Pandemi global COVID-19 membuat masyarakat sedunia bahu-membahu berusaha memutus mata rantai penyebaran virus SARS-CoV-2. Di Indonesia, berbagai pihak tak ketinggalan mengambil peran, membantu sesuai kuasa dan kesanggupan masing-masing. Setelah beberapa waktu lalu memicu kontroversi soal prioritas tes, DPR RI kini muncul lagi dalam pemberitaan. Apa kontribusi mereka?
Kabarnya, para anggota DPR bakal memangkas gaji untuk membantu penanganan dampak COVID-19. Tidak buruk, meski tentu saja mereka bisa berbuat lebih. Di sisi lain, selagi rakyat pontang-panting menghadapi pandemi, para wakilnya di Senayan malah terus menggarap RUU-RUU kontroversial seperti Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemasyarakatan, yang sebelumnya ditentang keras masyarakat lewat gelombang demonstrasi di berbagai daerah.
Hingga Kamis (02/04) sore, jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia sudah mencapai 1.790 orang, dengan rincian 170 orang meninggal dunia dan 112 orang dinyatakan sembuh. Tingkat kematiannya mencapai 9,4 persen. Di tengah kondisi genting ini, apakah pantas DPR memprioritaskan RUU-RUU tersebut?
Dalam rapat kerja Komisi III DPR RI dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Rabu (01/04), kedua pihak sepakat untuk segera menyelesaikan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan. Kedua RUU itu dinilai harus segera selesai untuk membantu memperbaiki sistem peradilan pidana dan mengurangi kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan (rutan) yang dianggap berpotensi menjadi tempat penyebaran penyakit.
Baca Juga: Terapkan PSBB, Pemerintah Pusat Tak Wajib Penuhi Kebutuhan Dasar Masyarakat Selama Pandemi
Sehari setelahnya, Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin mengungkapkan bahwa pimpinan Komisi III DPR RI meminta waktu sepekan untuk mengesahkan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan. Ia menyebut RKUHP dan RUU Pemasyarakatan akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI setelah disahkan di Komisi III DPR RI.
Namun, Azis tidak menyampaikan lebih rinci apakah waktu satu pekan yang diminta oleh pimpinan Komisi III DPR itu akan digunakan untuk membahas sejumlah pasal kontroversial dalam dua rancangan regulasi itu. Sekadar informasi, lantaran dianggap mengandung pasal-pasal kontroversial, pengesahan dua rancangan regulasi ini gagal di akhir masa bakti DPR periode 2014-2019.
Pernyataan Azis disanggah Ketua Komisi III DPR RI Herman Hery. Menurutya, Komisi III hanya meminta izin kepada pimpinan DPR untuk melanjutkan pembahasan RKUHP.
Hal itu disampaikan usai rapat dengan Menkumham Yasona Laoly. “Bukan untuk mengambil keputusan tingkat dua (paripurna). Jadi tidak mungkin selesai dalam waktu seminggu. Mungkin Pak Azis (Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin) salah dalam menyampaikannya,” kata Herman, Kamis (03/04) malam.
Baca Juga: Atas Nama Ekonomi, Pemerintah Tak Melarang Mudik
Terlepas urusan-urusan itu bakal kelar dalam sepekan atau lebih, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati tetap meminta pembahasan ditunda.
“DPR sudah mengabaikan protes masyarakat yang besar sekali pada akhir tahun 2019 kemarin. Mereka tampaknya sengaja memanfaatkan situasi pandemi COVID-19 untuk membahas ini,” kata Asfinawati saat dihubungi Asumsi.co, Jumat (03/04).
Menurut Asfina, hari-hari ini kualitas partisipasi masyarakat pasti menurun karena tak bisa menggelar demonstrasi sebagai kritik.
“Kan tidak mungkin ada demonstrasi. Kalaupun mereka sekarang sidang online apa yang bisa kita lakukan dari jarak jauh? Ini juga menunjukkan Presiden Joko Widodo tak bertanggungjawab atas pernyataannya yang menyebut bahwa kedua RUU ini ditunda,” ujarnya. “Seharusnya ya ditunda, seharusnya mereka berhenti membahas RUU yang berpotensi mengkriminalkan rakyat, merampas hak dasar rakyat.”
Asfina mengatakan bahwa yang paling utama saat ini DPR harus mengawasi kinerja pemerintah dalam menangani COVID-19. Jika perlu, DPR membuka pos-pos pengaduan masyarakat tentang penanganan COVID-19, minimal di daerah konstituen para anggota.
Baca Juga: Pembatasan Akses Jakarta di Tangan Menkes Terawan
Asfina menyebut banyak sekali yang bisa diawasi dari langkah pemerintah dalam menangani COVID-19. Mulai dari penggunaan anggaran dan alokasinya. Lalu, penting juga mengawasi aktivitas sehari-hari masyarakat, yang berpotensi mendapatkan tindakan represif dari polisi dan tentara, hingga mengawal Perppu .
Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyanggah pernyataan pemerintah dan DPR yang mengatakan bahwa pengesahan RKUHP di tengah kondisi pandemi dapat menjadi solusi dari penanganan pencegahan COVID-19 dalam sistem peradilan pidana.
Aliansi berpendapat, pengesahan RKUHP tanpa pembahasan menyeluruh justru akan menambah panjang daftar masalah. Apabila pemerintah dan DPR belum dapat fokus dan serius membahas masalah RKUHP, lebih baik pengesahan dengan pembahasan sebagian ditunda terlebih dahulu, sehingga seluruh fokus diarahkan kepada penanganan COVID-19.
“DPR seharusnya fokus melakukan fungsi pengawasan terhadap pemerintah dalam penanggulangan COVID-19. Dalam kondisi Pembatasan Sosial Berskala Besar ini, seharusnya DPR dan pemerintah justru memfasilitasi diskusi-diskusi online terkait dengan substansi-substansi RKUHP untuk mensosialisasikan, mendapatkan masukan, dan menjangkau pelbagai pihak dan seluas-luasnya,” demikian isi pernyataan Aliansi dalam keterangan yang diterima Asumsi.co dari LBH Masyarakat, Kamis (02/04).
Aliansi pun memiliki beberapa catatan terkait dengan RKUHP yang masih harus diselesaikan. Pertama, pemerintah dan DPR harus kembali mengevaluasi seluruh pasal-pasal yang ada di dalam RKUHP. Depenalisasi dan dekriminalisasi terhadap beberapa tindak pidana harus digalakkan, mengingat kondisi padat saat ini salah satunya disebabkan oleh overkriminalisasi dalam peraturan perundang-undangan yang juga gagal diatasi RKUHP.
Aliansi mencatat bahwa di dalam draft terakhir per September 2019, masih terdapat pasal-pasal overkriminalisasi: Pasal hukum yang hidup di masyarakat, penghinaan Presiden dan Pemerintah, larangan mempertunjukkan alat kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, penggelandangan, aborsi, tindak pidana korupsi, contempt of court, makar, kriminalisasi penghinaan yang eksesif, tindak pidana terhadap agama, rumusan tindak pencabulan yang diskriminatif, tindak pidana narkotika dan pelanggaran HAM berat.
Belajar dari kondisi kepadatan penjara yang berisiko pada hari-hari ini, pemerintah dan DPR seharusnya membahas secara serius tentang alternatif-alternatif pemidanaan non-pemenjaraan.
Baca Juga: Limbah Bekas Penanganan COVID-19 Harus Diapakan?
Pembahasan RKUHP belum melibatkan lebih banyak pihak yang akan terdampak. Selama ini, pembahasan hanya fokus dilakukan oleh ahli-ahli hukum pidana, tanpa mempertimbangkan pendapat dari bidang ilmu lain yang terdampak seperti bidang kesehatan, kesehatan masyarakat, kriminologi, pariwisata, dan ekonomi.
“Selain penting untuk melibatkan lebih banyak aktor, konsultasi pembahasan RKUHP tidak boleh hanya berpusat di Jawa. Perlu keterwakilan seluruh daerah di Indonesia untuk menjamin KUHP di masa depan mampu ditegakkan hukumnya di seluruh wilayah,” demikian pernyataan Aliansi.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP sendiri terdiri dari berbagai LSM seperti ELSAM, ICJR, AJI, LBH Pers, Imparsial, KontraS, ICW, HuMA, PBHI, LeIP, LBH Jakarta, PKBI, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, Wiki DPR, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, CDS, ILR, ICEL, Rumah Cemara, WALHI, TURC, Jatam, ECPAT Indonesia, ILRC, Epistema Institute, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi, PKNI, PUSKAPA, KPI, AMAN, OPSI, KRHN, YPHA, IJRS.