Isu Terkini

Dokter Pasien Non-Corona: Pasien Baru ke Rumah Sakit Ketika Kondisi Sudah Parah

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Membludaknya jumlah pasien COVID-19 bisa jadi membuat rumah sakit kewalahan, tetapi bagaimana dengan dokter yang tidak secara khusus menangani pasien COVID-19? Apakah dokter gigi, anak, kandungan, dan dokter spesialis lain masih melakukan praktik seperti biasa?

Hasil analisis Common Wealth menunjukkan jumlah pasien rawat jalan di Amerika Serikat telah bekurang drastis sebesar 60% selama pertengahan Maret hingga pertengahan April. Penurunan ini terjadi di hampir seluruh wilayah di Amerika Serikat dan terutama bagi spesialisasi yang memerlukan proses bedah. Sebagai gantinya, orang lebih banyak melakukan konsultasi secara virtual atau jarak jauh. Bagaimana dengan di Indonesia?

Dokter kandungan Jolanda Refanya Labora mengatakan rumah sakit tempatnya praktik memang punya kebijakan untuk mengurangi jam kerja. Jika biasanya ia bekerja selama 8 jam per hari, kini durasinya dibatasi menjadi maksimal dua jam. Jolanda pun membatasi jumlah pasien menjadi maksimal 15 orang setiap harinya.

Namun, ketakutan orang untuk pergi ke rumah sakit telah membuat kebanyakan pasien perempuan hamil yang datang kepadanya sudah dalam kondisi parah. Padahal, orang yang sedang hamil seharusnya tetap memeriksakan kandungannya secara rutin ke dokter.

“Kemarin ada pasien yang sudah hari ke-70 pendarahan. Sudah sampai keguguran, sudah ke bidan, sama bidannya dikasih obat, masih pendarahan juga. Akhirnya ia ke rumah sakit. Banyak juga yang sudah hamil besar dan berencana untuk lahiran di rumah bersama bidan. Tapi kan tempatnya nggak steril. Nanti datang-datang ke sini bayinya sudah infeksi. Mereka berpikir ya sudah lahiran saja di rumah sesuai anjuran untuk tetap di rumah. Tapi akhirnya malah tambah parah dan infeksi,” ungkap Jolanda kepada Asumsi.co (6/5).

Jolanda yang berpraktik di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok mengatakan, “Di sini screening-nya lumayan ketat. Orang yang punya keluhan batuk pilek ditempatkan di ruang sendiri—dipisahkan dari yang sehat. Ada petugas yang sudah dilatih untuk mendisinfeksi ruangan, kursi, hingga gagang pintu. Jadi seharusnya masyarakat nggak perlu takut datang ke rumah sakit,” katanya.

Sama seperti Jolanda yang membatasi waktu konsultasinya, dokter gigi Medwin Setia juga melakukan hal serupa. Ia biasanya praktik di dua tempat: Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres dan Ortho Smile Dental Care Kelapa Gading. Namun, kini ia hanya melakukan praktik di sebuah klinik di Kelapa Gading dengan jumlah pasien terbatas: dari yang biasanya 8-10 pasien menjadi paling banyak 4-5 pasien per hari.

“Kalau pertukaran pasiennya terlalu rapid, kami nggak punya kesempatan untuk sterilisasi ruangan. Jadi, agar protokol sterilisasi dapat dilakukan, kami mau tidak mau mesti mengurangi jumlah pasien,” kata Medwin kepada Asumsi.co (6/5).

Berdasarkan diagram yang dibuat oleh Occupational Information Network, dokter gigi dan dental hygienist jadi profesi yang paling rentan terpapar virus SARS-CoV-2. Dokter gigi mesti berhadapan langsung dengan saluran pernapasan terluar pasien. Ketika melakukan proses pengeboran gigi, misalnya, mulut mengeluarkan percikan air atau aerosol yang dapat menyebar ke mana saja.

“Kami nggak bisa melakukan physical distancing. Jarak paling jauh kami dengan pasien adalah sepanjang tangan. Kalau kami mengebor gigi pasien dan ternyata mereka positif COVID-19, potensi penularan akan sangat tinggi,” jelas Medwin.

Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) menyebutkan terdapat enam dokter gigi di Indonesia yang meninggal dunia akibat COVID-19. Ketua PDGI Sri Hananto Seno mengatakan alasannya bermacam-macam, salah satunya adalah akibat tertular oleh pasien saat praktik karena pasien tampak sehat dan dokter tidak mengenakan APD lengkap. Medwin pun mengungkapkan penularan rentan disebabkan oleh pasien yang seorang silent carrier atau yang berbohong tentang riwayat medisnya.

Oleh karena itu, klinik gigi mesti menyiapkan APD level 3 bagi tenaga-tenaga medisnya—selevel dengan tenaga medis yang menangani pasien COVID-19 di rumah sakit rujukan. Menurut Medwin, dengan tak semua klinik dapat menyiapkan APD dan melakukan sterilisasi, banyak yang memilih untuk menghentikan praktik sama sekali.

Kebanyakan dokter praktik diupah harian sesuai dengan jumlah pasien yang ditanganinya. Waktu praktik yang mesti dikurangi dan pandemi COVID-19 yang tidak kunjung mereda di Indonesia otomatis membuat pemasukan mereka menipis. Medwin pun mengatakan dirinya kini bergantung pada sisa tabungan untuk  bertahan.

“Intinya, kami baru dapat penghasilan kalau kami bekerja di hari itu. Kalau kami nggak praktik selama sebulan, kami tidak mendapatkan penghasilan sama sekali. Di saat-saat seperti ini saya baru merasakan manfaat dari tabungan. Tapi, apakah akan bertahan lama? Tentu ada batas waktunya. Nantinya ada titik di mana saya harus kembali bekerja,” kata Medwin.

Kini, konsultasi dengan dokter memang dapat dilakukan tanpa harus bertatap muka. Ada platform daring seperti Alodokter, Halodoc, dan GrabHealth yang memfasilitasi dokter untuk bertemu pasiennya secara virtual, tak terkecuali dokter gigi dan dokter kandungan. Selama pandemi COVID-19 di Indonesia, ketiga platform tersebut mencatat peningkatan penggunaan hingga 10 kali lipat. Vice President Halodoc Felicia Kawilarang mengatakan pada Katadata bahwa pandemi telah mengubah cara masyarakat Indonesia berkonsultasi dengan dokter.

Namun, Medwin mengatakan tak semua permasalahan gigi dapat ditangani lewat jarak jauh. “Dokter gigi itu dapat dikatakan setengah dokter dan setengah tukang. Artinya, kerja dokter gigi akan lebih optimal jika disertai dengan tindakan. Ada tindakan pencabutan, penambalan, hingga perawatan saluran akar yang mesti dilakukan oleh pakarnya. Konsultasi secara online memang bisa dilakukan dan dokter dapat meresepkan obat, tetapi tidak cukup efektif,” ujar Medwin.

Hal serupa juga disampaikan oleh Jolanda. Konsultasi kandungan memang bisa dilakukan tanpa perlu bertatap muka, tetapi dokter yang belum memahami riwayat pasien akan lebih sulit untuk melakukan diagnosis.

“Kalau pasien sudah pernah bertemu dengan saya dan dirinya konsultasi lewat platform online, itu bisa. Saya sudah tahu riwayatnya seperti apa. Tapi kalau belum pernah ketemu sama sekali itu susah. Platform online disarankan untuk pasien yang sudah pernah memeriksakan langsung ke dokter sebelumnya,” kata Jolanda.

Share: Dokter Pasien Non-Corona: Pasien Baru ke Rumah Sakit Ketika Kondisi Sudah Parah