Pak Jokowi sangat keras sekali, itu tentang kapasitas negara yang melemah. Ini juga menggelisahkan kita semua, termasuk anak-anak milenial. Kok, negara ini terlihat lambat, tidak kreatif. Malah mau mengkriminalisasi kebebasan pendapat, kreatifitas di sosial media mau dibully dengan dipanggil, dibikin patroli, dan lain-lain.”
Ketiga dan yang terakhir, soal kegelisahan terkait kapasitas kepemimpinan. Menurut Fahri, kapasitas kepemimpinan itu memang tampak melemah. Apalagi kaliber kita sebagai pemimpin itu benar-benar melemah. Kondisi itulah yang mendorong Fahri dan koleganya membuat partai politik.
Sebab, menurutnya, satu-satunya cara mengganti kepemimpinan pada semua lini adalah dengan mendirikan partai politik dan ikut di dalam proses pemilu. Ia pun menegaskan bahwa kita tidak boleh mengganti pemimpin dengan mengizinkan kudeta, atau revolusi sosial yang menyebabkan munculnya daya yang besar seperti kerusuhan dan sebagainya.
“Kita harus melampaui atau melangkah untuk melakukan pergantian kepemimpinan secara damai menurut prosedur yang sudah diatur oleh UU yaitu melalui pemilu. Itulah yang kami coba lakukan melalui pendirian Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) ini.”
Fahri sama sekali tak khawatir dengan label Partai Gelora sebagai partai baru di konstelasi perpolitikan nasional. Sebab, ia bersama koleganya yakin dengan sepak terjangnya di kancah politik nasional yang melintasi era selama bertahun-tahun, bisa jadi modal penting untuk mengambil peran besar.
Menurutnya, partai lama yang sempat menjadi rumahnya dan partai-partai lainnya yang ada saat ini berisi pemain-pemain yang relatif tidak mengerti lapangan, serba tanggung, dan memang seperti tidak niat. Sehingga ia yakinkan bahwa kondisi seperti itu sangat tak bergairah.
“Jadi kalau kami ini orang yang tua, matang dalam politik, kira-kira begitu. Saya adalah pendiri partai politik tahun 1998, artinya 22 tahun yang lalu saya mendirikan partai politik. Pak Anis Matta juga demikian, beliau adalah sekjen lima periode, dan ketua umum satu periode, meskipun setengah.”
“Dalam fase-fase itu, kami mengontrol bagaimana partai politik itu dimenangkan, berpengalaman untuk mengangkat partai politik itu dari nol. Sampai pernah menjadikan partai politik terbesar nomor empat di Indonesia, menjadi partai menengah paling besar.”
Tim yang sukses di masa lampau tersebut, menurut Fahri, semuanya ada di pihaknya sekarang ini. Sehingga, perkara bagaimana cara membuat partai politik meraih suara sekian persen, hal itu sudah tertanam dalam cara berpikir ia dan koleganya. Apalagi sekarang sudah ada survei, yang menurutnya bisa memitigasi pemilihan rakyat, keinginan rakyat, dan juga elektabilitas.
“Jadi sebenarnya fitur-fitur demokrasi itu memungkinkan kita untuk tahu, kita ini akan hadir, mengalir dan terus ada, atau mati. Sebenarnya itu rasional pikirannya dan kita nggak boleh kehilangan akal. Inilah salah satu kelebihan dari teman-teman yang merupakan pendiri partai dan juga sekarang ini bergabung banyak sekali tokoh-tokoh dan sebagainya.”
Di pasar politik, Fahri menyebut bahwa orang-orang yang berada di dalam jaringan itu memang sudah mengerti cara kerja politik. Menurutnya, demokrasi adalah pertarungan yang sudah tua umurnya dan Fahri mengakui bahwa ia dan koleganya sudah menguasai dan tahu betul alur dari fitur-fitur demokrasi dan control panel dalam sebuah pemilu.
“Kira-kira begitulah cara kita menawarkan sesuatu kepada masyarakat, dan saya kira kita akan lakukan itu. Tapi, lagi-lagi yang paling penting adalah pikiran tidak boleh hilang, pikiran tidak boleh tidak relevan.”
Menurut pandangan Fahri, partai-partai yang ada saat ini tampak memiliki pikiran yang sudah tidak relevan. Misalnya memiliki figur yang tidak pernah menulis buku, tidak pernah ceramah, dan tidak tahu apa isi pikirannya. Termasuk juga banyak partai-partai politik yang eksis hari ini bukan karena pikiran, tapi karena uangnya banyak, medianya banyak atau karena dia tokoh tertentu dari keturunan tokoh tertentu, dan seterusnya.
“Tapi pikiran, itu adalah alasan dari lahir, hadir, bertumbuh, dan membesarnya partai politik. Dan di situ kita optimistis. Jadi kita tidak akan hadir karena uang, kami tidak punya uang, kami juga tidak punya darah biru. Biasa saja, kami darahnya merah semua, tapi kita punya pikiran, kita tahu bagaimana cara memperbaiki bangsa ini.”
“Kita tahu bagaimana cara membawa bangsa ini maju ke depan, lebih gagah, dan lebih hebat sejajar dengan bangsa-bangsa besar yang ada di dunia. Itu saja yang ingin terus kami lakukan untuk bangsa ini.”
Perihal wacana dan usulan adanya parliamentary dan presidential threshold untuk Pemilu 2024 mendatang, Fahri pun sama sekali tak khawatir meski Partai Gelora baru berdiri Menurutnya, saat ini ia dan koleganya hanya akan membawa modal politik yang sudah ada untuk memperjuangkan rakyat.
“Saya tidak peduli dengan perdebatan-perdebatan terkait parliamentary threshold atau berapa persen-berapa persen untuk lolos itu, tidak peduli saya. Yang kita peduli adalah apakah kita akan mendesain kecurangan atau kita akan mendesain pemilu yang fair. Menurut saya kita lebih bagus berbicara tentang mendesain pemilu yang fair daripada persentase.”
Fahri menyebut kalau bicara persentase, semua orang punya peluang menjadi besar dan kecil, semua orang punya peluang timbul dan tenggelam. Tinggal tergantung apakah desain dari sebuah sistem itu adil atau tidak.
“Dan kami tahu kira-kira desain lapangan ini dalam rangka curang atau dalam rangka fair, kami tahu karena kami sudah terlalu tua juga dalam politik ini untuk tidak tahu bahwa ini akan curang. Makanya salah satu contoh yang saya katakan, kalau digitalisasi data penduduk tidak diselesaikan, ini berarti mau curang dengan data penduduk. Gitu aja, sederhana kok.”
Menurut Fahri, kalau saja ada pihak-pihak yang tidak mau menerapkan single identity number dalam sebuah pemilu, maka sudah dipastikan akan ada penyelundupan pemilih-pemilih gelap dalam daftar pemilu. Ia menganggap hal seperti itu sudah biasa terjadi dan pihaknya memahami itu.
“Dalam desain pemilu yang adil itu, kita juga mendesainnya supaya pejabat publik yang terpilih itu menjadi pejabat publik yang antikorupsi. Kita bisa desain itu A-Z nya. Saya kira konsennya mendesain pemilu yang adil, tidak tentang persentase, kalau itu mah soal gampang lah. Kita tarung ya tarung aja, tapi tolong fair dong. Semuanya harus suarakan ini.”