General

Dominasi PSI di Luar Negeri dan Beratnya Ambang Batas Parlemen

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memang hampir dipastikan tidak lolos ke DPR RI di Senayan, Jakarta, jika melihat hasil hitung cepat atau quick count Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Bahkan, partai yang mengidentikkan diri sebagai partai baru yang progresif, milenial, dan terbuka ini sudah menyatakan kekalahan. Salah satu faktor penyebab gagalnya PSI di level nasional tentu karena ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen.

Meski pada banyak survei nasional, PSI selalu diprediksi bakal lolos ke Senayan, namun fakta di lapangan justru berbeda. Berdasarkan hasil hitung cepat Litbang Kompas, per 18 April 2019, partai pimpinan Grace Natalie ini hanya mampu meraup total 2,03 persen suara. Jauh dari ambang batas parlemen.

Meski begitu, salah satu fenomena yang tak boleh dianggap enteng dari kegagalan PSI di Pemilu 2019 adalah keberhasilan partai “Bro dan Sis” ini mendominasi perolehan suara di luar negeri. Termasuk juga peluang caleg-caleg PSI lolos ke DPRD karena kesuksesan partai meraih suara lumayan besar di berbagai daerah.

Sebenarnya apa faktor yang membuat suara PSI begitu dominan di luar negeri, bahkan bisa bersaing dengan sejumlah partai besar dan partai lama seperti PDI Perjuangan dan Partai Golkar? Sementara PSI justru keok di level nasional, meski tetap ada peluang bagi caleg-calegnya untuk lolos ke parlemen daerah.

Faktor Penting yang Membuat PSI Dominan di Luar Negeri

PSI sendiri memang berhasil unggul dalam perolehan suara Pemilu 2019 di kota-kota maju seperti Sydney dan Melbourne (Australia), Washington DC (Amerika Serikat), dan Den Haag (Belanda). Bahkan di Sydney, Australia, PSI menjadi partai teratas dengan perolehan 4.912 suara atau 39 persen dari total suara di sana. Data itu seperti dikutip dari laman resmi pemilusydney.org.au yang dikeluarkan pada Jumat, 19 April 2019.

Lalu, partai-partai lain yang membuntuti PSI pada hasil penghitungan suara di Sydney adalah PDI-P di urutan kedua dengan 4.680 suara atau 37 persen, PKS 1.240 suara atau 10 persen, NasDem 409 suara atau 3 persen, dan Gerindra 350 suara atau 3 persen. Total suara masuk untuk pemilu legislatif di Sydney sebesar 12.707 suara dengan suara yang tidak sah 630.

Baca Juga: Kekalahan PSI dan Modal Politik Penting dari Perwakilannya di DPRD

Juru Bicara PSI Andy Budiman pun membeberkan faktor-faktor yang membuat PSI berhasil tampil dominan di luar negeri ketimbang di level nasional secara keseluruhan. Menurut Andy, PSI sudah berhasil menarik suara dari masyarakat Indonesia yang terpelajar, yang banyak terdapat di luar negeri.

“Pertama bahwa PSI itu banyak menang Pileg 2019 di luar negeri dan juga di kota-kota besar di Indonesia. Sebetulnya yang terjadi adalah PSI ini berhasil menarik dukungan dan simpati dari kelompok masyarakat yang paling kritis, masyarakat terpelajar,” kata Andy saat berbincang dengan Asumsi.co, Selasa, 30 April 2019.

Andy pun menjelaskan bahwa suara-suara yang masuk untuk PSI di luar negeri sendiri bisa disimpulkan banyak yang berasal dari kalangan anak muda yang sedang menempuh pendidikan lanjutan. “Kita lihat di luar negeri misalnya masyarakat yang terdiri dari anak-anak muda atau pelajar yang sedang mengambil gelar master atau PhD di luar, mereka mendukung dan simpati dengan gagasan yang diusung dan ditawarkan PSI.”

Menurut Andy, ada pula masyarakat yang sebelumnya apatis terhadap politik, tapi dengan kehadiran PSI, jadi berubah dan mau memilih di pemilu kali ini. Bahkan, lanjut Andy, ada yang sebelumnya belum pernah mencoblos dengan sangat yakin seperti saat mencoblos PSI.

Lebih lanjut, Andy pun menjelaskan lebih rinci soal segmentasi kalangan yang mendukung PSI di luar negeri. Bahwa mereka yang memberikan suaranya untuk PSI di luar negeri, dianggap berasal dari kelompok yang peduli dengan politik, kritis, dan punya rasa peduli tinggi terhadap Indonesia.

“Kalau kita lihat sebetulnya di luar negeri atau di kota-kota besar ini, ada kelas atau kelompok masyarakat terpelajar yang kritis dan haus akan perubahan politik. Taglinenya adalah orang yang ngerti politik, memahami politik dengan benar, mengikuti perkembangan politik, dan kemudian sebetulnya mereka punya harapan bahwa politik ini akan berubah.”

Kelompok masyarakat seperti itu, menurut Andy sangat mendukung dan menerima tawaran ide serta gagasan yang diusung PSI. Kesimpulannya bahwa PSI sudah berhasil mendapatkan dukungan dan simpati dari kelompok masyarakat yang paling kritis di Indonesia, yang selama ini mungkin apatis atau bahkan golput.

Tantangan PSI Masih soal Durasi Waktu Perkenalan yang Singkat

Selain itu, Andy juga menegaskan bahwa gagalnya PSI juga disebabkan minimnya durasi waktu untuk memperkenalkan partai ke publik. Meski juga sering tampil di media televisi, namun daya jangkau PSI ke masyarakat akar rumput dirasa masih sangat kurang. Sehingga hal itu berpengaruh terhadap tingkat pengenalan partai.

“Jadi sebetulnya, problem atau tantangan yang kita hadapi sejauh ini masih soal waktu yang singkat. Pengumuman peserta Pemilu 2019 itu hanya satu tahun menjelang pencoblosan. Jadi memang tidak cukup waktu yang tersedia bagi kami untuk bekerja memperkenalkan diri ke masyarakat,” kata Andy.

Bahkan, lanjut Andy, dari survei internal PSI, sekitar empat bulan sebelum pemilihan, bahwa hanya ada 27% masyarakat yang kenal dengan PSI. Hal ini lah yang jadi masalah utama sehingga PSI terus berusaha menjangkau publik yang lebih luas. “Apalagi dengan letak geografis yang begitu luas di Indonesia, itu setidaknya perlu proses pengenalan yang panjang.”

“Sementara partai-partai lain itu ada yang usianya 10 tahun, 20 tahun, dan sebagainya. Sementara PSI sendiri baru berusia empat tahun dan terus terang dalam waktu tiga tahun terakhir itu, kita lebih banyak disibukkan dengan proses verifikasi di Kemenkumham dan juga di KPU. Proses itu sangat detail, rumit, dan kompleks, sehingga memakan waktu yang lama.”

Andy juga mengatakan bahwa tak ada perbedaan antara strategi kampanye PSI di level nasional dengan luar negeri. Menurut Andy, pendekatan dan strategi kampanyenya sama saja. “Mungkin isunya apa yang kami tawarkan ini lebih cepat diserap di luar negeri. Terlebih WNI dan Diaspora di luar negeri ini kan terbuka akan informasi, mereka terpelajar, dan mereka ingin mengetahui perkembangan politik lebih jauh.”

“Jadi ini memang soal pengenalan, belum banyak orang yang mengenal PSI lebih jauh dan apa yang ingin ditawarkan. Sehingga proses pengenalan, suka, hingga mau memilih itu belum sepenuhnya dialami sebagian besar masyarakat secara nasional.”

PSI dan Partai Baru Lainnya Berat Taklukkan Ambang Batas Parlemen

Sementara itu, menurut Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno, ambang batas parlemen sebesar 4 persen memang sangat berat untuk dilewati. Terutama untuk partai-partai baru yang belum banyak dikenal masyarakat.

“Bukan hanya bagi partai baru saja, tapi juga partai-partai lama juga banyak yang kesulitan dan berpotensi enggak lolos kan karena ambang batas parlemen 4 persen itu,” kata Adi saat dihubungi Asumsi.co, Selasa, 30 April 2019.

“Partai lama itu ada PBB yang enggak lolos, PKPI juga, ada lagi Hanura yang di Pemilu 2014 lolos tapi kali ini enggak lolos. Jadi kenapa banyak atau ada partai baru seperti PSI yang enggak lolos ke parlemen ya karena ambang batasnya terlampau berat,” kata Adi yang juga Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Adi melihat bahwa keberhasilan PSI meraih suara dominan dan besar di luar negeri memang karena faktor kampanye partai yang berhasil menyasar kelompok-kelompok terpelajar. Selain itu, isu yang dimainkan oleh PSI juga merupakan isu-isu yang berkaitan dengan kelompok-kelompok menengah ke atas, misalnya menolak perda syariah, menolak poligami, atau memperjuangkan toleransi.

“Itu adalah isu-isu yang dikonsumsi kelompok-kelompok aktivis, kalangan menengah ke atas, yang memperjuangkan nilai-nilai humanisme. Wajar jika akhirnya mereka kuat di perkotaan. Misalnya mereka di Jakarta kabarnya masuk empat besar tuh, saya juga dengar di Banten juga masuk lima besar. Itu artinya di kota-kota itu, PSI ini sudah mulai dianggap menawarkan satu visi dan program yang bagus lah, yang berbeda dari partai-partai lama secara umum.”

Selain itu, menurut Adi, cara berkampanye PSI juga jadi faktor penting dalam menggaet suara di luar negeri dan kota-kota besar lainnya. Misalnya saja memaksimalkan betul fungsi media-media dan media sosial. Adi mengatakan bahwa informasi dari media dan media sosial itu memang sebagian besar dibutuhkan kalangan menengah ke atas dan kalangan terpelajar.

Beratnya PSI dan partai-partai baru dalam meraih suara signifikan secara nasional memang terhalang oleh ambang batas parlemen sebesar 4 persen tersebut. Untuk itu lah, agar sederhana, beban ambang batas tersebut harusnya tak perlu diterapkan lagi di pemilu mendatang.

“Soal ambang batas 4 persen itu memang sangat berat ya. Untuk lolos itu, partai butuh setidaknya 7 juta suara. Sebenarnya ya sistem pemilu kita ini agak sedikit repot, sistem presidensialisme multi partai ekstrem lagi. Sudah banyak, ekstrem pula,” kata Adi.

Adi menyarankan kalau memang ingin pemilu yang sederhana dan tidak berat, maka tak perlu pakai ambang batas parlemen. “Jadi berapa pun perolehan suara partai ya lolos saja ke DPR RI di Senayan. Kalau memang mau pakai ambang batas, ya ambang batas pembuatan fraksi. Jadi partai-partai yang suaranya enggak terlampau banyak, enggak boleh bikin fraksi sendiri dan harus bergabung dengan fraksi-fraksi yang bisa membuat fraksi sendiri.”

Situasi itu pernah terjadi pada tahun 1999 di mana partai seperti PKS yang lolos ke DPR RI tapi tidak diperbolehkan membuat fraksi sendiri. Sehingga kemudian PKS memutuskan bergabung dengan PAN.

“Kalau menurut saya karena negara kita ini plural dan terdiri dari berbagai latar belakang dan alirannya juga banyak, enggak usah lah pakai ambang batas seperti itu, biarkanlah partai-partai ini bertarung. Berapapun mereka dapat suara di tingkat pusat, akomodir saja, ya masukkan saja ke DPR.”

“Kalau mau, ambang batas itu dikosongkan jadi nol persen. Jadi mau PSI dapat satu kursi sekali pun untuk DPR RI, tetap lolos ke DPR RI. Cuma kalau dapat kursinya sedikit, ya PSI nantinya enggak boleh bikin fraksi sendiri, tapi harus bergabung dengan fraksi yang lolos dan lebih besar. Makanya kalau mau bikin ambang batas ya buat ambang batas untuk menentukan fraksi saja, bukan untuk menentukan lolos atau tidaknya partai ke parlemen.”

Share: Dominasi PSI di Luar Negeri dan Beratnya Ambang Batas Parlemen