General

Dugaan Jual Beli Suara di Malaysia Jelang Pemilu 2019, Buat Apa?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Isu jual beli suara jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 mulai mengemuka. Baru-baru ini, muncul dugaan terjadinya praktik jual beli suara di Malaysia. Informasi itu awalnya didapat dari laporan seorang calon legislatif (caleg) Partai Gerindra Basri Kinas Mappaseng, yang saat ini sudah ditindaklanjuti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Bahkan, Bawaslu sendiri sedang menginvestigasi adanya pelaporan terkait dugaan jual beli suara untuk Pemilu 2019 di Malaysia. Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin mengatakan, pihaknya tengah mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan hal tersebut. Upaya investigasi itu dilakukan karena laporan yang diterima belum terlalu meyakinkan.

“Ada beberapa informasi dan juga ada temuan yang kita tindak lanjuti, yang sedang kita tindak lanjuti itu di antaranya laporan dari pengawasan di sana dan akan segera kita investigasikan termasuk informasi-informasi yang diberikan ke kita,” ujar Afif di kantor Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa, 9 April 2019.

Meski begitu, Afif belum bisa mengungkapkan temuan Bawaslu untuk sementara ini karena masih dalam proses investigasi. “Makanya insyaallah ini adalah investigasi karena informasi awalnya belum terlalu meyakinkan sehingga kami dalami dari sisi investigasi,” ucapnya.

Harga Suara dan Tujuan Praktik Jual Beli Suara Jelang Pemilu 2019

Sebelumnya, caleg DPR RI dari Partai Gerindra Basri Kinas Mappaseng melaporkan adanya dugaan praktik jual beli suara Pemilu 2019 ke Bawaslu. Basri membeberkan bahwa praktik ini banyak terjadi di Malaysia, yang merupakan daerah pemilihannya yakni (Dapil) DKI Jakarta 2 meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri.

“Saya melaporkan data begitu banyak penawaran jual beli suara, utamanya di Malaysia,” kata Basri di Kantor Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 5 April 2019.

Basri mengungkapkan bahwa transaksi jual beli suara ini ditawarkan seorang perantara yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di Malaysia. Setiap caleg ditawari harga 15-25 RM dengan estimasi 20.000-50.000 suara. Ia mengatakan jual-beli suara ini berawal di Kuala Lumpur, namun menurutnya, saat ini telah terjadi di berbagai daerah di Malaysia.

“Rata-rata orang Indonesia lah, yang sudah tahu jalur-jalur seperti itu. Di sana sebenarnya, saya kan memang caleg yang selama 20 tahun terakhir ini bolak-balik Malaysia ya, jadi masif sekali memang. Memang jadi permainan, utamanya di Kuala Lumpur,” ujarnya.

Basri pun melaporkan dugaan praktik jual beli suara tersebut ke Bawaslu, dengan harapan cepat ditindaklanjuti dan tak ada lagi praktik jual-beli suara ke depannya. Dalam laporannya, Basri membawa alat bukti berupa rekaman percakapan antara dirinya dengan seorang perantara yang menawarkan suara ke dirinya.

“Ada rekaman pembicaraan. Saya berhak merekam karena kan saya sebagai caleg dan dirugikan dong, kalau nggak begini [merekam] gimana cara melapornya,” kata Basri.

Tak hanya itu saja, selain melaporkan dugaan jual beli suara, Basri juga mengeluhkan adanya proses rekrutmen Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) yang tak transparan di Malaysia. Basri melihat kebanyakan orang yang ditunjuk sebagai PPLN merupakan pekerja di Kedutaan Besar RI (KBRI) ataupun Konsulat Jenderal RI (KJRI).

Lebih lanjut, basri pun menyayangkan hal tersebut lantaran menurutnya PPLN harus netral dan bukan dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). “Misalnya di Kuala Lumpur, ketua PPLN-nya itu adalah atase budaya sosial. Apakah boleh? Harusnya enggak boleh, karena kan netralnya di mana,” kata Basri.

Bawaslu Waspadai 8 Modus Jual Beli Suara Pemilu 2019

Sebenarnya, pihak Bawaslu sendiri sudah mewanti-wanti perihal potensi praktik jual beli suara terjadi jelang Pemilu 2019 nanti. Bawaslu pun menganalisis kemungkinan jual beli suara terjadi dengan memprediksi ada delapan modus yang masuk kategori politik uang dalam pesta demokrasi.

Kemungkinan tersebut didasari oleh pengamatan Bawaslu terhadap aktivitas Pemilu, baik di dalam maupun luar negeri. “Kami prediksi ada delapan modus money politic dalam bentuk jual beli suara,” kata Tim Asistensi Bidang Hukum Bawaslu Bachtiar Baital dalam diskusi yang berlangsung di Hotel Ashley, Jakarta, Jumat, 5 April 2019.

Bachtiar menjelaskan bahwa modus jual beli suara yang mungkin bisa dilakukan di antaranya, memanfaatkan sisa surat suara yang tidak terpakai di TPS untuk dicoblos. Lalu, surat suara tersebut diberikan kepada kubu yang sudah memesan kepada oknum Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Modus kedua dengan menuliskan hasil yang berbeda antara hasil pada lembar C1 pleno dengan penulisan hasil pada formulir C1. Lalu, modus ketiga dilakukan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dengan mengalihkan perolehan suara dari satu atau lebih calon kepada calon lainnya dari partai politik yang sama di satu daerah pemilihan.

Modus keempat dilakukan dengan mengalihkan suara calon yang tidak memiliki kemungkinan terpilih dengan atau tanpa persetujuan bersama. Modus kelima dilakukan dengan mengalihkan suara yang diterima partai politik secara langsung dari pemilih kepada calon lain dengan persetujuan PPK atau Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Selanjutnya, modus tersebut dilakukan dengan cara calon dan saksi partai politik meminta persetujuan KPPS dan PPK. Mereka berdalih pengalihan suara merupakan urusan internal partai politik. Modus ketujuh dilakukan dengan mengalihkan suara melalui perantara. Hal itu dilakukan dengan membayar sejumlah uang.

Lalu, modus kedelapan atau yang terakhir, modus kecurangan yang mungkin saja terjadi yakni berupa penambahan atau pengurangan suara caleg atau partai politik dengan mengganti angka di belakang dan depan. Hal itu agar terkesan tidak teliti dalam proses rekapitulasi.

Di sisi lain, Bachtiar mengatakan bahwa politik uang selama masa kampanye dan masa tenang berbentuk pembelian suara pemilih agar memilih calon tertentu, atau yang dikenal istilah ‘serangan fajar’. Untuk mengatasi modus tersebut, Bachtiar mengatakan Bawaslu telah menyiapkan strategi pencegahan. “Dengan fungsi dan kewenangan yang kami punya, kami akan berusaha melakukan pencegahan kemungkinan terjadinya modus seperti itu,” kata Bachtiar.

Jauh sebelumnya, Bawaslu mencatat setidaknya ada 28 kasus pelanggaran Pemilu 2019 yang telah diputuskan dalam persidangan. Dari jumlah tersebut, pelanggaran berupa politik uang paling banyak terjadi. “Paling banyak dari 28 (kasus) itu persoalan politik uang,” kata Ketua Bawaslu Abhan di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin, 11 Februari 2019.

Perlu diketahui, politik uang jelang pemilu itu terjadi dengan berbagai macam modus, seperti membagikan sembako kepada masyarakat. Kemudian ada pula praktik politik uang yang langsung dilakukan dengan memberikan uang kepada para pemilih atau bahkan mengiming-imingi sesuatu untuk menambah jumlah suara pemilih pada perhitungan akhir nanti agar bisa menang.

Share: Dugaan Jual Beli Suara di Malaysia Jelang Pemilu 2019, Buat Apa?