Isu Terkini

Di Balik Aksi Simbolik Pemakaman KPK

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Koalisi masyarakat sipil dan para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar aksi “Pemakaman KPK” di lobby Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (17/09/19) malam. Aksi itu digelar sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah dan DPR RI yang dinilai berupaya melemahkan lembaga antirasuah.

Aksi itu dimulai dengan parade bendera kuning dengan berbagai pesan seperti “Reformasi Dikorupsi” dan sebagainya. Tanda berkabung itu menyimbolkan kematian KPK. Setelah itu, massa aksi menaburkan bunga pada sebuah makam tiruan lengkap dengan batu nisan, diiringi lagu “Gugur Bunga” di depan pintu masuk gedung KPK.

Massa aksi juga beramai-ramai menyoroti logo KPK dengan laser merah sebagai simbol KPK menjadi target para koruptor kelas kakap. Tangisan sejumlah massa aksi juga ikut mewarnai aksi tersebut.

Mereka kecewa atas pengesahan revisi UU 30/2002 tentang KPK yang dilakukan DPR RI, Selasa (17/09) siang. Pengesahan itu melengkapi kekecewaan atas pimpinan KPK terpilih periode 2019-2023 yang diduga memiliki rekam jejak pelanggaran etik berat.

Ketua Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan bahwa KPK sengaja dilemahkan. “Kita semua berduka malam ini. Gedung di belakang ini bukan lagi akan menjadi benteng terakhir pemberantasan korupsi,” kata Asfinawati kepada Asumsi.co di depan Gedung KPK, Selasa (17/09) malam.

Serangan Balik terhadap KPK

Pengesahan revisi UU 30/2002 dan keterpilihan pimpinan KPK yang masih diragukan, menurut Asfinawati, ialah serangan balik para koruptor terhadap lembaga antirasuah negara. “Serangan balik para koruptor bukan lagi menimpa masyarakat Indonesia, tapi menimpa garda terdepan pemberantasan korupsi. Karena itu, malam ini kita akan mengingat sejarah kelam bangsa ini. Bagaimana korupsi membuat anak-anak di ujung Papua meninggal karena kelaparan, karena korupsi,” ucapnya.

Baca Juga: Wajah Baru KPK: Lima Pimpinan Resmi Ditetapkan

“Yang kita bela adalah bangsa Indonesia, negara indonesia yang dibentuk tahun 1945 dan bertujuan menyejahterakan rakyat Indonesia,” ujarnya.

Asfinawati mengatakan bahwa KPK yang lahir pada 2002 lalu tercatat telah banyak menangkap koruptor besar. Orang-orang yang dijebloskan ke penjara itu merupakan para pejabat negara dengan berbagai latar belakang: anggota legislatif, kepala daerah, hingga hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.

Potensi Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi

Lebih lanjut, Asfinawati menilai Presiden Joko Widodo justru tak menepati janji kampanyenya saat Pilpres 2019. Apa yang disampaikan Jokowi benar-benar bertolak belakang dengan kenyataan hari ini. “Sangat tidak sesuai, karena janji presiden untuk memberantas korupsi, mendukung pemberantasan korupsi,” kata Asfinawati.

Ada andil Jokowi dalam pengesahan revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Maka dari itu, lanjutnya, otomatis Jokowi ikut dalam upaya pelemahan pemberantasan korupsi. “Dan RUU KPK ini justru yang dilakukan presiden turut serta pelemahan pemberantasan korupsi.”

Apalagi ada rencana pembentukan Dewan Pengawas yang menurut Asfinawati merupakan strategi yang jelas-jelas ingin mematikan KPK. “Dewas ini justru mengambil alih fungsi KPK dan dari sini terlihat bahwa DPR sedang mematikan hingga mengerdilkan fungsi KPK yang sesungguhnya.”

Padahal, sudah beberapa waktu terakhir ini, banyak tokoh, baik dari kalangan akademisi, guru besar, hingga aktivis antikorupsi, yang berkali-kali menyatakan penolakan terhadap revisi RUU KPK. Namun, Jokowi dan DPR tetap saja tutup telinga dan tak mau mendengarkan aspirasi masyarakat.

“Tapi rasa-rasanya sudah banyak publik yang bersuara untuk tidak melanjutkan revisi UU KPK, tapi presiden dan DPR tetap melanjutkannya,” ujarnya.

Baca Juga: Strategi Capim KPK Memberantas Korupsi

Maka satu-satunya cara dan langkah yang masih bisa diambil dalam beberapa waktu ke depan adalah dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).”Yang pasti, judicial review ke MK kalau sesuai jalur hukum.”

Sebab, disahkannya revisi UU KPK ini dinilai sebagai produk cacat hukum. Sehingga peluang mengajukan judicial review ke MK pun akan sangat terbuka. Nantinya, ketika judicial review itu diajukan, pemerintah dan DPR harusnya malu lantaran legislatif menciptakan aturan yang buruk yakni bukannya menguatkan KPK tapi justru ada upaya melemahkan.

Terlebih, pengesahan UU No. 30 Tahun 2002 juga cacat formil. Selain tidak masuk dalam Prolegnas prioritas 2019, rapat Paripurna di DPR pun tak memenuhi kuorum dan hanya dihadiri sekitar 80-100 orang saja.

Selasa (17/09) siang, DPR RI mengesahkan Revisi UU Nomor 30/2002 tentang KPK dalam Rapat Paripurna. Setidaknya ada tujuh poin revisi UU KPK yang telah disepakati DPR dan pemerintah. Pertama, kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya tetap independen.

Kedua, pembentukan dewan pengawas. Ketiga, pelaksanaan penyadapan. Keempat, mekanisme penghentian penyidikan. Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan lembaga penegak hukum lain. Keenam, mekanisme penggeledahan dan penyitaan, serta ketujuh, terkait sistem kepegawaian KPK.

Share: Di Balik Aksi Simbolik Pemakaman KPK