Bali United mengukir sejarah. Tak hanya menjuarai kompetisi sepak bola tertinggi di Indonesia untuk pertama kali, klub ini juga membuktikan diri sebagai klub profesional dengan pengelolaan yang baik, mulai dari sisi manajemen internal, pembelian pemain, hingga bisnis klub dalam setahun terakhir.
Seperti yang sudah diprediksi banyak pihak, Bali United mengunci gelar juara usai mengalahkan tuan rumah Semen Padang pada pekan ke-30 di Stadion H. Agus Salim, Padang, Senin (02/12/19). Klub asuhan Stefano Cugurra Teco ini menancapkan bendera di puncak saat kompetisi tersisa empat pekan lagi, dengan 63 poin dari 30 poin. Pesaing terdekatnya, Borneo FC, menguntit dengan raihan yang jauh berbeda, yakni 46 poin.
Kegemilangan Bali United musim ini tentu dapat ditelaah. Peran Teco sebagai juru racik tim, yang didatangkan dari Persija Jakarta pada akhir musim lalu, jelas merupakan faktor penting. Diminta manajemen masuk lima besar, Teco malah mengantarkan trofi. Dia pun mencatatkan diri sebagai pelatih yang sanggup menjuarai Liga 1 dengan dua klub berbeda dalam dua musim berturut-turut.
“Semua tergantung pada pemain, pemain percaya sama saya dan sistem saya, mereka kerja keras dalam latihan, kemudian kerja keras dalam pertandingan. Saya pikir ini bagus. Saat saya di Persija Jakarta, pemain di sana kerja keras, kita dapat juara. Sama seperti di sini (Bali United),” kata Teco di Stadion Haji Agus Salim Padang.
Teco bukanlah orang baru di persepakbolaan nasional. Sejak bertahun-tahun lalu, ia sudah bekerja di Indonesia dan mengenal baik kultur sepak bola di sini. Awalnya, ia bergabung bersama tim kepelatihan Persebaya sebagai pelatih fisik dan asisten pelatih. Bersama Jacksen F. Tiago yang menjadi pelatih kepala, ia ikut merasakan gelar juara Divisi Utama 2004 yang diraih “Bajul Ijo.”
Bersama Persebaya, Teco belajar banyak tentang sepak bola negeri ini, juga bahasa Indonesia. Kini, di Bali United, Teco punya berbagai faktor pendukung yang memudahkannya jadi juara, salah satunya komposisi tim. Ada Ilija Spasojevic dan Paulo Sergio eks Bhayangkara FC, juga Gunawan Dwi Cahyo dan Michael Orah dari Persija. Keempatnya pernah menjadi juara.
Teco menyebut mereka sudah mengenal medan dan tahu bagaimana cara menjadi juara, sehingga dapat membagikan pengalaman itu kepada pemain-pemain lainnya. Teco melihat penularan semangat positif di antara para pemainnya. Ia, misalnya, menunjuk Paulo dan Spaso, yang selalu bekerja keras dalam latihan sehingga diikuti pemain lain.
“Kami sukses bersama secara tim bukan hanya Teco, Spaso, Paulo, tapi semua dalam tim ini, berjuang untuk sukses hari ini,” ucap pelatih berusia 45 tahun itu.
Ben Lyttleton, dalam bukunya berjudul Edge: Leadership Secrets from Football’s Top Thinkers menyebutkan bahwa kohesi merupakan unsur utama bagi tim sukses mana pun. Dalam tim yang kohesif, para pemain sanggup berkomunikasi dengan baik, memiliki tingkat partisipasi yang lebih tinggi, menjalankan kinerja lebih efisien, dan lebih percaya pada organisasi tim.
“Kalau bicara juara itu ya karena semua keinginan pemain dari awal itu ya pengin juara. Kita bersama-sama dari awal bertekad untuk juara karena di setiap tim kalau kita kompak di luar dan di dalam lapangan, pasti hasilnya insya allah bagus,” kata bek Bali United Gunawan Dwi Cahyo saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (05/12).
Gunawan sudah membuktikan bahwa tim yang kompak dan kohesif akan memiliki keuntungan besar, baik itu dalam hal mencapai kemenangan di lapangan mencetak gol, atau mencapai tujuan. Menurut Lyttleton, dalam sebuah tim yang kompak, ada peran pemimpin tim yang bertanggung jawab untuk membangun kohesi yang diperlukan untuk mencapai hasil.
Dalam hal ini, pelatih kepalalah yang memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan kohesi di antara semua pemangku kepentingan tim. Mulai dari para pemain, termasuk dalam hal tertentu juga staf ruang ganti, pemilik tim, sponsor, hingga suporter.
Sebetulnya, membangun kohesi ini memang punya berbagai bentuk dan banyak caranya. Sebagai contoh, pelatih Timnas Inggris Gareth Southgate pernah memboyong para pemainnya dalam ekspedisi pelatihan gaya militer untuk membangun karakter dan kohesi jelang Piala Dunia 2018 lalu di Rusia.
Tak main-main, upaya Southgate dalam membentuk tim yang kohesif pun berbuah hasil. Harry Kane dan kawan-kawan berhasil melaju hingga ke partai semifinal, meski pada perebutan tempat ketiga “The Three Lions” harus takluk dari Belgia dengan skor akhir 2-0.
Berbeda dengan Thomas Tuchel yang harus memutar otak untuk menyatukan tiga mega bintang sekaligus di klub Paris Saint-Germain yakni Neymar dari Brasil, Edinson Cavani dari Uruguay, dan Kylian Mbappe pemain muda asal Perancis. Di PSG, Tuchel punya tugas berat, sebab tak hanya sekadar melatih, ia juga harus memotivasi lini depan termahal di dunia dalam timnya tersebut.
Hal yang sama tampaknya juga pernah dilakukan Luis Enrique dalam menyatukan tiga mega bintangnya saat melatih Barcelona pada 2014 yakni Lionel Messi, Neymar, dan Luis Suarez. Di tangan Lucho, sapaan akrab Enrique, ketiganya muncul sebagai trio mematikan yang sukses mengantarkan El Barca meraih treble winner pada musim 2014/15, meski memang tak mudah melebur ego dan ambisi yang berbeda dari ketiga pemainnya itu.
Kembali lagi ke PSG, untuk menjinakkan ketiga pemainnya itu yakni Neymar, Cavani dan Mbape, Tuchel menerapkan pola yang ia sebut sistem ABC. Tujuannya yakni untuk memahami ketiga pemain hebatnya itu dan mencoba membangun hubungan emosional dengan mereka.
Dalam penjelasannya, A adalah singkatan dari agresif dan mewakili pemain yang ingin menjadi bintang (dalam hal ini Neymar); B adalah unsur mengikat yang merujuk pada pemain yang bekerja untuk kebaikan tim (unsur ini ada pada Cavani); dan C untuk sosok pemain yang penasaran dan rasa ingin taunya sangat besar, pemain yang masih dalam perjalanan atau proses (Mbappe ada pada unsur ini).
Tuchel punya alasan yang jelas kenapa sistem ABC itu ia terapkan di timnya yakni agar bisa terhubung dengan masing-masing pemain dan agar bisa menekan tombol yang tepat pada pemain untuk mengeluarkan rasa antusiasme, layaknya anak berusia 12 tahun, yang ada di dalam setiap orang.
Pendekatan Southgate, Enrique, Tuchel boleh saja berbeda. Tapi apa yang mereka berikan kepada para pemain di tim masing-masing, menampilkan tujuan yang sama yakni ingin membentuk tim yang kompak dan kohesif.
Lalu bagaimana dengan Teco dan Bali United? Rasa-rasanya Teco juga menghadapi kondisi yang tak jauh berbeda dengan Tuchel, Southgate, hingga Enrique yakni memiliki sejumlah pemain top dalam tim. Di Bali, Teco punya sederet bintang seperti Spaso, Irfan Bachdim, Stefano Lilipaly, Paulo Sergio, Willian Pachecho, Fadil Sausu, Melvin Platje, hingga Brwa Nouri. Teco tentu butuh pemahaman yang tinggi dan kerja ekstra keras untuk menyatukan visi bermain para pemainnya itu.
“Kalau Coach Teco, pendekatannya ke pemain itulah yang membuat pemain menjadi merasa lebih nyaman,” kata Gunawan soal gaya kepelatihan Coach Teco.
Satu hal yang menarik, usai berhasil meraih gelar juara, Teco juga berterima kasih kepada manajemen klub yang sudah menjalankan tugasnya dengan baik sehingga ia dan para pemain tak harus repot-repot menghadapi masalah tunggakan gaji seperti yang lazim dihadapi sejumlah klub lain. Permasalahan gaji ini selalu jadi sorotan di iklim sepak bola Indonesia sampai hari ini, dan Bali United coba meminimalisir masalah itu.
“Manajemen sangat bagus, gaji tidak pernah terlambat, Jadi kami mesti kerja keras untuk manajemen. Target posisi lima besar, tapi kami bisa juara. Untuk suporter, semua pertandingan di Bali hampir seluruh pertandingan penuh terima kasih untuk semua teman-teman di Bali,” kata Teco yang merupakan pelatih asal Brasil itu.
Senada dengan Teco, bek andalan Bali United Gunawan Dwi Cahyo juga mengapresiasi kerja manajemen klub yang sangat baik di Bali United. Sebab, manajemen yang baik ternyata memang berdampak bagus juga bagi para pemain yang harus fokus dari pertandingan ke pertandingan dan tidak perlu mengurusi hal-hal kecil di luar teknis yang tak ada hubungannya dengan permainan.
“Manajemen, alhamdulillah, selalu memenuhi kebutuhan kita. Karena kita hanya berusaha di dalam lapangan, sementara manajemen bekerja di luar lapangan,” kata Gunawan.
Tak hanya itu saja, Bali United sadar bahwa saat ini mereka sedang berkompetisi di industri sepak bola yang mau tak mau harus menjaga kesehatan finansial klub. Untuk itu, Bali United berusaha selangkah lebih maju untuk mengembangkan bisnis sepak bola di era modern dengan mengubah pengelolaan klub dari perseroan tertutup menjadi perseroan terbuka.
Tim berjuluk Serdadu Tridatu itu menjadi klub sepak bola pertama di ASEAN dan Indonesia yang melantai di bursa saham. Tercatat, harga saham PT Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA), pemilik klub sepak bola Bali United Senin kemarin (02/12/19) berada pada tren rendah di level Rp 340/saham saat ditutup minus 3,41% setelah Bali United berhasil memastikan gelar juara Liga 1 2019.
Lalu, pada perdagangan Rabu (04/12) sore, saham BOLA berada pada level Rp 354/saham saat ditutup minus 1,67 persen.
William McGregor, pendiri Liga Sepak Bola Inggris pada tahun 1888, pernah menyatakan pada awal 1905 bahwa “Football is a big business”. Kini sepak bola menjadi industri bisnis yang memiliki potensi yang besar, baik dalam skala domestik maupun skala internasional.
Belum lagi kalau bicara sponsor, Bali United punya sederet sponsor yang mendampingi mereka mengarungi kompetisi musim ini. Bicara sponsor, menariknya, seperti dikutip dari Tirto, Bali United tercatat ikut ‘membantu’ finansial sejumlah klub sepak bola di tanah air.
Dalam dokumen prospektus yang dirilis PT Bali Bintang Sejahtera, pengelola Bali United, pada 10 Juni lalu, tercatat ada peran penting Bali United dalam membantu finansial klub-klub Liga 1 dan Liga 2. Dijelaskan bahwa PT Bali Bintang Sejahtera memiliki beberapa anak perusahaan, di antaranya PT Kreasi Karya Bangsa.
Sebagai catatan, nyaris 90 persen perusahaan dimiliki PT Bali Bintang, sementara 10 persen sisanya dimiliki Yabes Tanuri, yang merupakan pemilik saham dan pendiri Bali United. Dalam dokumen tersebut disebutkan bahwa PT Kreasi Karya Bangsa, yang beroperasi sejak 1 April 2018, bergerak dalam bisnis agensi periklanan olahraga.
Di musim ini, jasa PT Kreasi ternyata dipakai sejumlah klub Liga 1 dan Liga 2 dalam mencari iklan. Setidaknya ada empat klub Liga 1 yang memakai jasa PT Kreasi yakni Arema FC, PSIS Semarang, PSS Sleman, Semen Padang; ditambah dua klub Liga 2 yakni PSMS Medan dan Celebes FC.
Salah satu sponsor utama yang sama dan tentunya tak asing dan melekat di jersey tiga klub Liga 1 seperti Arema, PSIS, dan PSS adalah Indofood. Ternyata tugas pokok PT Kreasi Karya Bangsa dalam dokumen prospektus terhadap tiga klub tersebut memang hanya menghubungkan satu sponsor, yakni Indofood.
Sekadar informasi, pemilik Indofood, yakni Anthony Salim (Salim Group), dan Corsa/Archiles yakni Pieter Tanuri, memiliki saham di Bali United.
Indofood sendiri mengucurkan dana senilai Rp6 miliar per tahun untuk Arema, nilai yang hampir sama juga didapat PSIS dan PSS Sleman. Selain itu, PT Kreasi Karya Bangsa juga menjalankan tugasnya dalam mengurus sponsor untuk Semen Padang yakni produk PT Multistrada Tbk seperti produk ban Achilles dan Corsa.
Luc Arrondel dan Richard Duhautois dalam tulisannya berjudul “The Small Business of Big Football” di CNRS News, menyebut bahwa sepak bola sebetulnya tidak pernah ‘menguntungkan’ karena beroperasi di liga yang terbuka. Hal ini merujuk pada sistem promosi dan degradasi yang sampai hari ini berlaku pada liga sepak bola, sehingga imbasnya sebuah tim harus menjaga kesehatan keuangannya dan mempertahankan performa tim.
Sistem yang disebut Arrondel dan Duhautois ini sebagai sistem elevator, berdampak pada strategi keuangan tim. Sistem ini ini akan memacu tim elite papan atas untuk berinvestasi dalam sisi kualitas, misalnya membeli pemain top dengan gaji tinggi. Hal ini dilakukan agar mereka bisa mempertahankan timnya dalam level tinggi dan di sisi lain juga bisa menghasilkan pendapatan.
Begitu pula sebaliknya, tim di papan bawah juga akan termotivasi untuk berinvestasi karena mereka tahu bahwa timnya bisa mendapatkan ganjaran promosi ke divisi yang lebih tinggi jika mampu tampil lebih baik. Selanjutnya, saat tim-tim baru naik kasta, tim-tim lainnya justru sudah berinvestasi untuk mempertahankan posisi mereka sendiri di level terbaik.
Pada situasi inilah tekanan pun muncul pada manajemen klub, terutama terkait keuangan klub dan gaji pemain. Di mana untuk bertahan di kasta tertinggi sebuah liga sepak bola dan agar bisa tampil di kompetisi klub antar negara, biasanya klub terkait akan siap menaikkan gaji pemain mereka atau menyodorkan kontrak baru.
Bali United dan klub-klub lain tentu berada pada posisi yang sama seperti situasi di atas; mempertahankan performa dan mengelola keuangan klub agar bisa bertahan di kasta tertinggi sepak bola Indonesia. Masalahnya, di saat Bali United pelan-pelan sudah menuju ke sana, bagaimana dengan klub-klub lain yang masih hobi menunggak gaji dan sistem manajemen klub yang masih belum teratasi dengan baik?