Eksklusif

Cerita Jurnalis Tunanetra Menikmati Olimpiade, Mari Adil Sejak dalam Pikiran

Irfan — Asumsi.co

featured image
Indonesiana Tempo

Bagi penonton umum, pertempuran partai final ganda putri di Olimpiade Tokyo 2020 mungkin hanyalah sekedar perpindahan kok sambil sesekali dibumbui gerak-gerik ekspresif pemain di tengah ketegangan pertandingan. Misalnya, warganet ramai mengomentari momen di saat Greysia Polii berlari ke pinggir lapangan di tengah rally untuk mengganti raketnya yang putus, atau ketika Apriani Rahayu berteriak penuh semangat demi melepas tekanan.

Namun, bagi jurnalis difabel netra Cheta Nilawaty, 39, aksi laga yang berujung pada peraihan satu-satunya medali emas kontingen Indonesia di Tokyo tersebut adalah sesuatu yang “indah didengar”. Derap kaki, deru napas atlet, dan intensitas suara kok yang beradu dengan raket menjadi tumpuan Cheta dalam menikmati jalan pertandingan.

Cheta, yang mengelola kanal difabel untuk Tempo, berbagi cerita soal sensasi yang dirasakan melalui sebuah kicauan di halaman Twitter pribadi miliknya.

Kicauan ini disukai oleh 13.000 akun, dicuit ulang 1.800 kali dan dikomentari oleh 121 akun dalam 24 jam sejak terbit. Beberapa pesan balasan menyamai tingkat antusiasme Cheta, tapi ada juga yang terusik. Padahal, tak ubahnya penonton masa lampau sebelum era televisi yang “menyaksikan” pertandingan lewat laporan komentator olahraga di radio, para tunanetra juga mengandalkan telinga mereka saat menikmati pertandingan.

Untuk pertandingan Greysia-Apriyani, Cheta mengaksesnya lewat YouTube. Pertandingan itu dikomentari dalam bahasa Mandarin. Cheta tidak mengerti Mandarin, tetapi kualitas suara yang mumpuni mampu menghadirkan pertandingan tersebut ke alam pikiran Cheta.

“Saya sudah enggak dengar komentatornya karena bahasa Mandarin kan. Tapi saya dengar kok, langkah kaki para atlet, suara tepakan raket pada kok, nafasnya atlet seperti apa. Itu saya dengar. Apalagi saya sebelumnya atlet (Cheta pernah berkiprah sebagai Taekwondoin) jadi saya tahu ini sedang rally panjang,” kata Cheta kepada Asumsi.co, Rabu (4/8/21).

Ia menambahkan: “Terkadang saya dengar di pertandingan itu ada arahan dari pelatih, enggak tahu betul atau bukan, tapi suaranya agak medok, bilang: “geser dikit, geser dikit”. Itu saya tertawa. Setiap ditepok, wut, wut, wut, makanya saya bilang seperti kung fu,” ucapnya.

Advokasi Setiap Hari

Di utasan yang sama, Cheta juga membalas banyak pertanyaan terkait bagaimana ia menggunakan Twitter. Ia mengajak warganet untuk melihat lagi fitur-fitur yang tersedia di gawai pintar milik masing-masing.

Stigma yang masih kuat terhadap penyandang disabilitas kerap menempatkan aktor disabilitas sebagai advokasi bagi komunitasnya setiap saat.

Menurut Cheta, dalam perspektif umum, banyak orang menilai penyandang disabilitas tidak mampu melakukan pekerjaan yang dilakukan orang pada umumnya. Padahal, kalau diberikan akses, para penyandang disabilitas adalah juga manusia yang berdaya. Oleh karena itu, mengutip Pramoedya Ananta Toer, Cheta menyebut dalam menyikapi penyandang disabilitas orang harus adil sejak dalam pikiran.

“Kalau sudah adil sejak dalam pikiran, disabilitas hanya keanekaragaman biologis. Sementara kapasitas otak sama. Kami bisa berdaya,” kata Cheta.

Menjadi Difabel di Usia Dewasa

Telah bekerja sebagai jurnalis sejak tahun 2006, Cheta sempat berada di titik terendah hidupnya ketika ia harus kehilangan kedua penglihatannya akibat Ablasio Retina.

Kondisi retina robek dalam kasus Cheta disebabkan oleh proses kebocoran protein akibat diabetes. Ablasio retina pertama kali menyerang mata kanan Cheta di bulan Mei 2016.

“Yang saya rasakan itu seperti kalau layar LCD pecah, tapi ronanya merah. Sempat juga kayak lihat asap putih, jadi untuk melihat jelas, saya seperti harus mengintip-intip,” kata Cheta.

Mata kanannya tidak lagi bisa digunakan maksimal, otomatis mata kiri menjadi tumpuan. Namun, di tahun yang sama, Ablasio retinanya menjalar ke mata kiri yang selama ini bekerja keras menggantikan tugas mata kanan. Perlahan penglihatan Cheta makin menurun.

Cheta rutin melakukan perawatan untuk kedua matanya. Bahkan ia dioperasi sampai delapan kali. Namun, delapan kali operasi ini tak menyelamatkan penglihatan Cheta. Sejak 22 Desember 2016, Cheta pun hidup berdampingan dengan keterbatasan penglihatan.

“Itu titik terendah dalam hidup saya. Saat itu saya 34 tahun,” ujar Cheta mengenang.

Menjadi penyandang tunanetra di usia yang sudah dewasa tentu bukan hal yang mudah bagi siapa saja, termasuk bagi Cheta. Beda dengan mereka yang menyandangnya dari lahir, perlu tekad yang kuat bagi Cheta untuk kembali berdaya.

Semangat itu memang tidak begitu saja muncul. Ia sempat berpikir kalau kebutaan yang ia sandang akan membuatnya harus kehilangan banyak hal termasuk pekerjaan. Selain karena ia merasa pekerjaan wartawan mesti menggunakan lima indera, sejak melakukan perawatan rutin pada matanya pun, ia sudah sering melayangkan izin sakit. Namun, ternyata kantor media tempat Cheta bernaung cukup progresif.

“Sejak saat itu saya masuk kantor memang sudah jarang. Kadang-kadang masuk kadang-kadang enggak. Apalagi di bulan September-Oktober di mana saya mulai kehilangan pandangan di dua mata saya. Itu saya merasa paling down. Saya pikir bakal di-lay-off (oleh kantor), ternyata enggak. Malah disuruh ke Mitra Netra di Jalan Lebak Bulus,” ucap dia.

Mitra Netra adalah sebuah yayasan yang memiliki program peningkatan kualitas tunanetra di Jakarta. Di sana, Cheta mulai melatih diri dengan kondisi barunya mulai dari menggunakan tongkat sebagai alat bantu mobilitas, hingga penggunaan teknologi untuk tunanetra.

Sekembali ia bekerja, Cheta meninggalkan topik-topik megah seperti ekonomi dan KPK-Tipikor untuk berkontribusi di kanal jurnalisme warga yang mengusung tiga sub bagian soal rehabilitasi, aksesibilitas, dan inklusivitas. Kanal tersebut meluncur tepat di saat Asian Para Games 2018.

Menurut Cheta, tiga subkanal ini adalah apa yang paling dibutuhkan oleh penyandang disabilitas. Mereka memerlukan rehabilitasi yang dapat mengurangi dampak kecacatan, serta aksesibilitas dan inklusivitas yang membantu membuat penyandang disabilitas lebih berdaya.

“Beruntungnya saat saya menyandang disabilitas ini, sudah era digital. Di mana untuk bepergian saya sudah bisa mengandalkan transportasi daring. Dari rumah ke kantor saya juga sudah biasa. Untuk liputan, kantor juga menyediakan pendamping,” kata dia.

Isu Difabel: Kaset Baru, Lagu Lama

Menurut Cheta, pemerataan akses pemberdayaan dan pendidikan untuk penyandang disabilitas masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan masyarakat sipil. Buat penyandang disabilitas di kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta, mungkin sudah amat banyak lembaga pendidikan atau yayasan yang bisa memberdayakan. Namun, tidak begitu bagi mereka yang di pedesaan.

“Isunya masih kaset baru lagu lama, dikemas dalam bentuk apapun, pendidikan yang setara untuk disabilitas masih banyak kekurangannya. Bahkan di desa-desa masih banyak penyandang disabilitas yang disembunyikan keluarga karena disangka aib,” ucap dia.

Ia pun melanjutkan, inklusivitas bagi penyandang disabilitas juga diperlukan. Namun, tak dimungkiri kepercayaan pada penyandang disabilitas masih minim bahkan dari aktor terdekat seperti keluarga sekalipun.

“Penyandang disabilitas masih jadi lex specialis dari kehidupan, dianggap tidak mampu. Belum jadi lex generalist. Makanya advokasi dari aktor disabilitasnya seperti saya adalah penting untuk memupus stigma ini,” ucap dia.

Share: Cerita Jurnalis Tunanetra Menikmati Olimpiade, Mari Adil Sejak dalam Pikiran