Isu Terkini

Cerita Daoed Joesoef: Dari Tolak Bank Indonesia Hingga ‘Matikan’ Politik Kampus

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) era Presiden Soeharto, Daoed Joesoef meninggal dunia pada Selasa (23/01) pukul 23.55 WIB di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Semasa hidupnya, Daoed dikenal secara luas sebagai sosok yang punya kontribusi besar di bidang pendidikan dan ekonomi. Apa saja warisan Daoed Joesoef?

Daoed Joesoef lahir di Medan, Sumatera Utara pada 8 Agustus 1926 silam. Daoed kecil menempuh pendidikan di HIS, Medan pada tahun 1939, lalu melanjutkan ke MULO-Tjuu Gakko, Medan pada 1944. Sosok yang wafat di usia 91 tahun itu mengenyam pendidikan SMA di Yogyakarta pada tahun 1949.

Lalu, Daoed meraih gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Jakarta pada tahun 1959. Daoed kemudian tumbuh sebagai seorang ekonom dan akademisi di bidang ekonomi moneter. Daoed pernah menjadi Kepala Departemen Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia. Nah, bekal pendidikan di bidang ekonomi inilah yang membuat Daoed jadi sosok penting yang dibutuhkan negara.

Tolak Bank Indonesia

Menariknya, meski punya latar belakang pendidikan di bidang ekonomi, Daoed Joesoef tak serta merta mau terjun langsung sebagai pekerja di bidang ekonomi. Padahal, pada tahun 1953, beliau sempat ditawari untuk menjadi Gubernur Bank Indonesia menggantikan Sjafruddin Prawiranegara.

Sayangnya, seperti dikutip dari Kompas.com, Senin (08/08/2016) lalu, Daoed langsung menolak tawaran besar tersebut dengan alasan independensi. Berdasarkan penjelasan Daoed, ia tak akan lagi bebas dan menulis jika lebih memilih menjadi Gubernur BI.

“Saya menolak karena jika saya masuk BI, saya tidak lagi bebas menulis dan berpikir. Segala tulisan harus dikonsultasikan dengan atasan,” kata Daoed Joesoef.

Setelah menolak tawaran untuk menjadi Gubernur BI tersebut, Daoed pun tetap melanjutkan kiprahnya di dunia akademisi sebagai pendidik. Tak berhenti sampai di situ saja, Daoed bahkan memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Sorbonne, Paris, Perancis.

Tak tanggung-tanggung, pada rentang tahun 1964-1973, Daoed sukses meraih dua gelar doktor sekaligus yakni Ilmu Keuangan Internasional dan Hubungan Internasional (1967) serta Ilmu Ekonomi (1973) di Universite de Paris I, Pantheon-Sorbonne, Perancis.

Selama di Sorbonne, pemikiran Daoed terus tumbuh dan berkembang. Di sana, Daoed menyusun sejumlah konsep penyelenggaraan negara dengan pendekatan multidisipliner.

“Konsep itu terdiri dari pembangunan ekonomi nasional, pertahanan keamanan, dan pembangunan pendidikan,” jelas Daoed.

Tawaran Jadi Mendikbud

Sepulang dari Sorbonne, tugas negara pun menanti Daoed Joesoef. Yap, tawaran menjadi menteri pun menghampirinya. Presiden RI ke-2, Soeharto memintanya untuk menjadi menteri di Kabinet Pembangunan III.

Menariknya, tugas negara yang ditawarkan Presiden Soeharto untuk Daoed bukanlah di bidang ekonomi, walaupun Daoed sendiri merupakan sosok yang kental memiliki latar belakang di dunia ekonomi. Daoed diminta untuk mengurusi bidang pendidikan.

Pertemuan Daoed dengan Soeharto di Cendana jadi momen bagi sosok berkacamata itu untuk menyampaikan konsep pendidikan yang disiapkannya. Daoed mengatakan, ia terkejut karena Soeharto mengaku sudah tahu konsep yang ia tawarkan tersebut.

“Itu sebuah misteri. Mungkin beliau tahu melalui Mohammad Hatta (mantan Wapres). Pasalnya, sebelum dipanggil Pak Harto, saya memang sempat menyampaikan konsep-konsep saya kepada Hatta. Entahlah,” jelas Daoed.

Daoed kemudian menyiapkan konsep pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan, yang membangun masa depan melalui pendidikan generasi muda. Menurut dia, generasi muda adalah investasi besar bangsa.

“Mereka harapan sekaligus manusia masa depan. Melalui pendidikan kita menyiapkan masa depan. Ada nilai investasi di sana dengan memberi generasi muda cukup ilmu,” tutur Daoed.

Kebijakan Kontroversial NKK/BKK

Daoed yang dianggap sebagai manusia pelintas zaman ini pernah mengeluarkan sebuah kebijakan kontroversial saat menjabat sebagai Mendikbud di era Orde Baru. Kebijakan tersebut adalah Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).

Tujuan utama kebijakan tersebut adalah untuk membersihkan kampus dari aktivitas politik. Seperti dilansir Wikipedia, Daoed menganggap kegiatan politik hanya boleh dilakukan di luar kampus, sehingga mahasiswa bisa kembali ke tugas utamanya yakni belajar.

Kebijakan NKK/BKK berlaku resmi setelah Mendikbud Daoed Joesoef mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Ini menyebabkan kampus jadi kawasan steril dari aktivitas politik.

Dengan SK itu, mahasiswa tidak boleh melakukan kegiatan bernuansa politik. Jika ada yang nekat, sanksi keras berupa pemecatan sudah disiapkan oleh birokrasi kampus, yang juga ditekan pemerintah.

Kebijakan itu pun disertai pembubaran Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa di tiap perguruan tinggi. Hal itu ditandai dengan Surat Keputusan Nomor 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan yang berhasil menghilangkan aktivitas politik dan organisasi mahasiswa di kampus.

Penutupan Dema sendiri membuat kegiatan politik mahasiswa menjadi tak berjalan. Kebijakan tersebut dianggap kontroversi karena dianggap sebagai upaya Pemerintah Soeharto untuk mematikan daya kritis mahasiswa terhadap pemerintah.

Tak hanya itu, Daoed juga dikenal sebagai sosok yang populer lewat keputusannya yang melarang sekolah libur pada bulan puasa.

Sebagai informasi, selain berperan penting sebagai akademisi di bidang ekonomi dan menjadi Mendikbud, Daoed juga merupakan tokoh yang ikut mendirikan CSIS (Centre for Strategic and International Studies), sebuah ruang pemikir yang banyak dimanfaatkan sumbangannya oleh pemerintahan Orde Baru.

Daoed yang juga dikenal gemar melukis ini menikah dengan Sri Sulastri dan dikaruniahi anak bernama anak Sri Sulaksmi Damayanti.

Share: Cerita Daoed Joesoef: Dari Tolak Bank Indonesia Hingga ‘Matikan’ Politik Kampus