General

Dilema Partai Islam dan Politik Berbasis Syariah

Rohmatul Izad — Asumsi.co

featured image

Selama ini, telah terjadi semacam “deislamisasi politik” dan “depolitisasi umat Islam”. Ketika reformasi meledak kala itu, sejumlah partai Islam, atau katakanlah partai yang berbasis syariah Islam, mulai banyak bermunculan. Meski demikian, tampaknya hanya sedikit dari mereka yang berhasil lolos dan eksis berkiprah di belantika politik nasional, khususnya di Senayan.

Setelah kira-kira 20 tahun era reformasi berlalu, dan makin banyaknya partai-partai Islam bermunculan dengan terpilihnya para wakil mereka di Senayan, belum ada kiranya suatu kontribusi konkrit secara stategis dan signifikan secara politik (kebijakan) beserta implementasinya dari mereka yang telah mempengaruhi dan mengubah perilaku ke arah yang lebih Islami.

Justru sebaliknya, banyak elit partai politik Islam terlibat dalam perkara korupsi. Fenomena ini lalu dapat melegitimasi bahwa ada semacam konspirasi model baru, yakni untuk mendepolitisasi peran dan posisi Islam, khususnya melalui tokoh-tokohnya. Jelas, ini menunjukkan suatu paradoks yang memilukan. Belum lagi, adanya sebagian orang yang mengagendakan tujuan politik tertentu atas nama Islam, seperti kasus penistaan agama dan Pilkada di DKI Jakarta tahun 2017 lalu.

Terkait dengan Pilkada Jakarta 2017, hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, mayoritas responden tak menginginkan konflik berkepanjangan dan tak terulang lagi pada Pilpres 2019. Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby mengungkapkan, keinginan tersebut disampaikan 72,5% responden. Dan, hanya 18,5% yang cukup menerima pembelahan publik terjadi di Pilpres 2019. Hasil survei menandakan bahwa ada semacam kedewasaan politik di kalangan masyarakat saat ini untuk mencegah perpecahan dalam kontestasi politik.

Kita tahu bahwa Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu menandakan sebuah pertarungan antar dua kubu besar, yakni antara kubu yang pro terhadap Islam dan yang dianggap anti-Islam. Suatu konflik politik yang di dalamnya terdapat banyak sekali aspirasi umat Islam dan beberapa partai Islam untuk melawan kubu musuhnya yang dianggap tidak pro terhadap Islam. Meski kenyataannya, fenomena ini merupakan kecacatan dalam berdemokrasi.

Terlepas dari itu semua, menarik untuk direnungkan hasil survei LSI yang menyatakan bahwa mayoritas publik (51,5%) sudah tidak percaya dengan perilaku moral elit politik. Menurut temuan LSI, ada tiga faktor yang turut memupuk tumbuh kembangnya ketidakpercayaan publik tersebut. Pertama, minimnya elit politik yang dapat menjadi teladan. Kedua, kebiasaan hipokrit para elit politik, yakni berbeda antara ucapan dan perbuatan. Ketiga, semakin berjaraknya perilaku elit politik dengan ajaran agamanya.

Lebih lanjut, survei tersebut menyebutkan bahwa rakyat tidak lagi melihat perbedaan signifikan antara partai berhaluan Islam (agama) dengan sekuler dalam segi paksis politiknya. Sebab, pada kenyataannya, partai-partai Islam pun banyak terjerembab dalam kasus korupsi, suap, dan yang lainnya. Selain itu, kondisi partai-partai berlabel agama di parlemen juga tidak memihak rakyak. Akhirnya, rakyat makin dapat berpikir dewasa, bahwa label agama pun hanyalah jalan untuk meraup suara pemilihan atau hanya bertujuan meraih kekuasaan semata.

Sebagai umat Islam, kita pasti tidak akan membiarkan keterpurukan citra Islam dalam politik hanya karena tingkah oknum politisi partai Islam. Sebab dampak negatifnya akan dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat, bukan hanya umat Islam saja. Perbaikan demi perbaikan kiranya perlu dilakukan untuk memurnikan politik Islam dan agar menjadi solusi dalam berbangsa.

Hemat saya, elit politik yang berada di tubuh partai Islam haruslah berbenah diri, setidaknya ada lima prinsip dasar idealitas sebuah gerakan politik berbasis syariah yang penting dan perlu diamalkan oleh segenap politisi partai Islam tersebut. Pertama, sebagai sebuah gerakan politik, elit partai Islam haruslah menjadikan prinsip amar makruf nahyi mungkar sebagai etos kerja partai. Kedua, dalam setiap manuver politik, harus selalu memegang prinsip kebenaran, suatu kebenaran yang diyakini berasal dari Tuhan dan sifatnya universal.

Ketiga, bertindaklah secara adil, seperti tertuang dalam QS. 16: 09, di mana keadilan adalah suatu amanat Tuhan untuk dilaksanakan bagi kepentingan seluruh umat manusia. Keempat, politisi Muslim harus jujur. Sebagaimana hadits Nabi, “Wajib atas kalian untuk jujur, sebab jujur itu akan membawa kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan jalan ke surga, begitu pula seseorang senantiasa jujur dan memperhatikan kejujuran, sehingga akan termaktub di sisi Allah atas kejujurannya. Sebaliknya, janganlah dusta. Sebab dusta akan mengarah pada kejahatan, dan kejahatan akan mengarah ke neraka, seseorang yang senantiasa dusta, dan memperhatikan kedustaannya, sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendus, ” (HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas’ud). Dan yang kelima, setiap tindakan politisi Muslim, haruslah berjuang pada kemaslahatan umat secara keseluruhan.

Ibn al-Qayyim al-Jauziy dalam kitabnya “I’Iam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-Alamin” menyatakan bahwa sesungguhnya hukum Islam (syari’at) itu disusun dan didasarkan atas kebijakan dan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat, serta kemanfaatannya tidak hanya dikhususkan untuk umat Islam semata.

Oleh karenanya, tujuan diadakannya partai Islam tak lain adalah untuk kemaslahatan umat. Jika keberadaan partai politik Islam atau yang berbasis pada syariah Islam itu justru tidak mengindahkan dan merusak citra Islam serta tidak membawa manfaat (maslahah) bagi umat Islam dan manusia, mungkin sebaiknya partai Islam dibubarkan saja.

Politik Islam haruslah mencerminkan sikap Islam yang adil dan jujur sebagaimana yang telah tertuang di dalam kitab suci dan telah menjadi ajaran yang baku. Tidaklah dibenarkan jika Islam hanya dijadikan alat politik untuk kepentingan tertentu, sebagaimana banyaknya kasus yang terjadi selama ini, baik dilakukan atas nama partai atau hanya memanfaatkan suara umat Islam saja.

Rohmatul Izad adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta.

Share: Dilema Partai Islam dan Politik Berbasis Syariah