Politik

Dalih Inovasi Politik di Balik Proses Giring jadi Ketum PSI

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
ANTARA/Arindra Meodia

Partai Solidaritas Indonesia resmi menetapkan Giring Ganesha Djumaryo sebagai ketua umum menggantikan Grace Natalie. Terpilihnya mantan vokalis band Nidji itu pun menimbulkan tanya publik, terutama soal proses dan mekanisme pemilihan yang digunakan PSI dalam memilih ketum.

Sebab, sebelum PSI secara resmi mengumumkan Giring sebagai Ketum, tidak ada informasi perihal agenda kongres atau musyawarah nasional untuk memilih ketum seperti yang dilakukan oleh partai politik lain di Indonesia.

Belakangan diketahui bahwa proses pemilihan PSI diketahui melalui mekanisme internal. Sebagaimana tertuang dalam AD/ART PSI, posisi ketum ditentukan oleh Dewan Pembina selaku pemegang otoritas tertinggi partai.

Inovasi Politik

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PSI, Isyana Bagoes Oka mengatakan mengatakan ketiadaan mekanisme Kongres atau Munas sebagaimana umumnya yang diterapkan parpol di tanah air untuk memilih ketum merupakan bentuk inovasi politik.

Dia berkata kewenangan besar kepada Dewan Pembina untuk memutuskan siapa yang layak atau tidak menjadi ketum PSI berdasarkan pembelajaran dari praktik politik di parpol lain.

“Terkait dengan mekanisme penentuan Ketua Umum di PSI, sejak awal, PSI memang diniatkan sebagai sebuah inovasi politik. Kami belajar dan mencari tahu bagaimana praktik-praktik di partai lain, apa yang baik dan apa yang kami anggap bisa diperbaiki,” ujar Isyana kepada Asumsi.co.

Isyana berkata pihaknya memandang bahwa pemilihan ketum yang secara terbuka dengan melibatkan pengurus partai di tingkat pusat hingga daerah merupakan sebuah masalah. Proses itu dinilai rawan politik yang.

Jika mekanisme itu diterapkan, PSI khawatir partai bisa diambil alih oleh orang-orang yang punya uang banyak yang bersedia menempuh cara apapun agar bisa terpilih sebagai Ketua Umum.

“Kami tidak ingin itu terjadi di PSI. Kami tidak ingin sebuah proses atau mekanisme pemilihan ketua umum justru berpotensi mengancam cita-cita kami, memperjuangkan DNA kami kebajikan dan keragaman di dunia politik,” ujarnya.

Isyana berkata desain pemilihan ketum yang hanya melibatkan pimpinan partai masih bisa berubah tergantung situasi dan kondisi. Sebab, PSI masih terus belajar dan berusaha memperbaiki diri untuk menemukan mekanisme terbaik sambil memastikan perjuangan politik partai tidak terganggu di jalan karena mekanisme yang saat ini dinilai bermasalah.

“Jangan sampai proses atau mekanisme yang dianggap ideal — justru membuat tujuan tidak tercapai. Kami masih baru, kami masih terus belajar,” ujar Isyana.

Kewenangan Dewan Pembina

Isyana memastikan struktur Dewan Pembina juga akan terus membesar ke depannya, seiring dengan perkembangan partai.  Seperti partai lain, Dewan Pembina PSI akan diisi oleh orang-orang yang telah berkontribusi besar dalam mengembangkan PSI.

Selain sosok seperti Grace dan Raja Juli, dia mengklaim Ketua DPW yang berhasil menghasilkan banyak kursi di satu provinsi hingga kader yang militan berpotensi masuk ke dalam struktur Dewan Pembina PSI.

“Terkait dengan Dewan Pembina, struktur Dewan Pembina juga akan terus membesar ke depannya, seiring dengan perkembangan partai.  Orang-orang yang telah berkontribusi besar dalam mengembangkan PSI akan menjadi bagian dari Dewan Pembina,” ujar Isyana.

Saat ini, Isyana menjelaskan Dewan Pembina berfungsi mengawasi agar DPP PSI bekerja dan berjalan sesuai jalur dan cita-cita partai. Dewan Pembina, kata dia memberikan kebebasan kepada DPP untuk mengambil keputusan sehari-hari terkait partai.

Dalam konteks penentuan calon anggota legislatif misalnya, Dewan Pembina memberi kesempatan kepada DPP dan DPD PSI melibatkan panelis independen untuk menyeleksi calon-calon anggota legislatif dari PSI.

Sedangkan penentuan calon kepala daerah, PSI menjaring aspirasi dari masing-masing DPD dan DPW untuk mengajukan nama-nama calon kepala daerah yang ingin diajukan. Singkatnya,diajukan ke DPP dan kemudian menjalani mekanisme seleksi oleh tim khusus yang dibentuk DPP.

“Semua kepala daerah yang diusung dan didukung PSI adalah hasil usulan dari Sis dan Bro DPD dan DPW masing-masing,” ujarnya.

Salah satu contoh mekanisme itu, kata Isyana bisa dilihat di DPD PSI di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT). PSI memiliki satu fraksi yang terdiri dari 3 orang anggota legislatif.  Pada saat pemilihan Wakil Bupati untuk menggantikan Bupati sebelumnya yangg meninggal dunia, DPP PSI sepenuhnya mendukung nama yang diusulkan DPD PSI Ende hingga diputuskan oleh DPRD Ende.

“Yang jelas, kami di PSI selalu terus belajar dan memperbaiki diri agar menjadi lebih baik di masa datang,” ujar Isyana.

Egaliter

Isyana membantah adanya peraturan otoriter di internal partai. Dia justru menegaskan PSI adalah partai yang egaliter. Selain dalam mekanisme pemilih anggota legislatif dan kepala daerah, dia menyebut sifat egaliter terlihat dalam kultur dan bagaimana sebuah keputusan diterima dengan baik oleh semua pihak.

Di PSI, kata dia pengurus diberi keluasan untuk berbeda pendapat dan menyampaikan argumentasi. PSI juga diklaim tidak birokratis dan tidak formalistik.

“Kami bisa saling berdebat sambil tetap rileks dan tertawa. Hal terpenting di PSI adalah trust, rasa saling percaya dan mendukung. Itulah yang membuat kami selalu solid tanpa menghilangkan sisi egaliter tadi. Ini juga bisa terlihat dari bagaimana para pengurus selama ini bisa menerima keputusan DPP termasuk ketika nama Giring Ganesha ditetapkan sebagai ketua umum,” ujar Isyana.

Lebih dari itu, Isyana menegaskan kembali PSI terus berusaha belajar mencari bentuk kepemimpinan yang efektif dan bisa diterima semua pihak.

Pengamat Politik LIPI, Wasisto Raharjo Jati menilai ada dua sudut pandang dalam melihat mekanisme pemilihan ketum di PSI. Dari sisi internal, dia berkata mekanisme ketum ditentukan Dewan Pembina sebagai bentuk egaliter karena yang ditunjuk adalah orang yang berperan bagi partai.

“Tapi di luar, model aklamasi ini menentang spirit demokrasi yang ada di setiap AD/ART partai sebenarnya. Ini artinya tergantung dari sudut pandang mana kita melihat keterpilihan aklamasi ini,” ujar Wasisto kepada Asumsi.co.

Melihat kondisi itu, Wasisto menyarankan PSI untuk memilih mekanisme yang digunakan parpol pada umumnya, yakni kongres yang menghadirkan sejumlah calon dan melibatkan seluruh pengurus dalam penentuannya.. Dia berkata mekanisme itu menunjukkan bahwa PSI telah berdemokrasi sejak di internal partai.

“Kongres dan mekanisme seperti Munas itu menunjukkan partai itu sudah demokratis di internal sebelum mereka berjuang di pemilu,” ujarnya.

Terkait dengan pemilihan Giring sebagai Ketum, Wasisto melihat ada tujuan pragmatis daripada demokratis. Dia menilai PSI seolah sengaja menempatkan figur populer untuk mengatrol suara partai. Kondisi itu, kata dia juga didukung oleh posisi keterpilihan atau nominasi calon yang agak lentur di PSI.

“PSI melihat pemilu kedepan yang serantak ini personalisasi yang lebih ditonjolkan daripada partai. Makanya dipilihlah figur seperti Giring ini sebagai pusat atensi PSI agar bisa dilirik publik atau pemilih pemula,” ujar Wasisto.

Lebih dari itu, Wasisto menyatakan bahwa mekanisme pemilihan ketum yang terpusat di DPP meniadakan aspirasi dari bawah. Jika pola itu terus diterapkan, tidak menutup kemungkinan bakal faksi di internal PSI di kemudian hari.

Baca Juga:

Share: Dalih Inovasi Politik di Balik Proses Giring jadi Ketum PSI