Budaya Pop

Dicari: Belahan Jiwa

Nicky Stephani — Asumsi.co

featured image

Seorang teman yang sedang merayakan hari jadi pernikahannya mengunggah Instagram story berbunyi, “Untuk belahan jiwaku, hidup terasa lengkap ketika kau mengisi hari-hariku.” Ungkapan tersebut dilengkapi dengan gambar malaikat kecil yang menembakkan panah cinta bertubi-tubi.

Kali berikutnya, teman saya yang lain mengunggah konten tentang patah hati. Setelah curhat panjang lebar, ia menulis, “Kalau sudah ditakdirkan bersama, dari belahan dunia mana pun keduanya berasal, pasti akan bertemu.” Meskipun kisah cintanya lagi-lagi kandas, harapannya soal jodoh tak pernah padam. Teman saya itu tetap optimistis bahwa jodoh pasti gak akan ke mana dan biarlah waktu yang menjawabnya.

Manusia mengemban misi pencarian belahan jiwa seumur hidupnya. Patah hati berulang kali bukan alasan untuk meragukan keberadaan soulmate yang katanya sudah digariskan oleh Sang Pencipta. Durasi penantian dan titik temu yang tak menentu bukanlah penghalang. Misi wajib dituntaskan apa pun kondisinya sebab kebahagiaan luar biasa pasti akan tiba.

Berbicara tentang soulmate artinya berbicara soal ketidakpastian, dan manusia biasanya menghindari hal-hal yang tidak pasti. Namun, untuk urusan soulmate ada perkecualian. Udah ketauan gak pasti, tapi kok masih dinanti? Lebih anehnya lagi, semakin hari keyakinan manusia soal soulmate semakin menjadi. Kok bisa, sih?

Alkisah, manusia zaman dahulu memiliki tampilan yang berbeda dengan manusia masa kini. Mereka memiliki empat tangan, empat kaki, dua wajah dalam satu kepala, dan dua kelamin dalam satu tubuh. Wujud tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk yang tak terkalahkan di muka bumi hingga pada suatu waktu mereka berani menantang para dewa.

Zeus, dewa dari segala dewa, kemudian memisahkan manusia menjadi dua bagian dan mengutuk mereka dengan penderitaan. Manusia hanya memiliki dua tangan, dua kaki, satu wajah, satu jenis kelamin, dan berkelana dengan kepedihan yang mendalam. Tidak tega melihat penderitaan yang dialami manusia, Apollo, dewa penyembuh, bernubuat bahwa penderitaan manusia akan berakhir ketika mereka kembali ke wujud asalnya. Karena itulah manusia akan merindukan dan mencari separuh jiwa-raganya seumur hidup. Konon, ketika akhirnya bertemu, keduanya akan menjadi suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Mereka akan memahami satu sama lain tanpa perlu banyak bicara, saling terhubung, utuh, dan berbahagia selama-lamanya.

Demikianlah asal usul belahan jiwa menurut mitologi Yunani dalam buku The Symposium karya Plato. Selama berabad-abad mitos tersebut mengilhami banyak penulis, penyair, dan seniman yang kemudian melahirkan kisah cinta serupa: tentang manusia yang mencari belahan jiwanya. Tengok saja layar televisi, smartphone, atau laptop-mu. Bukankah sebagian besar sinetron, FTV, serial India, drama Korea, dan film-film Hollywood adalah tentang pencarian soulmate? Film The Notebook misalnya, mengisahkan sepasang kekasih yang pada akhirnya kembali bersama meskipun dipisahkan berulang kali oleh keluarga, perang, dan penyakit. Tuh, kan, kalau jodoh gak akan ke mana!

Kisah serupa tapi tak sama juga dipelajari dalam Teosofi. Pada mulanya, jiwa diciptakan androgini atau memiliki dua jenis kelamin. Namun, muncul keinginan jiwa untuk turun ke bumi sehingga ia terbelah menjadi dua bagian, yaitu laki-laki dan perempuan. Ada kepercayaan yang memandang pemisahan tersebut sebagai hukuman dari Sang Pencipta. Ada pula yang melihatnya sebagai karma sehingga kemudian muncul konsep relasi karma (karmic relationship) dalam kehidupan manusia. Singkat cerita, setiap jiwa akan mencari pasangannya saat mereka turun atau bereinkarnasi ke bumi. Kelak keduanya akan bertemu dan kembali utuh.

Mitos soulmate juga menginspirasi manusia-manusia yang menjajal peruntungan di kancah online dating. Kalau jodoh bisa dicari, kenapa mesti menunggu? Sudah berusaha tapi gak nemu lebih terhormat daripada tidak mencoba sama sekali, kan? Mungkin begitulah semangat para pengguna Tinder, Bumble, OkCupid, dan aplikasi online dating lain yang marak digunakan belakangan ini.

Mereka mengarungi samudera ganas percintaan, menilai kesesuaian kandidat berdasarkan foto dan profilnya, swipe kanan swipe kiri, siapa tahu ada yang match. Diakui atau tidak, dalam hati masing-masing ada kerinduan untuk bertemu dengan belahan jiwa. Mungkin bedanya ada yang terang-terangan dan aktif mencari, ada pula yang diam-diam penuh harap dan cemas menantikan jodohnya. Semua orang bertanya-tanya tentang keberadaan soulmate dan enggan mati penasaran karena belum membuktikannya.

Narasi soulmate yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa manusia bukanlah makhluk yang utuh. Manusia merasa dirinya seorang saja tidaklah cukup. Setidaknya seperti itulah yang tertanam di alam bawah sadar mereka dan kemudian direalisasikan dalam kegiatan pencarian jodoh yang tak kenal lelah. Mereka yang belum menemukan soulmate-nya tidak mau disebut separuh manusia. Enak saja, katanya. Tapi begitulah cara mereka memandang dan menghidupi kemanusiaannya. Mereka percaya bahwa kebahagiaan yang hakiki bersumber dari manusia lain, bukan dari dirinya sendiri. Mereka mencari kesembuhan dari kehadiran manusia lain dibanding meyakini dan memberi waktu pada diri mereka sendiri untuk pulih. Mungkin manusia sebegitu rapuh hingga membutuhkan manusia lain untuk menegaskan eksistensinya.

Sesungguhnya, tidak ada yang tahu apakah soulmate benar-benar nyata atau mitos belaka. Mereka yang berhasil menemukan belahan jiwanya dipandang sebagai orang-orang beruntung yang seringkali menjadi panutan kaum yang kurang beruntung. Wahai manusia-manusia yang beruntung, apa yang membuatmu bahagia: bertemu dengan belahan jiwamu atau terbebas dari misi yang terus-terusan membebani jiwa dan ragamu? Sepengetahuan saya, mereka yang sudah menuntaskan misi pun belum bisa pensiun. Setelah bertemu dengan belahan jiwanya, mereka masih harus bekerja keras mempertahankan sebagian dirinya. Masing-masing berupaya menjaga keutuhan dirinya. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa pasanganmu saat ini adalah belahan jiwamu dan tidak menutup kemungkinan bahwa kamu akan menemukan dirimu pada sosok selain pasanganmu. Sejauh ini, kamu sudah menemukan “apa yang kamu kira” belahan jiwamu.

Dan bagi kamu kaum kurang beruntung, sesekali tidak ada salahnya bertanya kepada dirimu: apa yang membuatku bahagia? Saya yakin jawabannya tidak melulu belahan jiwa. Dalam mitologi Yunani, manusia digambarkan sebagai makhluk penakluk yang tak pernah puas, pun soal belahan jiwa. Ketika belum ketemu, dicarinya kemana-mana dengan berbagai cara. Giliran sudah ketemu, diragukannya kehadiran manusia itu untuk melengkapi dan membahagiakannya. Tak jarang relasi dua insan berakhir dengan alasan ketidakcocokkan atau sudah tak sejalan lagi. Lho, bukankah harusnya manusia bahagia ketika bertemu dengan belahan jiwanya?

Mungkin bukan belahan jiwa yang dicari manusia, melainkan dirinya sendiri. Manusia berjuang menemukan jati dirinya selama hidupnya. Pencarian itu tidak pernah berhenti meskipun sudah berkali-kali menemukan manusia lain yang mirip dengannya. Ada kalanya ia sadar apa yang dianggap sebagai belahan jiwa dan raganya itu bukanlah dirinya. Manusia lain itu tidak akan pernah menjadi serupa dengan dirinya dan pada saat itulah ia menemukan keutuhannya sebagai manusia.

“Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni,” kata penyair Sapardi Djoko Damono. Saya tak percaya. Setidak-tidaknya, marilah kita mengadunya terlebih dulu dengan orang-orang yang menunggu perjumpaan dengan belahan jiwa mereka.

Nicky Stephani. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya. Suka mencermati dan mengkaji budaya populer, gender, dan seksualitas di waktu luangnya.

Share: Dicari: Belahan Jiwa