Semua orang pernah bersedih dan menangis. Didi Kempot mengajarkan para pendengarnya untuk bersedih, atau mungkin menangis, dengan kerelaan penuh. Ia mengajari kita untuk merayakan setiap kegagalan, untuk terus berjalan dengan dagu terangkat dan senyum jatmika terpacak di bibir, untuk menyadari bahwa segala yang kandas akan menjadikan kita lebih tangguh.
Didi Kempot menjadi legenda bahkan sebelum ketenarannya berembus ke segala penjuru Indonesia.
Putus sekolah di kelas 2 SMA, Didi merintis karier sebagai musisi jalanan di Surakarta pada tahun 1984 hingga 1986. Ayahnya, komedian legendaris Ranto Gudel, meneguhkan hati Didi dengan menyatakan bahwa seorang seniman tak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Malahan, katanya, seniman mesti langsung unjuk diri, bekerja sembari berlatih supaya karyanya tak berjarak dari kehidupan orang banyak. Mengadu nasib di jalanan, kenang Didi bertahun-tahun kemudian, adalah “praktik” pertama baginya.
Didi Kempot tumbuh dikelilingi musik. Ibunya, Hj. Umiyati, adalah penyanyi keroncong profesional yang tampil dari kampung ke kampung. Namun, di jalananlah Didi menemukan suaranya sendiri. Nekat ke Jakarta pada tahun 1987, ia pun lekas menjatuhkan pilihan pada campursari, genre yang mengambil sensibilitas melodi, tangga nada, serta cengkok khas musik Jawa yang berpadu dengan dengan instrumentasi modern dari Barat.
“Waktu itu di Campursari ada almarhum Mas Manthous, kalau keroncong dulu ada Waljinah, Mus Mulyadi,” kata Didi berkisah suatu kali. “Makin ke belakang kok anak-anak muda kurang tertarik ke situ, akhirnya saya mencoba membuat lagu yang sekiranya anak-anak muda mau menerima.”
Didi Kempot mungkin bukan pelopor campursari, tetapi dia memberinya daya hidup yang besar. Didi yang berambut gondrong, urakan, dan berpakaian hitam-hitam mengundang minat anak-anak muda terhadap genre lawas tersebut.
Wawancaranya dengan Titah AW di Warning Magz pada 2017 barangkali adalah satu dari sedikit catatan mendalam tentang pendekatan bermusiknya. Kala itu, Didi memperkirakan bahwa selama tiga dekade lebih berkarya ia telah mengarang setidaknya 700 lagu. Albumnya amat banyak dan tersebar di begitu banyak label sampai sang maestro sendiri mengaku tidak tahu berapa jumlah persisnya.
Secara musikal, Didi cerdik menyisipkan elemen-elemen musikal non-Jawa untuk tetap menghibur pendengarnya. Pada lagu “Stasiun Balapan”, misalnya, ia bercerita bahwa ia sengaja memasukkan bagian gitar yang terinspirasi gaya musik Spanyol pada intervalnya. Breakdown dengan aroma flamenco kental juga hadir pada lagu “Kalung Emas”. Adapun melodi di “Suket Teki,” katanya, terinspirasi dari musik ‘back to 60’s’ yang “sederhana, tetapi (saat itu) lagi booming.”
Saban manggung di luar negeri, Didi Kempot selalu menyerap pengaruh musikal baru. “Teman-teman banyak yang bilang, ‘Didi Kempot itu lagunya Jawa tapi not-nya internasional,'” tuturnya. “Mungkin itu pengaruh karena saya sering ke Belanda, Suriname, pas muter-muter gitu saya lihat. Sebelum main kan banyak musisi lokal sana main, kayak orang Afrika, orang Indian, bule-bule, ternyata kita nyanyi mereka dansa juga.”
Didi pun tidak menutup mata terhadap perkembangan musikal terkini. Dalam beberapa wawancara, ia menyampaikan kekagumannya terhadap Tulus, memuji grup hip hop dangdut NDX AKA, serta turun gunung untuk berkolaborasi dengan grup rock Endank Soekamti pada lagu “Parangtritis”.
Meskipun begitu, Didi bersikeras bahwa musiknya tetap berpijak pada akar musikal yang sama. “Ndak ada perubahan,” ucapnya. “Banyak yang menyebut campursari, tapi sebetulnya kan keroncong dangdut karena selalu ada gendhang. Ketipung itu lho. Kayaknya lebih muda gitu lho, anak muda masih bisa menerima. Karena dari beat-nya, ya, jadi walaupun mellow tapi kaki tetap goyang.”
Hal inilah yang menjadi warisan paling paripurna Didi Kempot. Jauh sebelum The Upstairs mengajarkan kita untuk berdansa resah, Didi telah memboyong goyang ambyar ke panggung-panggung utama. Bahasan di tiap lagunya sebetulnya sederhana: cinta dan guyon. Namun, telusuri liriknya secara mendalam, dan kamu akan mendapati kesedihan yang berbicara amat lantang kepada pengalaman kelas pekerja.
“Orang Jawa itu kerja sampai mana-mana,” ucap Didi, dan pengalaman rantau ini diterjemahkannya ke dalam lagu. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa Didi Kempot gemar menulis lagu yang berbasis lokasi dan moda transportasi. Stasiun Balapan, Parangtritis, Pantai Klayar, Tanjung Mas. Stasiun, Terminal, Pelabuhan. Dalam plot twist khas Didi Kempot, sekali waktu ia bahkan didapuk menjadi Duta PT KAI Indonesia.
Protagonis dalam lagu-lagu Didi Kempot terpisah dari cinta sejati akibat jarak, perantauan yang tak pasti, dan janji yang dipupus sekat sosial. Ia adalah pahlawan yang kecil dalam segalanya kecuali asmara. Ia patah arang setelah mencari kekasihnya di seribu kota, melihat kenangan terpatri di Stasiun Balapan, dan genangan air matanya lebih dalam dan luas ketimbang lautan di pelabuhan Tanjung Mas.
Dalam percakapan dengan Warning Magz, Didi bercerita bahwa stasiun, pelabuhan, dan terminal menjadi inspirasi sebab “percintaan, tersenyum, dan menangis” berawal dari situ. Bahkan pengalaman aslinya di tempat-tempat semacam itu, saat masih menjadi pengamen jalanan, turut menginspirasinya.
“Nek dikhianati ya pacarnya nangis di situ waktu berangkat,” tuturnya. “Waktu nulis ‘Stasiun Balapan’ itu saya lagi ngamen. Dalam hatiku, betul-betul po cintanya? Nangis-nangis si mbaknya.”
Ada kisah apik yang menggambarkan upaya keras Didi Kempot mengingat permulaan kariernya yang sederhana. Dalam wawancara dengan harian Kompas pada 24 Juli 2005, Didi membeberkan bahwa tiap kali ke Jakarta ia bersikeras menginap di Hotel Ibis dan memilih kamar yang menghadap ke arah perempatan Slipi. Dahulu, di sanalah tempatnya mangkal sebagai pengamen.
“Dari kamar, saya bisa melihat warung tegal (warteg) di kaki lima, dekat kios penjual rotan, tempat dulu biasa mengutang makan atau menitipkan gitar,” kisahnya.
Setiap melewati tol Karawaci pun ia biasa melongok melalui jendela mobil ke arah sebuah kuburan di pinggir tol. Selama masih bujang, ia kerap terpaksa menumpang tidur di kuburan tersebut. Sementara istrinya saat itu, Saputri, bekerja sebagai buruh pabrik di Tangerang.
Latar belakangnya yang penuh perjuangan itu diabadikan dalam nama panggungnya. Meski bernama asli Dionisius “Didi” Prasetyo, ia memilih dikenal sebagai Didi “Kempot”–singkatan dari “Kelompok Pengamen Trotoar,” grup pengamen yang membawanya hijrah dari Surakarta ke Jakarta.
Lagu-lagu Didi Kempot menerabas jarak kultural dan dimainkan di bis-bis AKAP, di warung, di pos ronda kampung, di terminal, dan di pusat perbelanjaan. Ia menjadi penyambung lidah untuk orang-orang yang melulu ditinggalkan–oleh kota, oleh pembangunan, oleh pacar yang ingkar. Lambat laun, karyanya menjadi bagian tak terpisahkan dari memori kolektif kita.
Penyair Adimas Immanuel menyatakannya dengan sempurna saat ia menulis bahwa lagu Didi Kempot “adalah sarana ngudarasa dari nasib blangsak, pelipur lara cinta, tali persaudaraan di rantau. Liriknya jadi rumah, jalan pulang, ingatan masa kecil, harta tak terbeli.”
Meskipun begitu, untuk waktu yang lama sekali, ketenaran Didi seolah berhenti di arus pinggir. Selayaknya musisi dangdut, koplo, dan funkot, oeuvre monumental Didi Kempot tak menuai perhatian serius dari akademisi dan media arus utama. Pada awal tahun 2000-an, stasiun televisi TV7 sempat membuatkannya acara berjudul “Es Campur Es Didi Kempot”, di mana ia berkolaborasi dengan musisi seperti Slank, KLa Project, dan Siti Nurhaliza. Namun selebihnya, Didi Kempot seperti eksis di dunianya sendiri.
“Harusnya ada (media) yang fokus, tidak cuma ben lewat, jangan cuma mesakke,” keluhnya pada 2017. “Karena nggak mungkin habis, generasi itu akan terus lahir. Umpama bayi itu akan merangkak dengan caranya sendiri.” Bahkan, diskografinya sendiri tak sempat ia urusi. “Banyak teman-teman musisi yang bilang, “Mas, itu uang lho, dirawat,” bebernya. “Saya jawab nanti dululah. Nanti pasti ada yang mengurusi.”
Tahun lalu, momen itu akhirnya tiba. Pada Juni 2019, Didi manggung di Taman Balekambang, Surakarta. Sejak lagu pertama, sang penyanyi sudah curiga bahwa ada yang berbeda dari penontonnya malam itu. “Mukanya bersih-bersih dan masih polos-polos,” kenangnya sambil terkekeh saat diwawancarai harian Kompas. Tebakannya, penonton malam itu berbeda dari biasanya. Mereka adalah “anak-anak pintar”, yang selama ini emoh merayakan musiknya di hadapan publik.
Tetapi malam itu mereka datang membludak. Mereka menyanyikan tiap bait dari lagu-lagu Didi Kempot, meneriakkannya seolah perkataan Didi adalah jeritan dari relung hati mereka sendiri. Tak sedikit yang menangis secara terbuka, saling merangkul, dan berdansa dengan rancak. Laki-laki maupun perempuan merayakan penampilan Didi dengan meriah.
Video penampilan heboh Didi Kempot di Taman Balekambang viral di Twitter. Ribuan orang silih berganti membagikan kecintaan pribadi mereka terhadap musik sang maestro, dan ia lekas menjadi buah bibir. Tak lama berselang, penyiar radio Gofar Hilman mengundang Didi Kempot untuk jadi bintang tamu sekaligus penampil dalam tayangan YouTube-nya yang sangat populer, “Ngobam” (Ngobrol Bareng Musisi).
Saat Didi menyanyikan lagu “Kalung Emas” di Ngobam, seorang pemuda berkaus hitam di baris terdepan menunduk, mengumpat sambil menangis. Dari panggung, Didi menggoda, “Wah, kelingan iki! (teringat, nih).” Video itu lagi-lagi viral.
Seperti ditulis Kompas, ribuan pemuda patah hati menanggapi video tersebut dengan berbagi kisah nelangsa masing-masing. Didi Kempot diangkat sebagai pemersatu. Ia lantas dijuluki “The Godfather of Broken Heart”, bahkan menuai gelar tak resmi Lord Didi Kempot. Seketika, Didi menjadi primadona.
Dalam tulisannya di Tirto, Faisal Irfani menduga bahwa kebangkitan Didi Kempot membuktikan teori jurnalis musik Simon Reynolds bahwa pada dasarnya budaya populer dan musik senantiasa mendaur ulang masa lalu. Internet dan media sosial mempersatukan jutaan orang yang rupanya memiliki nostalgia atau memori kolektif terhadap hal yang sama.
Dalam tempo singkat, mereka mengemas “artefak budaya” tersebut dengan tampilan baru yang mengkilap, lantas menjadikannya sesuatu yang ngetren lagi. Hal inilah yang menjelaskan mengapa, misalnya, anak-anak SMA yang lahir setelah Reformasi mendadak ramai-ramai jatuh cinta pada “Berharap Tak Berpisah” karya Reza Artamevia, atau gandrung pada musisi baru bergaya lawas seperti Diskoria.
Namun, di Indonesia terdapat faktor lain yang berperan: kesenjangan kelas. Bukan hanya musisi “berkelas” macam Chrisye, Reza Artamevia, atau Glenn Fredly yang menemukan audiens baru, melainkan juga para musisi dari genre-genre yang kerap dianggap kampungan atau berkelas rendah.
Pada 2014-2015, misalnya, Orkes Moral Pengantar Minum Racun (OM PMR) Jhonny Iskandar mendadak populer di kalangan anak muda kelas menengah perkotaan. Pada 2016, legenda dangdut Rhoma Irama main di panggung utama Synchronize Fest, barangkali festival musik tergaul di Indonesia. Ketenaran serupa juga sempat dirasakan oleh grup kasidah Nasida Ria serta legenda funkot Barakatak.
Periset musik Irfan R. Darajat mengkritik fenomena ini sebagai bentuk “hipster-washing”. Musik yang sebelumnya dicibir karena dianggap rendahan dan kampungan tiba-tiba “diangkat kelasnya” dengan ditampilkan di festival-festival musik kekinian dan acara televisi yang ditonton kelas menengah perkotaan.
Musik “cengeng” macam Didi Kempot, yang dahulu dianggap kemayu dan tidak keren, mendadak tenar lagi semata karena kerumunan hipster muda perkotaan ingin mengelu-elukan sesuatu yang dianggap “tidak keren” oleh orang banyak. Jurnalis Idhar Resmadi bahkan mencibirnya sebagai tren yang belum sampai “menciptakan market sendiri.” Anak muda, tuturnya, melakukannya karena dipicu rasa penasaran saja.
Amatan tersebut tentu dapat memicu perdebatan tersendiri. Di satu sisi, kritik Irfan tentang “hipster-washing” tak meleset dari sasaran. Kita layak bertanya: apakah musisi seperti Didi Kempot dirayakan karena sekumpulan penikmat musik kelas menengah butuh hiburan rakyat untuk ditertawakan? Atau, ia justru menyingkap latar belakang “kampung” yang diam-diam dimiliki tetapi disembunyikan semua orang?
Di sisi lain, musisi seperti Didi Kempot jelas tidak butuh persetujuan kerumunan muda gaul untuk memiliki pasarnya. Ia telah menjadi maharaja di Pantura, legenda dalam dunianya sendiri. Atensi publik yang melimpah kepadanya–yang sebelumnya dihaturkan kepada OM PMR, Nasida Ria, dan Barakatak–sekadar memberikannya modal kultural yang lebih abstrak: kredibilitas.
Kini, di hadapan orang-orang kota besar, Didi Kempot mendapat penghargaan yang selayaknya. Ia tampil di festival-festival besar sebagai bintang utama. Ia menjadi meme dan ikon di media sosial. Billboard Indonesia bahkan mengganjarnya penghargaan Lifetime Achievement Awards di Indonesia Music Awards 2020.
Jumlah pengikutnya di media sosial meroket jadi ratusan ribu orang, yang siap melahap setiap petuahnya tentang kehidupan, cinta, dan perjuangan. Didi memanfaatkan perhatian melimpah ini dengan cerdas. Ia menjuluki legiun fansnya “Sobat Ambyar”, dan memanggil mereka para “sadboys” dan “sadgirls”–meminjam istilah populer yang menggambarkan sosok muda-mudi resah perkotaan.
Seperti biasa, Didi lihai beradaptasi. Lagu-lagu sedih yang ia tulis 25 tahun lalu rupanya masih dapat mengambyarkan hati pendengar dari generasi baru. Barangkali itu karena kita memang tak banyak berubah, dan kegagalan cinta serta kesenjangan kelas adalah persoalan yang tak ada habis-habisnya di Indonesia. Atau barangkali–dan ini gagasan yang wajib dipertimbangkan secara serius–memang lagunya sebagus itu saja.
Bulan lalu (11/4), Didi Kempot kembali membuktikan kehebatannya. Dalam acara bertajuk “Konser Amal dari Rumah” yang ditayangkan Kompas TV, ia menggalang dana untuk masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19. Penampilan epik selama tiga jam itu menjadi persembahan penutup yang sempurna kepada publik. Dari konser itu saja, ia berhasil mengumpulkan donasi sebesar Rp7,6 miliar dari 30 ribu lebih donatur.
Pekan lalu (28/4), ia masih sempat merilis lagu baru berjudul “Ojo Mudik” (Jangan Mudik) bekerja sama dengan pemerintah kota Surakarta. Lewat lagu tersebut, ia mengimbau pendengarnya untuk menunda mudik dan menyelamatkan keluarga dari pandemi. Pesannya jelas tersampaikan. Hingga obituari ini ditulis, video tersebut telah ditonton nyaris satu juta kali.
Meski sepanjang kariernya Didi Kempot bernyanyi tentang kekalahan, kegagalan, dan nelangsa tak terperi, ia menyudahi perjalanannya dengan gemilang. Tadinya ia mengamen di hadapan penumpang acuh tak acuh di bus kota. Di akhir kariernya, Didi Kempot tampil di panggung megah di hadapan ribuan penggemar fanatik. Tadinya, musiknya digandrungi oleh jutaan fans dari udik, yang dipinggirkan secara sengaja atau tidak oleh keadaan. Kini, musiknya dirayakan oleh kerumunan lintas kelas, lintas gender, lintas benua.
Kisah dalam lagu-lagu Didi Kempot jarang berakhir bahagia. Namun, barangkali, sang maestro menyimpan penutup yang paling bahagia untuk kisah kehidupannya sendiri.