Isu Terkini

Di balik #AsumsiDistrik: Mengurai Manggarai

Dea Anugrah — Asumsi.co

featured image

Sejauh yang saya ingat, kakek saya selalu tinggal di Kampung Katak, sebuah kampung kota di belakang Jalan Sudirman, Pangkal Pinang. Rumahnya sesak dan bobrok dan berimpitan dengan bangunan-bangunan lain. Beberapa tahun sebelum meninggal dunia, dia pindah ke rumah yang lebih patut di lingkungan yang sama.

Gang-gang di sana sempit, apak, gelap, dan umumnya tergenang air buangan rumah tangga. Kakek saya beruntung karena jalan menuju rumahnya dilengkapi pelimbahan, dan saya senantiasa berhati-hati agar tak menginjak terali penutup lubang tersebut. Bukan soal merawat fasilitas umum, cuma tak mau belepotan tahi anak tetangga.

Tak jauh dari rumah kakek saya, sepanjang jalan utama kampung, ada selokan mati selebar lima meter. Airnya meluap saban hujan deras. Kalau cuaca cerah dan hari sudah malam, kadang ada orang dewasa berjongkok di atas pipa besar yang melintang di atasnya—tentu buat berak juga.

Kata ibu saya, dia pernah tercebur ke selokan itu saat belajar mengendarai sepeda.

Di Yogyakarta, saya dan dua kawan baik tinggal di tepi Kali Winongo, Kricak Lor, selama setahun. Menurut kami rumah itu bagus dan sewanya terjangkau. Meskipun beberapa teman asli Yogya mengingatkan supaya kami selalu waspada (“Banyak gentho dan maling,” kata salah seorang di antara mereka), saya pikir kehidupan di Kricak wajar-wajar saja.

Sesekali memang saya terbangun tengah malam, dikejutkan oleh bunyi slopok-slopok dari rumah tetangga, lalu memindahkan bantal ke ujung lain kasur sambil menggerutu. Tapi itu bukan masalah. Pengalaman paling menjengkelkan buat saya justru datang dari luar kampung: suatu hari rumah kami disemprot racun serangga pagi-pagi, tanpa pemberitahuan, atas nama pemberantasan demam berdarah.

Kota yang saya tempati selama hampir enam tahun belakangan, Jakarta, jelas menyembunyikan banyak sekali kampung kota di belakang jalan-jalan besar, pencakar langit, dan pusat-pusat perbelanjaannya. Menurut catatan Badan Pertanahan Nasional dan Bank Dunia, hampir 49% wilayah Jakarta, 118 dari 267 kelurahannya, memiliki permukiman kumuh, termasuk Kelurahan Bangka tempat saya tinggal dan bekerja sekarang.

Namun, terus terang saja, saya tak pernah memikirkan perkara tersebut hingga setahun terakhir. Saya bahkan tak mengingat-ingat Kampung Katak sejak kakek saya wafat, dan baru tadi malam mengetahui Kricak masuk daftar prioritas program pengentasan kekumuhan. Dengan kata lain, terlepas dari kedekatan fisik yang pernah dan sedang saya alami dengan kampung-kampung kota beserta para penghuninya, pikiran saya selalu berjarak dari mereka.

Dan jarak itu pernah mengelabui pikiran saya.

Pada 2017, ketika jaringan pendukung salah satu pasangan calon gubernur Jakarta mengeksploitasi kecemasan dan penderitaan orang-orang di perkampungan kota, yang mula-mula saya lihat hanya rasisme gila-gilaan.

Maka berbuih-buihlah mulut saya mengucapkan kata toleransi. Mencuplik contoh dari sana-sini, termasuk kampung halaman saya—di mana masyarakat yang heterogen hidup secara harmonis—saya bertingkah seolah-olah paling mengerti apa artinya menjadi beradab.

Kalau saat itu ada yang mengatakan kaum miskin kota bodoh dan gampang dihasut, saya mengangguk. Ketika ada yang marah-marah, menuduh mereka telah mengkhianati pemimpin serbamulia yang muncul hanya sekali dalam 348 tahun, saya jadi ikut sebal dan kecewa. Itulah pikiran yang tak adil. Bagaimana mungkin seseorang beradab tanpa terlebih dulu berusaha menjadi manusia yang seadil-adilnya?

Antropolog Roanne van Voorst, dalam pengantar bukunya Tempat Terbaik di Dunia, menyampaikan bahwa pejabat-pejabat pemerintah yang ditemuinya di Indonesia kerap pula bersikap tak adil. Orang-orang itu membayangkan warga perkampungan kumuh miskin akibat kesalahan sendiri, sebab mereka berkelakuan kriminal, agresif, dan malas. Padahal, tulis van Voorst, “Pejabat itu sendiri belum pernah sekali pun menginjakkan kaki di kampung kumuh!”

Menurut laporan “Indonesia’s Urban Story” yang diterbitkan Bank Dunia (2016), Indonesia sedang mengendarai gelombang perubahan besar: ekonomi bergaya perdesaan semakin ditinggalkan. Produktivitas sektor industri dan jasa melampaui agrikultur berkali-kali lipat. Urbanisasi melesat kencang. Tingkat pertumbuhan kota-kota mencapai 4,1% per tahun, dengan proyeksi 68% populasi bakal bermukim di perkotaan pada 2025.

Secara teoretis, perubahan itu merupakan kabar gembira, sebab urbanisasi biasa disertai pertumbuhan ekonomi, peningkatan penghasilan, dan pengentasan kemiskinan. Namun, menurut data tahun 2012 yang dinukil dalam laporan itu, Indonesia hanya memperoleh 2% pertumbuhan PDB per 1% urbanisasi. Sebagai perbandingan, Cina mendapatkan 6%, Vietnam 8%, dan Thailand 10% pada periode yang sama.

Sudah begitu, Teguh Dartanto dalam “Why is growth less inclusive in Indonesia?” (2013) menyatakan bahwa pengentasan kemiskinan di Indonesia justru melambat secara signifikan dan kesenjangan pendapatan makin luas dalam tiga dekade terakhir walaupun ekonomi terus tumbuh.

“Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1980an bersifat inklusif, artinya memacu pertumbuhan kesejahteraan orang miskin lebih cepat ketimbang orang kaya,” katanya. “Tetapi sekarang itu tak terjadi.” Tepatnya, menurut Laporan Bank Dunia pada 2015, pertumbuhan ekonomi di negara ini hanya dinikmati oleh 20% kelompok terkaya, yaitu kelas konsumen berpendapatan bersih tahunan di atas US$3,6 ribu dan berpengeluaran harian US$10 hingga US$100.

Salah satu sebabnya, sektor-sektor jasa dan padat modal seperti pertambangan, keuangan, serta telekomunikasi hanya menyerap sedikit tenaga kerja. “Itu pun cuma yang terampil,” kata Teguh. Bukan rahasia bila warga miskin kerap tak bisa memenuhi prasyarat peluang-peluang tersebut, sehingga yang tersisa tinggallah pekerjaan-pekerjaan informal bergaji rendah, tanpa jaminan keselamatan, dan tak memungkinkan peningkatan keterampilan.

Persoalan lainnya ialah pemisahan ruang hidup, yang berjalinan dengan akses infrastruktur, ketersediaan air bersih, kerawanan terhadap bencana, ancaman penggusuran, dan lain-lain. Semua itu menentukan seberapa besar tantangan struktural yang mesti dihadapi seseorang jika dia hendak melepaskan diri dari belenggu kemiskinan.

Dua pekan lalu, para produser bercerita tentang miniseri tiga episode yang sedang mereka kembangkan untuk Asumsi. Program itu bernama “Distrik” dan gagasan dasarnya ialah menyoroti karakteristik sekaligus berbagai masalah sosial dalam sebuah kawasan dari dekat. Saya senang sekali diajak ikut bekerja dan belajar dalam produksi ini. “Kalau penontonnya banyak,” kata Pangeran Siahaan, “kita bikin season berikutnya.”

Panggung dan mikrofon tentu kami sediakan untuk orang-orang yang mengalami perkara-perkara itu sebagai kenyataan hidup sehari-hari. Iktikad kami hanyalah mengamplifikasi suara mereka sebaik yang kami bisa.

Episode pertama, tayang hari ini, berjudul “Mengurai Manggarai.” Orang-orang yang berbicara kepada kami sadar betul bahwa rencana penggusuran dari dua sisi, bantaran Kali Ciliwung dan/atau Stasiun Manggarai, bisa dimulai kapan saja. Namun, tak ada yang bisa dikerjakan selain menunggu, menunggu, seperti yang sudah-sudah.

“Kalau ada surat dari atas, warga akan kami kumpulkan,” kata salah seorang di antara mereka. “Nggak pakai ribut-ribut, sebab melawan pemerintah pun kita akan kalah.”

Seseorang yang lain mengaku cemas karena belum ada pembicaraan dengan otoritas, baik soal pembebasan lahan maupun persiapan agar tak terputus dari mata pencarian sesudah relokasi.

Warga yang lain lagi, perempuan, mengatakan ia tetap ingin tinggal di Manggarai seandainya boleh memilih. “Selama ini udah banyak yang nyuruh pindah. Ngapain di Manggarai? Kan susah? Ye, biarin, orang udah betah,” katanya.

Kata-kata itu seakan bergema dengan catatan Bronwyn Duke tentang warga Kampung Pulo yang digusur secara paksa pada 2015. “Bukan hanya kekhawatiran finansial yang membuat mereka enggan pindah,” tulisnya. “Sebagaimana masyarakat mana pun yang tinggal di suatu tempat untuk sekian lama, mereka telah menciptakan berbagai kenangan, kisah, dan kultur tersendiri di sana.”

Selamat menonton.

Share: Di balik #AsumsiDistrik: Mengurai Manggarai