Isu Terkini

Etik Juwita: Banyak Pekerja Migran Sebetulnya Berbakat Seni, tetapi Mereka Terjebak Kemiskinan

MM Ridho — Asumsi.co

featured image

Ilustrasi: Ikbal/Asumsi.co

Etik Juwita, perempuan kelahiran Blitar, 14 April 1982, sudah menghabiskan dua dekade terakhir untuk bekerja jauh dari rumah. Untuk negara, dia tak hanya telah menyumbangkan devisa, sebagaimana klise yang kerap kita dengar tentang para buruh migran Indonesia, tetapi juga karya-karya sastra yang memotret kompleksitas kehidupan buruh migran.

Simak saja cerpennya, “Merajut Takdir”, yang membuatnya menjadi Juara Favorit pada Taiwan Literature Awards for Migrants 2020 bersama tiga perempuan Indonesia lainnya. Lewat cerpen itu, kita bisa memahami bahwa kepahitan hidup seorang buruh migran bahkan sudah dimulai sebelum mereka menyeberangi lautan menuju negara orang.

Sebelumnya, melalui cerpen “Bukan Yem”, Etik menceritakan bagaimana kerasnya kehidupan buruh migran dapat mendorong kewarasan ke jurang. Derita bahkan menguntit sekalipun sang buruh telah kembali ke tanah air. Cerpen ini terpilih sebagai satu dari 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 versi Anugerah Sastra Pena Kencana.

Saya berbincang dengan Etik melalui fitur perpesanan Facebook. Dalam kesempatan yang singkat itu, saya menanyakan beberapa hal terkait kehidupannya sebagai buruh migran, terutama di tengah krisis pandemi COVID-19 yang melanda berbagai belahan bumi. Berikut obrolan kami:

Sejak kapan Anda menjadi pekerja migran?

Sekitar tahun 2000, setelah lulus SMA. Bekerja di Singapura. Itu masa yang sulit bagi orangtua saya. Waktu itu, orangtua saya punya usaha bebek petelur, tetapi bangkrut karena harga pakan yang mahal sementara harga jual telur rendah. Mungkin imbas krismon 1998, yang waktu itu saya belum terlalu mengerti.

Yang saya pahami, saya harus membantu orangtua dengan bekerja, bekerja dengan hasil yang besar karena saya memiliki tiga orang adik yang masih bersekolah. Di benak saya saat itu, jalan satu-satunya, ya, menjadi pekerja migran.

Ketika mendaftar, apakah ada kesulitan?

Saat mendaftar sebagai pekerja migran saya baru berusia 18 tahun. Sebetulnya tidak memenuhi syarat, karena untuk bekerja di Singapura harus berumur di atas 21 tahun.

Di tahun 2000-an bukan perkara yang rumit bagi para calo untuk memalsukan data pribadi. Waktu itu saya belum mengerti benar resikonya, saya juga belum tahu bahwa praktik demikian termasuk cara-cara perdagangan manusia. Semua dikerjakan oleh calo, saya bersyukur waktu itu saya tidak mendapatkan kendala apa-apa.

Menjadi pekerja migran itu harus melalui banyak tahap pembelajaran yang disyaratkan oleh pemerintah, antara lain belajar bahasa, adat, dan budaya negara penempatan, yang di Indonesia diselenggarakan oleh perusahaan pengerah pekerja migran Indonesia. Kita anggap saja bahwa pekerja migran dituntut untuk memenuhi kualifikasi yang disyaratkan pemerintah untuk bisa bekerja ke luar negeri.

Apa suka dan duka menjadi pekerja migran?

Sukanya, bekerja di luar negeri itu memungkinkan kita mengetahui hal-hal yang tidak kita ketahui ketika masih di Indonesia. Contohnya, ketika kita ingin bisa lancar berkomunikasi dalam bahasa asing (bahasa Inggris, misalnya) kesempatan kita untuk berlatih terbuka lebar, kita menjadi lebih lincah berbicara dan tidak gagu. Pengalaman ini tentu tidak saya dapatkan kalau saya tetap tinggal di desa.

Dukanya, bekerja jauh dengan keluarga itu berat. Bekerja serumah dengan majikan selama kurun waktu lama itu juga berat. Orang biasa berlaku sempurna di luar rumah, tetapi di dalam rumah mereka sendiri, jamaknya, karakter asli seseorang tidak ditutup-tutupi. Perlu energi yang besar untuk menghadapi ini, terutama bagi para pekerja rumah tangga.

Kalau di sini, namamu dikenal sebagai penulis yang prolifik dan mampu menjelaskan kompleksitas kehidupan pekerja migran. Tapi, sebenarnya, apa sih yang kamu kerjakan sehari-hari?

Saya pekerja rumah tangga. Pekerjaan saya ya sama persis dengan teman-teman pekerja migran yang lain. Hanya, saya kebetulan selalu mendapatkan majikan yang terhitung manusiawi. Baik di Singapura, Hong Kong, maupun Taiwan, majikan-majikan saya lumayan memahami kebutuhan akan ruang privasi saya, hak libur, dan sebagainya. Semua memahami bahwa saya suka membaca dan membantu saya bagaimana mendapatkan buku bacaan, misalnya. Tentu saya juga sangat berusaha melakukan tugas dengan sebaik-baiknya.

Masalah seperti apa yang paling sering dihadapi pekerja migran Indonesia?

Karena pengiriman pekerja migran di Tanah Air itu diselenggarakan oleh perusahaan swasta yang tentu saja orientasinya keuntungan, banyak sekali pekerja migran dikirim ke luar negeri meskipun pembekalan pengetahuan bahasa, adat, dan budaya negara penempatan masih sangat kurang.

Pekerja migran diajari bagaimana menjadi penurut dan berhak atas gaji. Namun, bahwa pekerja migran juga memiliki hak libur, hak untuk bebas menjalankan ibadah, hak mendapatkan akomodasi layak, misalnya, itu tidak diberitahukan.

Ke mana pekerja bisa mengadukan pelanggaran hak oleh majikan, juga tidak diberitahu. Padahal, pekerja migran yang baru datang tidak bisa berkomunikasi dengan lancar di negara penempatan. Pekerja baru menyadari hak-haknya ini ketika berinteraksi dengan sesama.

Kamu pernah terlibat dalam penggarapan surat kabar Jangkar dan kerap mewartakan persoalan buruh migran. Kenapa kamu rela meluangkan waktu di sela pekerjaanmu untuk mengerjakan hal ini?

Jangkar adalah buletin organisasi Sekar Bumi di mana saya juga sebagai anggota. Sekar Bumi adalah organisasi bentukan teman-teman migran di Hong Kong waktu saya masih bekerja di Hong Kong. Organisasi ini mewadahi teman-teman yang menyukai seni (tari dan kepenulisan).

Saya juga menyadari bahwa bekerja sambil merawat hobi membaca dan menulis itu sangat melelahkan. Saat libur dari pekerjaan, saya menyukai suasana yang tidak ramai. Memang begitu. Namun, ternyata, berkumpul dengan teman-teman untuk bergembira bersama-sama setelah beban kerja yang panjang juga sangat menyenangkan. Saya senang mengerjakan Jangkar bersama teman-teman.

Saya kira banyak teman-teman pekerja migran itu sebetulnya adalah seniman, penulis, penari, motivator, public speaker, penyanyi, pelukis dan lain-lain yang terjebak dalam kemiskinan sehingga hanya menemukan menjadi pekerja migran adalah cara yang paling tepat untuk menolong keluarganya agar mentas dari jebakan.

Pernah ada pengalaman mengadvokasi rekan BMI? Kalau ada, bagaimana kisahnya?

Saya belum pernah mengadvokasi rekan BMI secara langsung. Saya selalu menyarankan teman-teman yang menghadapi masalah agar menghubungi organisasi-organisasi pekerja migran yang terbiasa menghadapi dan mencari solusi atas permasalahan-permasalahan itu. Pekerja migran harus punya keberanian berlipat-lipat.

Melalui tulisan, saya berusaha menjelaskan persoalan pekerja migran dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima. Melalui cerita komedi pun tidak apa-apa, saya kira.

Apakah menurutmu masalah-masalah yang terjadi di Tanah Air (misalnya, penerapan UU Cipta Kerja belakangan) mempengaruhi kehidupan buruh migran?

Sekarang saya belum melihat dampak itu, ya, karena menurut saya belakangan ini persoalan buruh migran masih didominasi oleh dampak COVID-19.

Dalam masa krisis akibat pandemi COVID-19, apakah terjadi perubahan yang signifikan dalam kehidupan buruh migran? Di Taiwan, misalnya, ada pembatasan jumlah buruh migran. Kalau iya, apa saja yang jadi perhatianmu?

Sejak awal merebaknya COVID-19 (ketika masih disebut sebagai virus Wuhan) dan belum mencapai Indonesia, pekerja migran sudah lebih dulu direpotkan. Hong Kong dan Taiwan pernah punya pengalaman buruk dengan SARS sebelumnya. Kemunculan virus Wuhan membuat masyarakatnya menjadi lebih sensitif.

Pekerja rumah tangga menjadi orang yang lalu harus menjalankan pekerjaan-pekerjaan double cleaning, penggunaan bahan-bahan kimia pembersih bakteri menjadi berlipat, standar kebersihan yang dituntut oleh majikan menjadi lebih tinggi.

Ketika beberapa orang pekerja migran terinfeksi COVID-19, stigmatisasi buruk pada pekerja migran seperti melekat begitu saja. Semua orang panik dengan virus ini, dan pekerja migran, apalagi sektor rumah tangga, adalah kelompok strata terendah dan lemah. Ke sanalah arah termudah menunjukkan telunjuk.

Di Taiwan, ketika muncul kasus pertama penularan COVID-19 dari majikan kepada seorang pekerja migran Indonesia, langsung disambut dengan rumor untuk memberikan pelatihan kebersihan dasar pada semua pekerja migran Indonesia. Bukankah ini aneh? Yang menulari siapa, yang kena imbas siapa.

Adakah langkah atau kebijakan dari pemerintah yang kamu harapkan untuk menjamin kehidupan pekerja migran? Terutama pada kondisi krisis seperti pandemi COVID-19 ini

Pekerja migran di masa wabah COVID-19 ini terus bertahan di negara penempatan, terus bekerja, terus memulangkan devisa.  Sebagian besar tidak bisa pulang menengok keluarganya karena kondisi memang sedang tidak memungkinkan. Saya berharap, pemerintah punya upaya untuk memperhatikan nasib anak dan keluarga para pekerja migran di tanah air.

Karena pengiriman pekerja migran sedang terhambat, pemerintah juga harus cepat-cepat menemukan solusi untuk para calon pekerja migran yang nasibnya terkatung-katung sejak awal merebaknya pandemi. Para calon pekerja migran ini adalah tulang punggung keluarga.

Share: Etik Juwita: Banyak Pekerja Migran Sebetulnya Berbakat Seni, tetapi Mereka Terjebak Kemiskinan