Isu Terkini

Catatan-catatan Penting Selama Sidang Sengketa Pilpres di MK

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2019 digelar dalam sepekan terakhir. Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini mengadakan rapat permusyawaratan hakim (RPH) sebelum pembacaan putusan pada Jumat (28/06/19) atau lebih cepat. Nantinya, pengumuman itu akan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman. Sembilan anggota majelis hakim MK akan mempresentasikan pembacaan putusan secara bergiliran dalam sidang pleno.

Dalam sepekan sidang berlangsung, banyak hal terjadi, termasuk drama yang menjadi bahan pembicaraan. Sidang yang ditayangkan secara langsung itu menyita perhatian lantaran nyaris setiap hari ada saja momen jenaka yang menghibur masyarakat. Bahkan, warganet beraksi dengan membagikan potongan-potongan rekaman momen-momen tersebut.

Di luar kehebohan itu, apa sajakah hal penting yang patut dicatat selama sidang PHPU?

Heboh Revisi Jelang Sidang

Perbaikan atau revisi permohonan gugatan tim Prabowo-Sandi sempat menjadi sorotan dalam sidang gugatan Pilpres 2019 di MK. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menyatakan tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga dinilai melanggar aturan dengan melakukan perbaikan dalam permohonan gugatan pada 25 Mei.

Menurut Feri, Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 5 Tahun 2018, Pasal 3 Ayat 2, menyatakan perbaikan permohonan hanya dapat dilakukan untuk perkara perselisihan DPR, DPD, dan DPRD, bukan untuk perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU).

“Ternyata dalam PMK tersebut permohonan PHPU untuk presiden dikecualikan. Artinya, berdasarkan pasal pengecualian itu, dan lampiran itu, harusnya MK tegas, tidak boleh ada perbaikan permohonan. Ini soal ketegasan,” kata Feri dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta, Minggu (23/06) seperti dilansir Antara.

Sebelumnya, Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga mengajukan permohonan sengketa hasil Pilpres 2019 pada 24 Mei dengan lampiran sebanyak 37 halaman. Kemudian, mereka mengajukan perbaikan permohonan pada 10 Juni 2019 dengan lampiran sebanyak 146 halaman.

Dalam dalilnya, perbaikan tersebut merujuk pada PMK Nomor 4 Tahun 2014. “Itu tidak sah, karena PMK tersebut telah dihapus dengan terbitnya PMK Nomor 5 tahun 2018,” ucap Feri.

Saat sidang berlangsung, tim kuasa hukum Prabowo-Sandi membacakan materi gugatan versi perbaikan. Menurut Feri, seharusnya sidang tersebut hanya membahas materi gugatan versi 24 Mei agar ada kepastian hukum.

“Nanti pemohon juga dirugikan, karena bisa saja kemudian cacat formal pengajuan permohonan, sehingga nanti tidak diterima permohonannya. Ini kan soal melindungi hak-hak orang, baik yang mengajukan permohonan, maupun pihak-pihak yang berkaitan dengan itu,” kata Feri.

Pada sidang pertama yang berlangsung 14 Juni, revisi itu akhirnya dipermasalahkan oleh pihak terkait, dalam hal ini tim hukum Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Komisi Pemilihan Umum selaku termohon setelah tim hukum Prabowo-Sandi membacakannya ulang.

Pembuktian Dinilai Kurang Kuat

Para pengamat membahas pembuktian yang lemah. Terkait hal ini, Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Veri Junaidi, menilai saksi-saksi yang dihadirkan tim Hukum Prabowo-Sandi belum bisa membuktikan adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Sebelumnya, Tim Hukum Prabowo-Sandi memberikan dalil adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon 01 Jokowi-Ma’ruf. Setidaknya ada lima jenis pelanggaran dan kecurangan yang diklaim TSM, yaitu penyalahgunaan Anggaran Belanja Negara dan program kerja pemerintah, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, campur tangan aparatur negara seperti polisi dan intelijen, pembatasan media dan pers, serta diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum.

“Kalau membaca dalil permohonan, dari proses persidangan, saya tidak cukup yakin ada bukti yang kuat terjadinya pelanggaran TSM. Kalau pelanggaran TSM, harus dibuktikan secara berlapis,” kata Veri pada kesempatan yang sama. “Apakah ada ketersambungan antara satu kejadian dengan kejadian lain? Apakah ada ketersambungan antara dalil tidak netral TNI, Polri, Intelijen, dalil dukungan pejabat daerah, terkait persoalan-persoalan rekapitulasi? Karena ini semua soal sengketa hasil akhir,” katanya.

Senada dengan Veri, Feri Amsari juga mengatakan bahwa sejauh ini alat bukti yang dibawa tim hukum Prabowo-Sandi lemah. “Contoh, kalau dianggap ada peralihan suara, ternyata pemohon tak pernah menampilkan alat bukti, bahkan ada alat bukti yang kemudian ditarik dalam jumlah besar, 26 kontainer. Ini kan bermasalah. Saya lihat kegagalan pihak pemohon melakukan pembuktian, bukan tidak mungkin akan ditolak atau setidaknya tidak dapat diterima [oleh hakim],” katanya.

Hanya Jadi Panggung Politik

“Kalau saya melihat sidang itu digunakan sebagai panggung politik, karena saya melihat konstruksi hukumnya, pembuktiannya itu kelihatan pemohon belum siap,” kata Bivitri Susanti, seorang pakar Hukum Tata Negara

Bivitri pun memberi contoh terutama saat berlangsungnya sidang kedua, di mana bukti dari pemohon tidak diberikan kode nomor, dan saksi yang telah disumpah kemudian digantikan setelah menunjukkan ketidaksiapan.

Dia juga menyoroti proses sidang di MK yang baginya lebih mirip sarana komunikasi kepada publik daripada membuktikan dalil-dalil yang dipermohonkan. Selain itu, terkait kelonggaran majelis yang mengizinkan pihak pemohon untuk memberikan perbaikan permohonan dan pergantian saksi, Bivitri menilai hal itu dilakukan MK karena alasan politik yang cukup tinggi.

“Ini sensitivitasnya tinggi ingin memberikan kelonggaran karena kita merasa kasus ini sangat penting untuk rakyat Indonesia, sehingga mereka melakukan kelonggaran itu. Kelonggaran itu masih bisa diterima. Mereka mencoba semaksimal mungkin memberi kesempatan supaya publik juga paham dan melihat dengan terang kasus ini,” ucapnya.

Terkait Dalil Diskualifikasi dan Pemungutan Suara Ulang (PSU)

Tak hanya itu, Bivitri juga menilai beberapa dalil permohonan yang diajukan oleh tim kuasa hukum Prabowo-Sandi bakal sulit dikabulkan oleh MK.

“Diskualifikasi itu sebenarnya tempatnya bukan di MK tapi Bawaslu karena terkait syarat administratif. Nanti dalil akan dijawab satu per satu dan dijelaskan pembuktiannya oleh Mahkamah. Dalil diskualifikasi itu menurut saya akan ditolak oleh MK,” ujarnya.

Selain dalil tentang diskualifikasi salah satu paslon, Bivitri juga menyoroti dalil tentang dilakukannya pemungutan suara ulang (PSU). Hal itu, lanjut Bivitri, tak akan dikabulkan oleh MK karena bukan wewenang MK melainkan menjadi ranahnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Sementara untuk dalil dugaan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, Bivitri menjelaskan MK memang berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Namun, ia menduga MK tetap akan mengaitkannya dengan hasil Pilpres 2019 karena pada dasarnya secara konstitusional MK memang tempat untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu.

“Kalau pun ada kecurangan harus TSM dan dikaitkan dengan hasil secara umum apakah itu akan membalikkan suara atau tidak. Jadi kalau saya melihat pembuktiannya kemarin itu kurang kuat. Dua dalil yakni pembubaran KPU dan diskualifikasi itu sangat bermasalah. Kalau yang lain masih bisa diperdebatkan.”

Selanjutnya, Bivitri menilai alat bukti dan saksi yang dihadirkan oleh tim kuasa hukum pemohon juga masih belum cukup kuat untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya.

“Mungkin BW (Bambang Widjojanto) mau mencoba peruntungannya. Dulu dia menang di pilkada. Tapi beda levelnya, terus struktur dan konstruksi hukumnya juga beda antara pilkada dengan pemilu,” ujarnya.

Share: Catatan-catatan Penting Selama Sidang Sengketa Pilpres di MK