General

Dukung Stabilisasi Rupiah dengan Genjot Ekspor Sawit, Video PSI Diserang

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Video garapan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang ingin mengkampanyekan gerakan selamatkan Rupiah berujung kritikan tajam. Pasalnya dalam video berdurasi 49 detik itu, PSI menyatakan dukungannya terhadap peringanan biaya industri sawit agar mampu mengekspor dan menyumbang devisa besar untuk Indonesia.

(function(d, s, id) { var js, fjs = d.getElementsByTagName(s)[0]; if (d.getElementById(id)) return; js = d.createElement(s); js.id = id; js.src = ‘https://connect.facebook.net/en_US/sdk.js#xfbml=1&version=v3.1’; fjs.parentNode.insertBefore(js, fjs); }(document, ‘script’, ‘facebook-jssdk’));

Dolar Naik Bikin Gadget Mahal? Ada Solusinya.

Dolar naik bikin harga gadget mahal. Tapi sawit bisa jadi solusinya. Gimana caranya? #SamaSamaBangunBangsa #SamaSama #PSInomor11Posted by Partai Solidaritas Indonesia on Thursday, September 13, 2018

Pemerhati lingkungan yang kerap kali membuat film dokumenter tentang persoalan alam, Dandhy Dwi Laksono pun menanggapi video tersebut. Lewat akun Twitter-nya, ia menyindir PSI, dan memberikan rekomendasi film garapannya berjudul The Mahuzes dan Asimetris (Indonesia’s Palm Oil Curse) untuk ditonton dan diskusikan.

Film “The Mahuzes” (85:00), “Asimetris” (68:20) atau versi internasional “Indonesia’s Palm Oil Curse” (24:36) bisa menjadi referensi visual tentang kondisi lapangan bagaimana industri perkebunan bekerja.https://t.co/wlYMx3aE3ohttps://t.co/uC6C4XeZvXhttps://t.co/MpmUg2ieFG pic.twitter.com/rs3r20ayBU— Dandhy Laksono (@Dandhy_Laksono) September 14, 2018

Mulai dari situ, berbagai komentar sinis untuk sikap PSI pun berdatangan, dan akhirnya melalui kolom komentar PSI juga ikut memberikan klarifikasi. Mereka mengatakan bahwa pihaknya hanya bermaksud untuk membuat video tentang cara menstabilkan Rupiah, salah satunya dengan cara menggenjot ekspor sawit di Indonesia.

Namun komentar yang berjudul Kami Pro “Sawit Putih” dan Anti “Sawit Hitam” dan ditulis oleh Juru Bicara PSI Bidang Ekonomi, Industri, dan Bisnis Rizal Calvary Marimbo itu menuai pro dan kontra. Sebab dalam video cara menggenjot ekspor yang diunggah oleh partai anak muda itu hanya berfokus pada sawit saja. Belum lagi penggunaan istilah ‘sawit hitam’ dan ‘sawit putih’ yang masih rancu untuk ditafsirkan.

Kerusakaan dan Konflik Agraria yang Disebabkan Karena Sawit

Peneliti lingkungan dari Universitas Riau, Ariful Amri Msc, pernah meneliti kerusakan tanah karena perkebunan kelapa sawit. Penelitian itu menyimpulkan bahwa, dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter unsur hara dan air dalam tanah. Maka tak heran, perkebunan kelapa sawit sering menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Sebab itu semua akibat dari sifat pohon sawit yang menyerap banyak unsur hara dan air dalam tanah.

Belum lagi perebutan lahan yang menjadi sumber konflik agraria. Hingga masalah lain datang dari perkebunan kelapa sawit, seperti legalitas lahan. Banyak industri perkebunan sawit, baik kebun masyarakat maupun perusahaan, yang menggunakan lahan dengan status hutan lindung. Sehingga tak jarang ditemui hutan yang bernilai konservasi tinggi, penyedia jasa ekosistem, dan penyerap karbon malah dihancurkan untuk membangun kebun-kebun monokultur.

Seperti yang dirangkunm dalam salah satu publikasi ilmiah berjudul ‘Carbon costs and benefits of Indonesian rainforest conversion to plantations mengungkapkan bahwa perubahan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan, menjadi penyebab hilangnya karbo di bawah tanah. Itulah mengapa industri kelapa sawti mampu mengubah perubahan iklim karena telah mengorbankan hutan primer. Wilayah yang seharusnya menjagi lahan gambut yang kaya akan karbon justru jadi kehilangan karbon.

Seperti kebakaran lahan gambut yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Titik panas yang tersebar di Kecamatan Mantangai, Dadahup, dan Kapuas Murung, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah jelas berada di area industri kelapa sawit

Sisi Positif Sawit yang Perlu Ditegakkan Peraturannya

Dari sekian rentetan masalah yang ditimbulkan industri kelapa sawit, tak bisa dipungkiri bahan utama untuk membuat minyak itu memang menyumbang energi dan devisa yang besar bagi Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia pada 2017 mengalami surplus 11,84 miliar dolar AS. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) itu mengartikan bahwa penyumbang devisa terbesar berasal dari ekspor minyak sawit dan produk turunannya.

Belum lagi, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto sempat mengatakan bahwa pihaknya mendorong pertumbuhan industri olahan sawit, karena mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri sebanyak 5,7 juta orang.

Melihat sisi negatif dan positif dari kelapa sawit, tentu perlu adanya alternatif yang bijaksana. Seperti yang dirangkum Andika Putraditama, peneliti di World Resources Institute Indonesia, alternatif dari permasalah itu ialah, perlunya reformasi industri dan perbaiki tata kelola lahan nasional agar sawit bisa tetap berjalan tanpa menimbulkan konflik agraria.

Pemerintah sendiri sebenarnya sudah memiliki aturan untuk membenahi industri kelapa sawit. Seperti kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang dipilih untuk meningkatkan daya saing di pasar dunia, tapi tetap harus berpartisipasi untuk menyelesaikan masalah lingkungan. Sayangnya, kebijakan tersebut perlu diperhatikan lagi implementasinya.

Ditulis Andika, bahwa menanam sawit di lahan terdegradasi bisa jadi solusinya, lahan-lahan yang rendah karbon bisa direlakan jadi kebun monokultur seperti kelapa sawit, dengan persyartan tetap melihat status lahan serta persetujuan masyarakat. Selain itu juga, tak perlu menambah luasan kebun tapi justru meningkatkan panenan sawit yang sudah ada.

“Sayangnya, pemerintah dan industri belum mau membuka data spasial kebun sawit, padahal informasi ini penting untuk melihat potensi tumpang-tindih sawit dengn kawasan hutan, gambut, konflik dengan tanah adat, dan masalah tanah lainnya. Tanpa ini, susah untuk benahi tata kelola sawit,” tulis Andika di Twitter-nya pada Senin, 17 September 2018.

Padahal kalau data ini terbuka, lebih mudah untuk melakukan ketelusuran rantai pasok sawit. Masyarakat bisa memilih produk turunan sawit yang memang bebas konflik tanah & tidak menyumbang deforestasi. Sama-sama enak toh kalau bisa mengkonsumsi sawit tanpa rasa bersalah?— Andika Putraditama (@putraditama) September 17, 2018

Share: Dukung Stabilisasi Rupiah dengan Genjot Ekspor Sawit, Video PSI Diserang